Beberapa minggu yang lalu, dunia maya Indonesia sempat dihebohkan dengan penemuan sebuah grup sosial media berbasis Internasional bertajuk Loli Candy’s Group yang menyediakan media pornografi anak. Hal ini sempat membuat geram beberapa orang tua yang kebetulan berperan dalam proses penemuan grup yang sangat laknat tersebut. Penemuan grup laknat tersebut kembali menyadarkan kita bahwa perlunya ada kesadaran tinggi terhadap bahaya pornografi di Indonesia. Sesuatu yang sebenarnya sudah menjadi pembicaraan yang cukup membosankan dan mungkin sudah membuat perut saya eneg untuk mendengarnya. Keputusan untuk mengurangi dampak pornografi dari pemerintah Indonesia bagi saya sendiri ibarat keputusan untuk mengontrol peredaran senjata api di Amerika. Terjadi suatu peristiwa yang relevan, maka hal tersebut kembali dipertimbangkan.
Terakhir kali, lebih tepatnya pada bulan Maret tahun 2016, saya pernah membuat sebuah tulisan di Kompasiana tentang meningkatkan kesadaran tentang bahaya pornografi. Ketika itu, kasus perkosaan Yuyun yang sangat masif yang kemudian mendorong saya untuk menyebarkan pesan bahaya pornografi. Meskipun, respon yang diterima ketika itu masih minim. Tetapi, tetap saja masih beredar kasus yang membuka mata kita tentang bahaya pornografi. Seolah-olah beribu-ribu kasus yang beredar itu ibaratnya alarm bangun yang diberikan efek snooze.
Setahun setelah postingan saya menegur pemerintah Indonesia tentang Bahaya Pornografi dikeluarkan resmi oleh Kompasiana, saya mendapatkan informasi bahwa buku pertama saya berjudul “Ketika Di Dalam Penjara” sudah selesai dicetak dan sudah siap dipasarkan oleh penerbit Indie Book Corner. Sebuah buku yang akan menjadi peringatan terbesar saya kepada para jajaran pemerintahan ataupun regulator tentang bahaya pornografi di Indonesia yang masih belum menjadi fokus perhatian sampai sekarang.
REVIEW BUKU
Judul : Ketika Di Dalam Penjara, Cerita dan Fakta Tentang Kecanduan Pornografi
ISBN : 978-602-3092-43-7
Ukuran : 14 x 21 cm
Jumlah Halaman : 103 halaman
Yogyakarta, Indie Book Corner, 2017
Buku “Ketika Di Dalam Penjara” ini saya tulis pada saat saya sedang berusaha untuk keluar dari jeratan bernama Pornografi. Saya memutuskan untuk menggunakan kata “Penjara” dalam judul buku ini karena sebuah anggapan saya bahwa seseorang yang berada pada kondisi terjerat pornografi itu diibaratkan seperti orang yang berada di dalam penjara. Menyendiri, mendapatkan stigma negatif, dan berasa seperti di bawah kendali. Benar-benar tidak berkoordinasi dengan dunia luar. Sebagai orang yang pernah berjuang melawan pornografi selama 6 tahun, saya merasakan sendiri bagaimana media pornografi benar-benar merusak otak saya sendiri. Keputusan saya untuk menulis buku ini berawal dari ketika saya bergabung di sebuah grup perkumpulan para pecandu Pornografi yang sama-sama ingin keluar dari jeratan tersebut. Dalam kesempatan tersebut, saya mulai mengetahui bahwa di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, pornografi sudah menjadi masalah kesehatan yang serius. Terutama, jika melihat di Amerika Serikat sendiri, mulai dibentuk sebuah badan non pemerintah bernama Fight The New Drug yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Amerika tentang bahaya pornografi.
Terungkapnya grup Facebook Loli Candy yang cukup mengejutkan khalayak ramai ini kembali membuat pornografi menjadi isu relevan yang diperbincangkan. Tetapi, itu juga menjadi tanda bahwa bukan hanya pemerintah yang masih belum sepenuhnya serius mengawasi tindak-tanduk pornografi di Indonesia. Melainkan, kesadaran dari berbagai lapisan masyarakat yang masih relatif kurang. Anggapan bahwa pornografi adalah hal yang normabl bagi kalangan pria masih terasa di benak masyarakat Indonesia. Terakhir kali, Kemenkominfo memberikan penyuluhan tentang bahaya pornografi itu terjadi pada 1,5 tahun lalu, melalui video yang membahas tentang bahaya pornografi. Tetapi, sangat disayangkan kembali, tidak ada bentuk prevensi yang saya rasa sudah konkrit dalam pornografi. Jika bagian prevensi saja belum lancar, bagaimana dengan tindakan lainnya, seperti tindakan rehabilitasi ataupun penyembuhan?
Buku “Ketika Di Dalam Penjara” ini saya buat benar-benar menceritakan soal kisah hidup saya melawan kecanduan pornografi. Saya memulai buku ini dari sebuah cerita kenapa saya memutuskan untuk menulis buku, terutama buku yag membahas tentang pornografi, sebuah tindakan yang sebenarnya cukup sensitif untuk dibahas. Buku ini sendiri mengambil sebuah pendekatan berupa komunikasi dua arah. Jadi, pada buku ini, saya menggunakan tokoh saya (Farhan) dan tokoh Andi. Dalam buku ini, saya berada pada posisi mentor yang baik untuk Andi. Karena, si Andi dalam buku ini diceritakan sebagai seorang yang baru saja menyadari bahwa pornografi sudah benar-benar membahayakan hidupnya dan dia sendiri membutuhkan pertolongan. Sebagai mentor, saya memberikan beberapa macam sumber yang tentu saja dapat membantu Andi untuk keluar dari jeratan pornografi tersebut.
Buku ini terdiri dari 103 halaman dan 8 subbab. Tiga subbab pertama sendiri saya anggap sebagai pengenalan pada buku ini. Dari bagaimana saya memutuskan untuk membuat buku bertema Pornografi, dan mendapatkan cerita-cerita dari sesama pecandu pornografi. Pada subbab selanjutnya, saya baru mulai mencoba membahas pornografi dari berbagai sisi. Pembahasan dimulai dari subbab berjudul “Mengenal Pornografi dengan Halal”, dimana saya memaparkan tentang bagaimana sejarah munculnya Pornografi di dunia. Selain itu, saya jugabagaimana media Pornografi tersebut sudah tersebar di negara Indonesia sendiri. Saya juga sedikit memasukkan unsur hukum dari Pornografi tersebut. Sekedar pesan bagi para regulator bahwa mereka sudah membuat sebuah cetak biru tentang sikap mereka mengenai Pornografi di Indonesia, dimana hal tersebut sudah termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Selain aspek legal, sebagai seorang yang memiliki latar belakang dunia kedokteran, saya juga memasukkan unsur medis dari Pornografi.
Pada dua subbab setelahnya, saya membahas tentang kenapa Pornografi layak menjadi masalah baru bagi masyarakat. Saya membahasnya dari segi sosial dan juga dari segi kesehatan, terutama dari otak, sebagai organ luhur kita. Sedikit menyinggung pesan dari badan bernama Fight The New Drug bahwa “Pornografi adalah sebuah tipe narkoba baru”. Pada subbab “Pornografi = Narkoba”, saya membahas tentang kenapa Pornografi itu harus disetarakan dengan Narkoba, mulai dari saya mencoba membahas tentang kecanduan secara umum, dan bagaimana respon otak kita terhadap paparan dari media pornografi tersebut. Tentu sebuah hal yang menarik untuk dibaca, mengingat, masih banyak orang yang menganggap bahwa Pornografi adalah hal yang masih wajar di kalangan remaja, melainkan, Narkoba sendiri adalah hal yang mesti dijauhi oleh kalangan remaja. Saya sempat berpikir kenapa tidak ada Badan Khusus yang berfokus terhadap penanggulangan media Pornografi atau setidaknya membatasi peredaran tersebut, melainkan membiarkannya untuk aktif dan menyebarkannya ke beberapa tempat umum. Seperti siaran televisi ataupun iklan-iklan di sosial media.
Dua subbab lainnya, saya mulai membahas tentang bagaimana caranya untuk bisa keluar dari jeratan pornografi dan juga apa efek positif yang saya rasakan setelah keluar dari jeratan tersebut. Tentu saja, semua ini bukan hanya berasal dari cerita saya saja, melainkan saya juga ikut bertanya kiat-kiat dari beberapa orang. Karena, tentu saja, ketika saya mencoba untuk keluar pun, saya tidak dapat melakukannya sendirian. Harus ada bantuan dari segala pihak, baik itu orang tua, keluarga, teman dekat, ataupun mentor. Saya juga mendengarkan beberapa cerita dari teman-teman yang pernah terjerat pornografi. Hal ini tentu saja bertujuan untuk menambah validitas buku saya, sehingga orang-orang pun semakin merasa yakin untuk bisa secepat mungkin keluar dari pornografi tersebut. Pada bagian terakhir dari buku ini, saya juga menyisipkan berbagai surat terbuka ke beberapa pihak, seperti para orang tua, bahkan para orang-orang yang saya sebut sebagai penggoda iman.
Membahas soal buku ini, saya sendiri bingung mau memasukkan buku ini dalam genre apa. Pihak penerbitnya sendiri memutuskan untuk menggolongkan buku tersebut ke dalam genre “Non-Fiksi” dan “Biografi/Memoar”. Saya pribadi tidak mempermasalahkan hal ini, karena buku ini adalah buku yang sebenarnya berisi sebuah catatan saya tentang betapa parahnya Pornografi dan kenapa teman-teman pembaca semua harus menganggap hal ini sebagai masalah serius, terutama demi kebaikan masa depan Indonesia ke depan. Saya rasa buku ini turut dibaca oleh kalangan orang tua ataupun para pemuda untuk sekedar memberikan penyuluhan tentang bahaya Pornografi di kalangan remaja. Apalagi, dengan maraknya kasus-kasus Pornografi dan akibat buruknya, seperti adanya kekerasan seksual antar remaja atau munculnya berbagai tindakan asusila yang tentu saja menjadikan Pornografi sebagai biang utamanya.
Sebagai penulis pemula yang baru saja menerbitkan buku pertama, saya memahami bahwa masih banyak celah yang terdapat di dalam buku ini. Kritik dan saran sangat diperkenankan untuk buku ini. Seperti salah satu teman saya yang menyatakan bahwa, belum ada perwatakan yang jelas dari karakter pada buku saya. Jika para pembaca berminat, buku ini dapat dibeli via on-line melalui situs Indie Book Corner, dan saya sendiri berharap semoga Badan-Badan yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup pemuda-pemudi Indonesia, seperti badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak, serta badan yang bertanggung jawab dalam mengatasi kekerasan seksual di Indonesia.
Selamat membaca dan jauhkan anak-anak kita dari media Pornografi!
Sekedar informasi, saya pernah terlibat dalam sebuah talkshow di YouTube tentang cara penyembuhan dari kecanduan Pornografi, tetapi sayangnya, wajah saya tidak tampak di situ, hanya suara saja yang terdengar, karena ada masalah dengan kamera laptop saya.
Info Penulis:
FB : Farhandika Mursyid
Twitter : @FarhandikaM
IG : @farhanforamen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H