Mohon tunggu...
Sembodo Nugroho
Sembodo Nugroho Mohon Tunggu... Peternak - Master of Animal Science

Bersepeda adalah hal yang sangat menyenangkan bagi saya, dengannya bisa mendapatkan tubuh yang sehat, inspirasi baru untuk dibagikan dan menikmati kesegaran udara dengan bonus pemandangan nan indah...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Edukasi Politik Terhadap Masyarakat di Tengah era Populis dan FOMO

26 Juni 2024   09:08 Diperbarui: 26 Juni 2024   09:21 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Creator (bing.com) 

Era Populis adalah periode dalam sejarah politik di mana pemimpin atau gerakan politik mendapatkan dukungan dan kekuatan dengan mengklaim mewakili kepentingan "rakyat biasa" melawan elit yang berkuasa. 

Populisme seringkali muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan publik terhadap sistem politik atau ekonomi yang ada. Ciri-ciri populisme meliputi retorika yang menekankan keterkaitan langsung antara pemimpin dan rakyat, serta penggunaan bahasa yang sederhana dan emosional untuk menarik dukungan luas.

Dalam konteks sejarah, era populis dapat merujuk pada berbagai periode di berbagai negara di mana gerakan atau pemimpin populis memainkan peran penting dalam politik. 

Misalnya, di Amerika Serikat, "Populist Era" merujuk pada akhir abad ke-19 ketika Partai Populis atau People's Party muncul, berfokus pada isu-isu seperti reformasi agraria, regulasi kereta api, dan perubahan ekonomi untuk mendukung petani dan pekerja.

Di negara lain, populisme juga bisa muncul dalam berbagai bentuk, baik dari kiri maupun kanan spektrum politik, dan seringkali berfokus pada isu-isu seperti nasionalisme, reformasi ekonomi, atau antipati terhadap imigrasi dan globalisasi.

Era digital memiliki hubungan yang kuat dengan pemimpin populis karena beberapa faktor utama yang memperkuat posisi dan pengaruh mereka. Berikut adalah beberapa cara di mana era digital dan pemimpin populis saling berinteraksi:

Media Sosial sebagai Alat Komunikasi

Pemimpin populis menggunakan media sosial untuk berkomunikasi langsung dengan pengikut mereka, melewati media tradisional yang sering dianggap bias atau elit. Media sosial memungkinkan pesan-pesan populis yang sederhana dan emosional disebarkan dengan cepat dan luas.

Contoh: Donald Trump menggunakan Twitter untuk mengkomunikasikan pesan-pesannya langsung kepada publik, seringkali tanpa penyaringan oleh media.

Viralitas dan Algoritma

Algoritma media sosial cenderung mempromosikan konten yang memicu reaksi emosional, seperti kemarahan atau ketakutan, yang sering digunakan oleh populis. Ini membuat pesan populis lebih mungkin menjadi viral, mencapai audiens yang lebih luas dan memperkuat dukungan mereka.

Contoh: Retorika populis yang menimbulkan ketakutan tentang imigrasi atau ekonomi seringkali menjadi viral di platform seperti Facebook dan YouTube.

Disintermediasi Informasi

Era digital memungkinkan pemimpin populis untuk melewati media tradisional dan berkomunikasi langsung dengan rakyat. Ini mengurangi peran gatekeeper informasi dan memungkinkan populis untuk mengontrol narasi mereka tanpa penyaringan atau kritik.

Contoh: Pemimpin populis sering membuat vlog, podcast, atau live streaming untuk berkomunikasi langsung dengan pendukung mereka.

Mobilisasi dan Organisasi Online

Media sosial dan platform digital memudahkan mobilisasi dan organisasi massa. Populis dapat dengan cepat mengorganisir protes, kampanye, atau acara besar dengan menggunakan media digital.

Contoh: Gerakan populis sering menggunakan platform seperti WhatsApp atau Telegram untuk mengkoordinasikan aksi dan menyebarkan informasi di antara pendukung mereka.

Disinformasi dan Propaganda

Era digital memungkinkan penyebaran disinformasi dan propaganda dengan cepat dan efektif. Pemimpin populis sering menggunakan teknik ini untuk mendiskreditkan lawan politik, menyebarkan teori konspirasi, atau memperkuat narasi mereka sendiri.

Contoh: Kampanye disinformasi yang dijalankan melalui bot media sosial atau situs berita palsu dapat mempengaruhi opini publik dan memperkuat posisi populis.

Pengumpulan Data dan Targeting

Era digital memungkinkan pengumpulan data yang luas tentang preferensi dan perilaku pemilih. Pemimpin populis dapat menggunakan data ini untuk menargetkan pesan mereka dengan lebih efektif, memastikan bahwa mereka mencapai audiens yang paling reseptif.

Contoh: Kampanye politik menggunakan analisis data untuk menargetkan iklan dan pesan kepada kelompok demografis yang spesifik.

Efek Gelembung Informasi

Internet dan media sosial cenderung menciptakan "filter bubbles" di mana orang hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri. Ini dapat memperkuat dukungan bagi pemimpin populis karena pengikut mereka hanya melihat informasi yang mendukung narasi populis.

Contoh: Algoritma platform media sosial sering menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, memperkuat bias dan keyakinan yang ada.

Era digital memberikan alat dan platform yang kuat bagi pemimpin populis untuk menyebarkan pesan mereka, memobilisasi dukungan, dan memperkuat kekuasaan mereka. Meskipun teknologi digital dapat meningkatkan partisipasi politik dan memberikan suara kepada yang terpinggirkan, ia juga membawa risiko polarisasi, disinformasi, dan erosi kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi dan media tradisional. 

Populisme dan FOMO (Fear of Missing Out) memang memiliki keterkaitan dalam konteks era digital dan media sosial. Berikut beberapa cara bagaimana keduanya bisa saling berkaitan.  Pemimpin dan gerakan populis sering memanfaatkan FOMO untuk menarik dukungan dan partisipasi. 

Dengan menyajikan narasi bahwa suatu perubahan besar atau peristiwa penting sedang terjadi, populis dapat membuat orang merasa takut ketinggalan momentum penting. Ini bisa mendorong individu untuk bergabung dengan gerakan atau mendukung pemimpin populis. Populisme sering mengandalkan retorika yang penuh urgensi dan emosional untuk menggerakkan massa. 

FOMO, yang didorong oleh ketakutan akan kehilangan peluang atau keterlibatan, dapat memperkuat pesan populis yang mendesak masyarakat untuk bertindak segera, sehingga memicu reaksi cepat dan luas. 

Media sosial, tempat di mana FOMO sering muncul, juga merupakan platform utama bagi penyebaran populisme. Informasi yang menimbulkan FOMO cenderung menjadi viral, dan populis bisa memanfaatkan ini dengan menyebarkan pesan-pesan yang membuat orang merasa perlu segera berpartisipasi atau mendukung suatu gerakan untuk tidak ketinggalan.   

FOMO bisa mendorong orang untuk mencari kebersamaan dalam kelompok atau komunitas yang memiliki pandangan atau tujuan serupa. Gerakan populis sering memanfaatkan rasa solidaritas ini, menciptakan identitas kelompok yang kuat di mana anggotanya merasa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dan tidak ingin ketinggalan. 

Ketakutan akan ketinggalan informasi penting bisa membuat orang lebih rentan terhadap misinformasi dan disinformasi. Populis bisa menggunakan informasi yang menyesatkan atau setengah benar untuk menakut-nakuti dan memanipulasi orang, membuat mereka merasa perlu bertindak cepat untuk menghindari konsekuensi negatif.

Kampanye politik populis sering menggunakan acara besar, seperti rapat umum atau demonstrasi, yang dipromosikan secara luas di media sosial. FOMO bisa mendorong orang untuk hadir di acara-acara ini atau berpartisipasi dalam kegiatan politik karena takut ketinggalan momen bersejarah atau kehilangan kesempatan untuk terlibat langsung.  

Dengan memahami bagaimana populisme dan FOMO saling berkaitan, kita bisa lebih kritis dalam menerima informasi dan membuat keputusan yang lebih bijaksana dalam konteks politik dan sosial di era digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun