Letkol Hulman Sipahutar SH, dilahirkan tanggal 22 Februari 1927 di Huta Banuadji, Tarutung, Sumatera Utara belum banyak dikenal jasanya sebagai pahlawan kemerdekaan yang turut berjuang mempertahankan Republik Indonesia di Sumatera Utara. Turut dalam beberapa pertempuran membuat beliau memperoleh beberapa penghargaan dari Pemerintah RI, salah satunya adalah Bintang Gerilya dan dimakamkan di TMP Kalibata pada tanggal 8 Agustus 1998.
Kisahnya dimulai tahun 1935, ketika Hulman Sipahutar yang baru berusia 8 tahun didaftarkan masuk Sekolah Rakyat oleh ayahnya, Ompung Bonifacius Sipahutar, saudagar kemenyan (haminjon) terkenal di Tarutung. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda baru membuka Sekolah Rakyat Zending di Huta Banuadji, namun hanya sampai kelas 3 saja. Murid angkatan pertama kelas 1 SR tersebut hanya berjumlah 9 orang saja diantaranya adalah adiknya sendiri Laudon, bapaudanya Aminton yang kebetulan sebaya dengannya. Sekolah dimulai jam 9 pagi dan berakhir jam 1 siang selama 5 hari dari Senin sampai dengan Jumat.
Pagi hari Hulman sudah harus bangun untuk menyelesaikan tugasnya membersihkan kandang pinahan dan memberi makan pinahan. Adiknya Laudon mendapat tugas menyapu dan membersihkan rumah. Setelah itu mereka berdua mandi dipancuran. Pulang ke rumah sambil membawa air bersih dari pancur untuk diisikan ke guci tempat air minum. Â Sepulang sekolah, biasanya Hulman kecil dan adiknya Laudon ikut membantu ibunya ompung boru Sinaga ke sawah. Ada saja yang harus dikerjakan di sawah. Mulai dari mencabuti rumput, memperbaiki saluran air, merapikan pematang, memecah kayu untuk kayu bakar yang dipergunakan untuk memasak, sampai mengumpulkan daun singkong dan mencabuti ubi untuk dimasak sebagai sayur sebagai hidangan makan malam. Terkadang disawah, Hulman dan Laudon menangkap ikan lele atau belut yang dimasak untuk tambahan lauk makan malam.
Hari Jumat sore, Hulman kecil dan adiknya Laudon selalu ikut ayahnya ke tombak (hutan) untuk mendiris (menyadap) kemenyan. Di hutan terdapat beberapa sopo (gubuk) tempat tinggal pekerja dari ayahnya. Biasanya mereka keliling dari satu sopo ke sopo berikutnya untuk melakukan inspeksi hasil penyadapan kemenyan yang dilakukan para pekerja. Mereka bermalam di sopo dan membuka bekal yang sudah dibawa dari rumah. Keesokan harinya, kemenyan yang sudah diperiksa tersebut kemudian diangkut ke huta untuk disimpan. Kemenyan tersebut digelar di loteng rumah agar kering dan mengurangi kadar air. Sabtu sore, selesai merapikan jemuran kemenyan bukan berarti Hulman dan Laudon dapat bersantai. Gabah padi (eme) di lumbung harus ditumbuk untuk persediaan beras selama seminggu.
Setiap minggu pagi, bersama dengan kedua orangtuanya, mereka bergereja di HKBP Pagar Dolok tidak jauh dari rumah mereka. Minggu sore mereka masih mendapat tugas untuk memasukan kemenyan yang sudah kering ke dalam karung siap untuk dibawa Ompung Bonifacius ke Tarutung keesokan harinya.
Tidak terasa 3 tahun sudah berlalu. Hulman , Laudon dan Aminton sudah menamatkan Sekolah Rakjat di Huta Banuadji. Ompung Bonifacius yang memiliki pandangan maju berniat menyekolahkan ketiganya di Vervelgschool Tarutung. Di kota Tarutung, yang berjarak hanya 8 kilometer dari Banuadji terdapat rumah makan dan warung kelontong milik Ompung M Sipahutar. Letaknya persis di perempatan jalan menuju ke kantor Keresidenan Tapanuli. Sebenarnya pertautan darah dengannya jauh, tetapi Ompung Bonifacius biasa mampir ke situ untuk makan siang bila telah selesai melakukan pengiriman kemenyan di pasar Tarutung. Ditempat Ompung M Sipahutar, ketiganya dititipkan untuk bersekolah.
Setiap hari Senin pagi, mereka berangkat dari Huta Banuadji dengan berjalan kaki, masing-masing membawa 1 kaleng gabah kering sebagai pembayaran uang kost ke Ompung M Sipahutar selama seminggu. Setelah menyetorkan pembayaran uang kost dan mengambil buku pelajaran di kamar, mereka bertiga berangkat ke sekolah yang ada di kompleks perkantoran Keresidenan Tapanuli.
Sepulang sekolah, Laudon dan Aminton biasanya langsung mengerjakan tugas dan PR sekolah, sedangkan Hulman malah ke pasar Tarutung. Ada saja yang dikerjakan di pasar Tarutung terutama pada hari pasar (hari onan). Meskipun bukan hari pasar, ada juga warung kelontong yang tetap buka. Biasanya Hulman membantu mengangkat barang belanjaan ibu-ibu di pasar. Upahnya lumayan, selain untuk menambah uang jajan, sisanya ditabung. Bahkan Hulman mampu membeli sepeda jengki merk Phoenix yang terkenal saat itu. Sepeda tersebut menambah mobilitasnya dalam memberikan jasa pengangkutan. Disitu, Hulman bersahabat dengan Cornel Panggabean, anak pejabat tinggi di kantor keresidenan Tarutung,
Motto Hulman adalah belajar tetap nomor satu. Malam hari, PR yang sudah dikerjakan adiknya dan bapaudanya disalin ulang. Dasar otaknya yang encer, bukannya ketinggalan pelajaran, nilainya bahkan lebih baik dari adiknya dan bapaudanya. Akhirnya dikelas VI, Hulman diperbolehkan untuk loncat kelas ke kelas VII. Karena sudah tidak sekelas lagi, akhirnya Hulman terpaksa harus belajar sendiri, tidak boleh lagi mengandalkan adik dan bapaudanya. Terlebih ujian akhir HIS sudah dekat. Bisnis pengangkutan belanjaan untuk sementara ditinggalkan agar lebih focus pada persiapan ujian. Puji Tuhan, Hulman mampu lulus ujian HIS dengan baik. Pada tahun ajaran berikutnya, dengan rekomendasi dari ayahnya Cornel Panggabean, Hulman diperbolehkan masuk ke Mulo di Tarutung. Cornel Panggabean sendiri sudah duduk di kelas II Mulo di Tarutung. Berdua mereka menjadi sahabat baik.
Setelah libur panjang kenaikan kelas, ternyata situasi berubah akibat perang. Pertengahan tahun 1942, Belanda kalah. Jepang kemudian masuk ke Tarutung. Pejabat Pemerintahan Hindia Belanda ditawan dan dibawa ke Medan. Ayah Cornell Panggabean malah diangkat menjadi wakil Residen Tapanuli, orang kedua di Tapanuli dibawah si Jepang. Pada awal pendudukan Jepang, sekolah masih berjalan seperti biasa, namun tahun berikutnya sekolah akhirnya tutup. Disamping kekurangan guru, muridnya juga banyak yang tidak kembali ke kota karena takut pada kekejaman Jepang. Laudon dan Aminton juga tidak kembali ke Tarutung.
Kebetulan di sebelah tempat Hulman kost, terdapat sebuah rumah peninggalan Belanda yang ditempati oleh seorang Perwira Angkatan Darat Jepang. Letnan Kolonel Sato adalah Kepala Transportasi Angkatan Darat Jepang. Suatu sore, sepulang dari pasar Tarutung, Hulman dengan membonceng Cornell, melintas di depan rumah Letnan Kolonel Sato. Mereka berdua mengendarai sepeda dengan santai. Melihat mereka, Letkol Sato memanggil mereka berdua dan menyuruh masuk ke rumahnya. Di teras rumah mereka ditanyai tentang banyak hal. Letkol Sato suka kepada kecerdasan Hulman. Hulman diminta untuk menjadi pembantu di rumah itu. Tugasnya selain membersihkan rumah, mencuci baju, menyemir sepatu, juga diminta untuk mencuci mobil dinas Letkol Sato. Untuk itu, Hulman diberi sebuah kamar kecil di bagian belakang rumah.
Sebagai pemuda cilik yang mempunyai banyak mimpi, Hulman menerima penugasan tersebut sebagai tantangan. Letkol Sato adalah orang Jepang yang berpendidikan tinggi. Dia sebenarnya lulusan Sarjana Hukum di Tokyo, tapi dia tetap melaksanakan tugasnya meski sebagai kepala Transportasi di Tarutung. Di rumah itu, Hulman mempelajari banyak hal. Mulai dari adat istiadat Jepang, bahasa Jepang, sampai belajar mengendarai mobil. Karena cekatan dan ringan tangan, terkadang Letkol Sato sering membawa Hulman ke bengkel dan Pool Kendaraan di kantor Keresidenan Tapanuli. Disitu Hulman juga belajar mengenai mesin mobil. Karena sibuknya, Hulman membuatnya jarang pulang ke huta.
Tidak terasa 3 tahun berlalu. Pada suatu malam di bulan Mei 1945, Letkol Sato memanggil Hulman. Disitu Letkol Sato memberitahu bahwa Singapura sudah direbut Inggris. Letkol Sato dimutasi ke Langsa, Aceh Timur. Tarutung akan dikosongkan dari tentara Jepang karena lebih dibutuhkan untuk memusatkan kekuatan di kota besar. Letkol Sato meminta Hulman untuk ikut ke Langsa. Malam itu juga Hulman mempersiapkan diri untuk ikut pindah ke Langsa. Sepucuk surat dititipkan lewat Ompung M Sipahutar untuk ayahanda Ompung Bonifacius mengabarkan rencana kepergiannya ke Langsa.
Keesokannya, mobil jip dinas Letkol Sato dengan disupiri oleh Hulman dan diikuti oleh beberapa truk perbekalan tentara jepang berangkat meninggalkan Tarutung. Ternyata mereka adalah rombongan terakhir tentara Jepang yang meninggalkan Tarutung. Tiba di Balige hari sudah malam. Malam itu sedang hujan lebat. Karena gelap dan licin, mobil yang disetir oleh Hulman menabrak pembatas jalan di Pasar Balige. Terpaksa mereka bermalam di Pasar Balige, sedangkan beberapa truk pengikut mereka diperintahkan untuk jalan terus.
Pagi hari, Hulman meminta bantuan kepada beberapa penduduk setempat untuk memperbaiki mobil. Karena cara bicara Hulman yang baik, penduduk mau membantu meskipun mereka tahu mobil itu milik tentara Jepang. Letkol Sato dan ajudannya tetap aman tidak diganggu penduduk sedangkan mobil dapat diperbaiki. Segera mereka melanjutkan perjalanan menuju Langsa. Di Parbaungan, mereka dapat bergabung kembali dengan rombongan truk perbekalan. Beriringan mereka akhirnya tiba di Langsa, Aceh Timur dengan selamat.
Di Langsa, Letkol Sato tidak mendapat rumah jabatan tersendiri, tetapi digabung bersama perwira Jepang lainnya. Sedangkan ajudan Letkol Sato digabung di tangsi militer Jepang. Terpaksa Letkol Sato membayarkan sewa kamar untuk Hulman di Pasar Langsa yang dekat dengan Markas Tentara Jepang. Kesibukan Letkol Sato di Kutaraja dalam mempersiapkan evakuasi tentara Jepang dari Sumatera membuat Hulman juga ikut sibuk sampai akhirnya kabar gembira itu tiba.
Letkol Sato sendiri yang menyampaikan kepada Hulman bahwa kemarin pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Letkol Satu akan dimutasi lagi ke Bangkok. Untuk itu, Letkol Sato memerintahkan Hulman untuk kembali ke Medan. Letkol Sato memberikan banyak sekali hadiah kepada Hulman atas pengabdiannya selama bertahun-tahun. Yang paling berkesan adalah sepasang samurai milik Letkol Sato. Saat menyerahkan sepasang samurai tersebut Letkol Sato menyatakan bahwa dia tidak akan pernah mempergunakan katana miliknya untuk hara-kiri, karena menurutnya, "perjuangan tidak dapat dilanjutkan dengan hara-kiri". Disamping itu, Letkol Sato juga memberikan sepucuk revolver dengan pelurunya satu pak serta segepok uang Jepang. Keesokannya, Hulman mengantarkan Letkol Sato ke pelabuhan Kuala Langsa untuk naik kapal tentara Jepang menuju Bangkok.
Ternyata bukan Hulman saja yang kehilangan komandannya. Di warung makan di Pasar Langsa, banyak Heiho yang nongkrong minum kopi kehilangan disiplin. Mereka membicarakan perubahan yang terjadi beberapa hari terakhir. Beberapa hari kemudian gema Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia terdengar di Langsa. Kapten Alamsyah, bekas shudanco Heiho adalah perwira tertinggi Indonesia saat itu di Langsa berinisiatif untuk segera mengembangkan pasukannya yang semula hanya berkekuatan 1 kompi menjadi 1 batalyon. Banyak pemuda yang mendaftarkan diri untuk bergabung dengan Kapten Alamsyah. Bukannya kembali ke Medan, Hulman malah bergabung dengan Kapten Alamsyah. Bermodalkan sepasang samurai dan sepucuk revolver jepang pemberian Letkol Sato, Hulman ditempatkan di kompi B2. Mereka menempati sebuah sekolah kosong yang dijadikan sebagai markas komando.
Setiap pagi mereka dilatih baris berbaris. Berbekal pengalamannya melayani Letkol Sato membuat Hulman memiliki pengetahuan yang luas tentang ketentaraan. Segera saja Hulman mendapatkan simpati dari Kapten Alamsyah dan dipercaya memimpin 15 orang pemuda desa yang belum punya pengetahuan apa-apa tentang militer dan diberi pangkat sersan. Ada yang berasal dari Aceh, Gayo, Tamiang, Karo, Toba, Melayu bahkan Cina Medan. Ada petani, nelayan, buruh pelabuhan, bahkan pegawai kantor Pemda. Pemuda Hulman yang melatih mereka baris berbaris. Suatu malam, Hulman dipanggil ke kantor Batalyon untuk briefing. Rupanya mereka berencana untuk menyerang gudang perbekalan Jepang di Pelabuhan Kuala Langsa. Tujuannya untuk merebut persenjataan dan logistic Jepang. Batalyon Badak Hitam dibentuk dengan minim persenjataan. Regu Hulman tidak memiliki senjata sepucukpun. Hanya sepucuk revolver pemberian Letkol Sato yang dia miliki.
Pada hari H, dimulailah penyerangan gudang tersebut. Kompi B2 bersama dengan kompi B1 berjalan menuju Pelabuhan Kuala Langsa. Malam hari mereka merangsek masuk ke gudang. Regu Hulman segera masuk ke salah satu gudang di pelabuhan. Beberapa penjaga tentara Jepang dihampiri oleh Hulman sedangkan seluruh anggota regunya bersembunyi di kegelapan malam. Karena kemampuannya berbahasa Jepang, Hulman berhasil melakukan diplomasi dengan tentara Jepang penjaga gudang tersebut. Akhirnya mereka dengan sukarela membukakan pintu gudang untuk Hulman dan pasukannya. Kebetulan di dalam ada sebuah truk kosong. Peti-peti berisi senjata dan amunisi segera dimasukan ke dalam truk. Selagi memasukan logistic ke dalam truk, di gudang-gudang yang lain terdengar banyak bunyi tembakan. Hulman meminta tentara Jepang yang ada digudang itu untuk tetap tenang dan bersembunyi di dalam kantor gudang. Sebagai jaminan keamanan, Hulman meninggalkan beberapa anggotanya untuk menjaga gudang agar tidak diganggu tentara republic. Hulman mengendarai sendiri truk tersebut menuju markas batalyon. Disana sudah menunggu Kapten Alamsyah. Barang jarahan segera dibongkar. Sekali lagi pengalaman melayani Letkol Sato memberikan keuntungan buat Hulman dalam memilah peti-peti yang perlu diangkut. Beratus pucuk senapan Jepang berhasil direbut. Bukan itu saja, beberapa mortir berikut amunisinya berhasil dikuasai. Sampai pagi hari, beberapa truk Jepang masuk ke markas batalyon tersebut, tapi tidak ada yang menyamai keberhasilan regu Hulman.
Segera senapan Jepang tersebut dibagikan kepada seluruh anggota Kompi B2 sedangkan sisanya disimpan di tempat rahasia. Pasukan Kapten Alamsyah menjadi pasukan yang kuat persenjataannya di seluruh Sumatera Bagian Utara. Setiap hari, Hulman melatih anggotanya untuk menembak mempergunakan senapan Jepang. Sekali lagi, pengalamannya melayani Letkol Sato memberi keuntungan bagi Hulman. Meski hanya melihat dan tidak pernah memegang senapan Jepang, tetapi ternyata Hulman mampu mengajari anggotanya mempergunakan senapan Jepang.
Tanggal 1 September 1945, pasukan Kapten Alamsyah dikukuhkan sebagai Batalyon I Infanteri dibawah Divisi Gajah I Teritorial Sumatera Bagian Utara. Panglima Divisi Gajah I, Letkol Husain Yusuf yang melantik Kapten Alamsyah. Letkol Husain Yusuf bekas Heiho dengan pangkat Daidancho. Tanggal 5 Oktober 1945, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat. Pasukan Kapten Alamsyah dikukuhkan sebagai Batalyon I Infanteri dibawah Divisi Gajah I Teritorial Sumatera Bagian Utara.
Tanggal 9 Oktober 1945, Brigade 4 dari Divisi India ke 26 dibawah pimpinan Brigjen Ted Kelly mendarat di Belawan. Mereka menghadap Gubernur Sumatera Utara Teuku Mohammad Hassan. Mereka minta diijinkan untuk masuk kota Medan dan menempati beberapa hotel di pusat kota Medan. Ternyata Inggris tidak sendiri. Beberapa tentara Belanda membonceng Inggris. Setelah membebaskan tahanan perang Jepang, Belanda mengkonsolidasikan eks KNIL yang ada dengan membentuk NICA. Tanggal 13 Oktober 1945 terjadi beberapa pertempuran sporadik di kota Medan. Inilah Pertempuran Medan Area Pertama.
Berita perang besar di Surabaya sampai juga di Medan dan menambah percaya diri anggota Tentara Republik. Tanggal 10 November 1945, tentara Nica merebut beberapa gedung pemerintah dan dijadikan kantor mereka sendiri. Bahkan kantor Walikota Medan dan Bank Indonesia berhasil mereka kuasai. Walikota Medan Luat Siregar terbunuh. Terjadilah pertempuran Medan Area Kedua. Tanggal 10 Desember 1945, tentara Nica memulai pertempuran Medan Area Ketiga. Batalyon I Langsa mendapat perintah untuk melakukan long-march ke kota Medan dan mengambil posisi di Binjai. Hulman Sipahutar juga ikut bergerak ke kota Medan.
Tanggal 28 Maret 1946, NICA melaksanakan serangan pembersihan kota Medan secara besar-besaran. Terjadilah pertempuran Medan Area keempat. Inilah pertempuran kota yang unik sepanjang sejarah. Ada tentara Nica yang melakukan provokasi, ada tentara Inggris yang sebagian besar orang India yang memilih untuk netral, ada Tentara Republik, ada milisi rakyat yang tidak terorganisir. Di tubuh Tentara Republik juga tidak ada koordinasi. Ada pasukan Kolonel M Simbolon, ada pasukan Kolonel Jamin Ginting dan ada pasukan Kolonel Husain Yusuf. Pertempuran berlangsung dengan hebat. Pertempuran berhari-hari tersebut benar-benar melelahkan. Semua saling berebut wilayah dan posisi, kecuali Inggris yang bertahan di Belawan. Akhirnya, tanggal 1 April keluar keputusan Gubernur Sumatera Bagian Utara untuk memindahkan ibukota Propinsi Sumatera Bagian Utara ke kota Pematang Siantar.
Tanggal 5 April 1946 dibentuk Resiman Istimewa Medan Area (RIMA) yang merupakan gabungan dari pasukan Kolonel M Simbolon, pasukan Kolonel Djamin Ginting, dan pasukan Kolonel Husain Yusuf bermarkas di Tuntungan, Medan Barat. Batalyon I Divisi Gajah I di-BKO-kan ke dalam RIMA. Hulman Sipahutar juga ikut pindah ke Tuntungan. Posisinya dimutasi menjadi Kepala Pool Kendaraan Angkutan. Pengalamannya melayani Letkol Sato memberi pemahaman mengenai struktur dan operasional Kendaraan Angkutan Militer. Tanggal 1 Agustus 1946, puluhan pasukan rakyat digabung dibawah komando Resiman Laskar Rakyat Medan Area (RLRMA).
Tanggal 1 Oktober 1946 mendarat 1 batalyon Belanda totok dan beberapa hari kemudian mendarat 1 batalyon NICA dari Jawa Barat. Mereka mengambil posisi di Polonia. Mayor Bahrin selaku Komandan RIMA melakukan koordinasi dengan RLRMA untuk melakukan serangan total pengusiran kedua batalyon tersebut dari kota Medan. Tanggal 23 Oktober 1946 dimulailah serangan ke dalam kota Medan melalui 3 jurusan. Belanda langsung mengadakan serangan balasan. Terjadi pertempuran dibanyak titik. Tentara Republik kalah dalam persenjataan. Secara berangsur Tentara Republik mundur. Bahkan markas RIMA di Tuntungan juga dijadikan sasaran serangan balasan dan berhasil dikuasai NICA.
Saat melakukan evakuasi kendaraan dan peralatan militer dari markas komando, Hulman Sipahutar harus melewati jalan yang berliku-liku menerobos barikade Nica maupun milisi rakyat. Hulman malah nyasar ke utara dan terpisah dari rombongan. Disana mobil jipnya ditahan di pos penjagaan Laskar Rakyat. Hulman dan Nababan, anggota regunya, dituduh mencuri kendaraan milik Republik. Hulman dan Nababan dibawa ke markas Laskar Rakyat di Kabanjahe dan ditahan disana. Yang menyakitkan hati, sepasang samurai dan sepucuk revolver pemberian Letkol Sato disita oleh Komandan Laskar Rakyat Kompi Kabanjahe.
Karena mengalami kekalahan dalam perang tersebut, banyak anggota Laskar Rakyat yang pulang kembali ke Kabanjahe. Salah satunya adalah Darmin Manik, kenalan Hulman sewaktu di Medan. Manik memahami permasalahan Hulman Sipahutar. Mereka kemudian menyusun rencana pelarian Hulman Sipahutar dan Nababan. Suatu malam tanpa bulan, Darmin Manik dan anggotanya menerobos masuk ke rumah tempat Hulman ditahan. Beberapa penjaga dilumpuhkan. Dengan mempergunakan jip Tentara Republik yang disita Laskar Rakyat, malam itu juga mereka segera menuju desa Tongging. Jip ditinggal di Tongging, Darmin Manik kembali ke Kabanjahe dengan berjalan kaki, sementara Hulman Sipahutar dan Nababan turun ke bawah ke tepian Danau Toba. Di bawah sudah disiapkan sebuah sampan (solu) lengkap dengan dayungnya. Sepanjang hari, mereka berdua mengayuh dayung menuju Balige.
Merapat di Balige, sampan dinaikan ke darat dan disembunyikan di balik semak. Kemudian Hulman dan Nababan menuju ke rumah kenalan mereka di Pasar Balige. Kenalan mereka di Balige menyambut mereka dengan sukacita. Setelah mandi dan makan malam, mereka saling bertukar kisah tentang keadaan perang saat terakhir. Ternyata, hampir sebulan Hulman dan Nababan ditahan oleh Laskar Rakyat di Kabanjahe. Keadaan kota Medan sudah mulai tenang karena Tentara Republik sudah keluar dari kota Medan. Tuan rumah juga menyampaikan bahwa besok adalah hari pasar, kemungkinan ada pedagang dari Sipoholon yang datang ke Balige. Setidaknya Hulman dan Nababan dapat menumpang mobil sampai ke Sipoholon
Begitulah, Hulman dan Nababan akhirnya tiba juga di Tarutung. Nababan kembali ke kampungnya di Pangaribuan, sedangkan Hulman kembali ke Banuadji. Di Banuadji, Hulman menemui tidak banyak perubahan setelah 8 tahun ditinggalkan. Beberapa bulan tinggal di huta, membuat Hulman gerah. Akhirnya dia pergi ke kota Tarutung. Di sana dia mendengar kabar bahwa sahabat baiknya Cornel Panggabean telah menjadi anggota Batalyon Banteng Cruz Kota Tarutung dengan pangkat Letnan. Hulman segera melangkahkan kaki ke Markas Batalyon Banteng Cruz di kompleks Kantor Keresidenan Tapanuli. Disana dia menemui kondisi markas yang berantakan, anggota pasukan yang tidak berseragam, tidak disiplin.
Bertemu dengan Cornell Panggabean, dia dijanjikan menjadi komandan regu dengan pangkat sersan bila dapat merekrut sekelompok pemuda menjadi anggota Tentara Republik. Rupanya eforia perang kemerdekaan tidak terlalu bergema di pelosok Tapanuli. Rakyat Tapanuli merasa nyaman karena Jepang sudah tidak ada sedangkan Belanda dan Inggris sibuk di Medan.
Hulman Sipahutar kembali ke huta Banuadji. Dia berhasil mengumpulkan 15 orang pemuda dari huta Banuadji dan huta tetangganya dan dibawa ke Tarutung untuk mendaftar menjadi anggota Tentara Republik Indonesia. Oleh Cornel Panggabean pasukannya segera disahkan menjadi regu tempur dibawah Kompi C1, Batalyon Banteng Cruz Kota Tarutung. Persenjataan yang dimiliki sangat minim. Sangat berbeda dibandingkan Batalyon I kota Langsa. Dengan inisiatif sendiri, Hulman kemudian mengumpulkan senapan rakitan milik rakyat yang biasa dipergunakan untuk berburu burung. Akhirnya seluruh anggotanya dapat memiliki senapannya masing-masing.
Tanggal 25 Maret 1947 ditandatangani Perjanjian Linggarjati yang konsepnya sudah disepakati sejak tanggal 15 November 1946. Aktivitas pendudukan Belanda dibatasi hanya di kota Medan. Tanggal 1 Agustus 1947, Kolonel Maraden Panggabean, masih bapaudanya Letnan Cornel Panggabean ditunjuk dari Pusat untuk memimpin Kesatuan Banteng Cruz dan melakukan reorganisasi setingkat Divisi. Batalyon I, tempat Letnan Cornel Panggabean dan Sersan Hulman Sipahutar bertugas, dipindah kedudukannya ke kota Parapat.
Baru tiba di Parapat, terjadi Agresi Militer Belanda ke 1. Tentara Belanda keluar dari kota Medan dan sudah menduduki Pematang Siantar sedang bergerak menuju Balige. Batalyon I Banteng Cruz langsung mengambil posisi bersiap menghadapi pergerakan tentara Belanda. Barikade dibuat disepanjang jalan masuk kota Parapat. Tanggal 3 Agustus 1947, Belanda masuk kota Parapat. Perlawanan sengit yang dilakukan Batalyon I Banteng Cruz tidak mampu membendung gerak maju tentara Belanda. Tanggal 4 Agustus 1947, Belanda mendekati kota Balige. Divisi Banteng Cruz sudah mempersiapkan pertahanan kota Balige untuk menghadapi tentara Belanda.
Bersama dengan seluruh rakyat Balige mereka melakukan perlawanan sengit. Pertempuran 4 Agustus 1947 dikenal dengan sebutan Palagan Balige. Batalyon I dari kota Parapat ditarik masuk ke kota Balige untuk memperkuat perlawanan. Akhirnya Belanda dapat dipukul mundur kembali ke Parapat. Kemudian Belanda membuat benteng pertahanan di kota Parapat. Tanggal 17 Agustus 1947 disepakati Gencatan Senjata. Meski demikian Batalyon I Banteng Cruz ditugasi untuk melakukan gangguan terus menerus terhadap posisi Belanda di kota Parapat. Regu Hulman Sipahutar termasuk yang paling aktif melakukan gangguan terhadap posisi Belanda di kota Parapat.
Tanggal 18 Desember 1947 ditandatangani Perjanjian Renville. Perjanjian ini menguntungkan bagi penduduk pulau Sumatera. Belanda akhirnya menarik diri dari kota Parapat dan Pematang Siantar kembali ke kota Medan. Perlawanan terhadap Belanda dipusatkan di kota Medan. Batalyon II Banteng Cruz mengambil alih kota Parapat dari tangan Belanda. Hulman Sipahutar menetap di kota Parapat sampai akhir tahun 1948.
Tanggal 3 Januari 1949, Sersan Hulman Sipahutar ditarik ke markas Divisi Banteng Cruz di kota Tarutung sebagai anggota staf PRS. Di Tarutung, Hulman Sipahutar ikut aktif dalam kegiatan pelayanan gereja. Tangal 22 Maret 1950, Hulman Sipahutar dimutasi ke Sibolga sebagai Kepala Pool Kendaraan pada Induk Kesatuan Mtd.
Baru sebentar di Sibolga, tanggal 1 Agustus 1950, Hulman Sipahutar dimutasi ke Batalyon I Territorial I Sumut yang berkedudukan di Pematang Siantar. Pangkatnya diturunkan menjadi Prajurit Dua. Hal ini disebabkan reororganisasi di tubuh TNI yang disesuaikan dengan ijazah yang dimiliki. Hulman Sipahutar menetap di Lorong Rela, kota Pematang Siantar. Selama di Pematang Siantar, Hulman Sipahutar menyelesaikan SMP-nya yang dulu tertunda. Tahun 1954 Hulman Sipahutar lulus SMP dan langsung melanjutkan SMA. Tahun itu juga Hulman Sipahutar mengikuti Kursus Adm Ajen. Pangkatnya dinaikan kembali menjadi Sersan.
Tanggal 28 Januari 1956, Hulman Sipahutar di mutasi menjadi staf Personalia pada Induk Kesatuan KMKB yang berkedudukan di Medan. Tahun 1957 Hulman Sipahutar mengikuti Kursus Bintara Tinggi Inf (KBTI) di Cimahi dan lulus. Tahun 1958, Hulman Sipahutar berhasil menyelesaikan SMA-nya. Tanggal 1 Juli 1958, Hulman Sipahutar dimutasi ke Induk Kesatuan SKM TT-I Bukit Baru yang berkedudukan di Pematang Siantar. Ijazah SMA-nya beru dilaporkan ke kesatuan tahun berikutnya. Pangkatnya dinaikan menjadi Sersan Mayor. Pertengahan tahun 1959, Hulman Sipahutar diberangkatkan ke Cimahi untuk mengikuti pendidikan Secapa Infanteri angkatan IV 1959 sampai dengan pertengahan tahun 1960. Kembali ke Pematang Siantar, pangkatnya dinaikan menjadi Pembantu Letnan Capa.
Tanggal 1 Maret 1961, Hulman Sipahutar diangkat menjadi Komandan Kompi II, Yonif 122, Induk Kesatuan Resimen Infanteri Kodam II Bukit Barisan yang berkedudukan di Pematang Siantar. Bulan Januari 1962, Yonif 122 dikirim ke Pancet, Bandung Selatan untuk membantu menangkap Kartosuwiryo, pemimpin DI/TII. Tanggal 2 Juni 1962, Kartosuwiryo berhasil tertangkap di Gunung Rakutak oleh Yonif 327. Yonif 122 kembali ke Pemantang Siantar. Hulman Sipahutar ikut dianugerahi Bintang Satya Lencana GOM V. Pangkatnya dinaikan menjadi Letnan Dua dan kemudian diangkat menjadi Waspasi 2 di Induk Kesatuan Brigif 7, Kodam II/BB yang berkedudukan di Pekan Raya.
Pada bulan Agustus 1963, Brigif 7 diberangkatkan ke Pidie untuk melakukan Operasi Pemulihan Keamanan membantu penangkapan Daud Beureuh. Pengejaran dilakukan didalam hutan diluar kota Pidie. Pada akhir bulan Desember 1962, dilakukan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang intinya menghentikan pemberontakan bersenjata dan kembali ke pangkutan Republik. Atas keberhasilan ini, Hulman Sipahutar ikut dianugerahi Satya Lencana GOM VII. Sebagai penghargaan, tanggal 1 Januari 1963, Letnan Dua Hulman Sipahutar diangkat menjadi Kasubro pada Induk Kesatuan SU-3 Kodam Sumatra Utara berkedudukan di Medan. Baru sebentar menjabat, tanggal 1 Juli 1963, sudah dimutasi kembali menjadi Pasi 2 pada Induk Kesatuan Baf 133 Kodam II/BB yang berkedudukan di Tebing Tinggi.
Tahun 1964, Hulman Sipahutar mencoba mendaftar untuk kuliah sarjana hukum di Akademi Hukum Militer tapi gagal. Baru pada tahun berikutnya Letda Hulman Sipahutar diterima di Akademi Hukum Militer. Pada awal tahun 1965, pangkatnya dinaikan menjadi Letnan Satu dan tanggal 25 Agustus 1965 berangkat ke Jakarta untuk kuliah tugas belajar di Akademi Hukum Militer, Ditkeh TNI AD. Tahun 1968, mendapat kenaikan pangkat menjadi Kapten. Gelar BcHk berhasil disandang pada tahun 1969. Tanggal 1 April 1970 diangkat menjadi Oditur Militer pada Kodam XVII Cendrawasih yang berkedudukan di Jayapura, Irian Barat. Pangkatnya disesuaikan menjadi Mayor. Selama di Jayapura, Hulman Sipahutar menetap di rumah dinas di Dok V. Tahun 1972, Mayor Hulman Sipahutar berhasil mempertahankan skripsinya di Perguruan Tinggi Hukum Militer dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum.
Tanggal 4 November 1974, Mayor Hulman Sipahutar kembali ke Jakarta diperbantukan pada Askun Diskum, Diskumad Tanggal 26 Maret 1975, diangkat menjadi Kepala Bagordik pada Diskumad. Bulan Oktober 1975 pangkatnya dinaikan menjadi Letnan Kolonel dan tanggal 1 Desember 1976 diangkat menjadi Spri Kadiskum pada Diskumad. Â Tahun 1977 Letnan Kolonel Hulman Sipahutar melanjutkan kuliah di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 1979. Tahun berikutnya Hulman Sipahutar mengajukan Masa Persiapan Pensiun dari Kedinasan militer.
Pada tahun 1992, Letnan Kolonel Hulman Sipahutar, SH mendapat gelar Kehormatan "VETERAN" Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia sesuai Surat Keputusan  Departemen Pertahanan Keamanan Nomor: Skep/607/VI/1992 dikeluarkan di Jakarta oleh Meteri Pertahanan  Keamanan  Bapak.L.B. Moerdani pada  tanggal 03 Juni 1992.
==dokday / 27des2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H