Selain itu, Jahja juga mengatakan kalau pihaknya tidak berencana mengakuisisi Bank Ina Perdana, Bank Mestika, Bank Index dan Bank Capital. Lebih lanjut Jahja mengatakan proses merger Bank Royal dengan BCA Syariah akan tuntas pada 2020. Adapun saat ini, Bank Royal memiliki aset sekitar Rp 400-500 miliar. Sedangkan BCA Syariah menghimpun aset Rp 800 miliar. Sehingga total aset bank syariah yang terbentuk diperkirakan mencapai kisaran Rp 1,3 triliun.
Rencana merger untuk membentuk bank syariah ini merupakan perubahan terbaru karena sebelumnya bank swasta terbesar di Indonesia itu ingin mengakuisisi Bank Royal dan menjadikannya bank yang berfokus pada digital perbankan. (Tempo, 12 Juni 2019) Namun, BCA merasa mampu mengakomodir layanan digital perbankan tanpa harus membeli entitas perbankan lain, atau membentuk anak usaha baru. "Kami bisa membuat digital tanpa menghapus yang lama (konvensional)," ujarnya. Dengan begitu layanan digital perbankan akan tetap menggunakan wadah induk usaha BCA.Â
Jahja mengklaim produk digital perbankan BCA seperti "One Click" dan "Kode QR" sudah meraup jumlah nasabah yang signifikan. Jika rencana merger BCA Syariah dan Royal itu terealisasi, maka bank yang terbentuk akan menjadi Bank Umum Kegiatan Usaha II atau BUKU II atau bank bermodal inti Rp 1 triliun- Rp 5 triliun. Jahja mengaku belum memilki rencana untuk membuat bank syariah tersebut sebagai perusahaan terbuka di pasar saham.
Maraknya transaksi Merger dan Akuisisi di sector perbankan memang menguntungkan bagi Pemerintah RI. Menurut Data OJK 2018, terdapat 4 bank BUMN, 74 bank Umum dan 27 Bank Pembangunan Daerah. Jumlah ini masih terlalu banyak mengingat beratnya unsur pengawasan dan semakin meningkatnya persaingan global. Konsolidasi perbankan akan mengurangi jumlah bank sekaligus meningkatkan nilai keuangan bank itu sendiri.
Kebijakan Bank Indonesia tentang Single Presence Policy juga memaksa untuk dilakukannya merger dan akuisisi di sector perbankan. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kebijakan Kepemilikan Tunggal Perbankan pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa kepemilikan tunggal perbankan adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) bank.Â
Kemudian Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 9/32/DPNP Tahun 2007 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia mengatur mengenai opsi pengalihan saham kepada pihak lain, dalam hal pemegang saham pengendali yang memiliki dua bank  atau lebih tidak bermaksud untuk melaksanakan merger atau konsolidasi, atau membentuk Bank Holding Company bagi bank-bank di bawah pengendaliannya, maka pemegang saham pengendali dapat mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank.
Pada dasarnya single presence policy bertujuan untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Hal ini selaras dengan prinsip utama dari arsitektur perbankan Indonesia yaitu mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan system keuangan dalam rangka membantu mendorong pertmbuhan ekonomi nasional.Â
Di samping itu, single presence policy merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung efektivitas pengawasan bank yang dalam hal itu dilakukan oleh BI. Single presence policy mengharuskan kepada para pemegang saham pengendali di bank yang satu grup usahanya untuk mengkonsolidasikan kepemilikan sahamnya di suatu bank yang dimaksud.
Merujuk pada regulasi single presence policy maka merger dan akuisisi di sector perbankan tersebut diatas diakibatkan oleh kepemilikan pada beberapa bank sekaligus sehingga harus dikonsolidasikan di suatu bank. Akhirnya, Bankers dari Korea dan Jepang yang telah membeli beberapa bank sekaligus dari berbagai jenis perbankan, namun harus dikonsolidasikan di dalam satu bank saja.
Secara umum, motif pengusaha untuk melakukan merger dan akuisisi adalah untuk memperoleh sinergi usaha, diversifikasi usaha, menghemat pajak, memperoleh asset dibawah replacement value serta mempertahankan pengendalian. Sehubungan dengan hal tersebut, Bankers dari Korea dan Jepang melihat bahwa pertumbuhan perekonomian di Indonesia sedang bertumbuh dengan pesat.Â
Untuk itu dibutuhkan bank yang besar dan kuat untuk menopang kebutuhan pembiayaan pembangunan. Dengan membeli beberapa bank menengah untuk kemudian dikonsolidasikan dalam satu bank maka akan diperoleh sinergi keuangan dan asset yang kokoh sehingga bank dapat memberikan keuntungan yang lebih baik. Disamping itu, pasar yang ada juga dapat didiversifikasi untuk memperoleh cakupan pasar yang lebih luas dalam pengembangan usaha. Kedua hal ini dapat memberikan nilai tambah pada bank hasil merger.