Selanjutnya, tanggal 28 Maret 2005 Presiden SBY dengan Inpres nomor 5 tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional telah menerapkan Azas Cabotage yang berisi:
- Muatan pelayaran antar pelabuhan di dalam negeri dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya setelah Instruksi Presiden ini berlaku, wajib diangkut dengan kapal berbendera Indonesiadan dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional;
- Muatan impor yang biaya pengadaan dan/atau pengangkutannya dibebankan kepada APBN/APBD wajib menggunakan kapal yang dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional, dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah;
- Mendorong diadakan kemitraan dengan kontrak angkutan jangka panjang antara pemilik barang dan perusahaan angkutan laut nasional.
Inpres tersebut kemudian dinaikan menjadi Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang menggantikan Undang-undang nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Pola angkutan laut barang telah diatur secara rinci. Hub and Spoke sudah ditetapkan dengan 4 pelabuhan luar yakni Sabang, Batam, Bitung dan Sorong sebagai Hub Luar Negeri serta Belawan, Jakarta, Surabaya dan Makassar sebagai Hub Dalam Negeri.
Ternyata pelaksanaannya berbeda. Meskipun Republik kita sudah menetapkan bahwa kapal internasional hanya boleh melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 1 sampai 3, dengan semena-mena Australia dengan jalur PAX https://www.anl.com.au/products-services/line-services/flyer/PAXANL dari Darwin ke Singapura melintasi Laut Jawa tanpa mampir ke Surabaya atau Jakarta. MV Darwin Trader dan MV Dili Trader berkapasitas 600 teus secara rutin melintasi Laut Jawa setiap 18 hari. Hal ini merongrong kewibawaan Republik tercinta yang sudah sejak tahun 1982 meratifikasi UNCLOS.
Permasalahan kedua adalah skala ekonomis Direct Call. Pelayaran langsung (direct call) dari Papua ke China http://www.msn.com/id-id/berita/other/papua-lepas-pelayaran-pertama-ekspor-langsung-ke-cina/ar-BBrzbFM mengangkut 40 teuss hasil alam papua secara perhitungan tidak efisien. Biaya kapal (shipping cost) sebagai komponen terbesar dari biaya pengangkutan (freight cost) menjadi mahal. Akan lebih murah bila 40 teuss tadi dibawa ke Jakarta atau Surabaya dengan kapal Pelni berkapasitas 115 teuss untuk kemudian digabung dengan kapal Jakarta Lloyd ke China berkapasitas 3000 teuss. Biaya transshipment di Jakarta atau Surabaya seharusnya tidak akan lebih besar dibandingkan dengan selisih biaya kapal dengan Direct Call terlebih bila pulang kosong. Tidak benar bila biaya handling di Surabaya atau Jakarta lebih mahal dibandingkan biaya shipping. Permasalahan lintas terpendek ini sudah banyak dijadikan skripsi di banyak Universitas. Bagaimanapun orang Papua butuh kepastian jadwal dan ini yang kita tidak punya.
Permasalahan ketiga adalah konektivitas hub and spoke. Di dalam konsep pembangunan konektivitas maritim tersebut, baik tol laut maupun pendulum nusantara menempatkan 24 pelabuhan sebagai penopang program, yang terbagi menjadi dua klaster, terdiri dari 5 pelabuhan utama dan 19 pelabuhan penghubung. Program ini memakai teori jaringan Hub-Spoke sebagai desain rute tol laut, dimana Hub adalah pelabuhan utama dan Spoke adalah pelabuhan penghubung.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu ditunjuk operator Pendulum Nusantara yang akan menghubungkan 5 pelabuhan utama dan 19 pelabuhan penghubung tersebut. Dengan demikian posisi tawar Pemerintah akan semakin kuat ke perusahaan pelayaran asing untuk memaksa mereka mampir ke Jakarta atau Surabaya bila melewati ALKI. BUMN Pelayaran satu-satunya saat ini hanya Djakarta Lloyd, namun kesiapan Djakarta Lloyd untuk mengemban tugas Negara menjalin konektivitas hub and spoke membentuk Pendulum Nusantara masih dipertanyakan.
- Dokday / 24012017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H