Mohon tunggu...
Sembodo Nugroho
Sembodo Nugroho Mohon Tunggu... Peternak - Master of Animal Science

Bersepeda adalah hal yang sangat menyenangkan bagi saya, dengannya bisa mendapatkan tubuh yang sehat, inspirasi baru untuk dibagikan dan menikmati kesegaran udara dengan bonus pemandangan nan indah...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapitalisasi di Desa, Salah Siapa?

2 Juni 2020   23:00 Diperbarui: 2 Juni 2020   23:05 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Warga desa sedang mengayuh sepedanya (dokpri)

Desa adalah tempat tinggal kita semua, sekitar 66.048 desa yang terdata (BPS:2018) tersebar secara merata di seluruh Indonesia. Hal tersebut tentunya menggambarkan bahwa Indonesia terdiri atas banyak pedesaan. 

Ironisnya desa sering kali diabaikan dalam pembangunan Indonesia secara keseluruhan. Padahal dari desalah seharusnya kita membangun kemajuan Indonesia. Mungkin berbagai kebijakan untuk membangun desa telah disusun dan dilaksanakan, namun hasilnya masih jauh dari harapan.

Saya akan bercerita sedikit tentang keadaan masyarakat desa dewasa ini, dalam berbagai media elektronik desa selalu digambarkan dengan nuansa yang damai, sejuk, tenang dan alami. 

Memang betul adanya, kebanyakan desa demikian sehingga banyak menarik perhatian para pemodal masuk ke desa. Bagai gula di atas meja yang menjadi intaian banyak semut, itulah gambaran desa saat ini, menjadi primadona bagi para pemodal besar yang menginginkan keuntungan melimpah dengan investasi yang murah. 

Dan ironinya penduduk desa pun menyambutnya dengan suka cita, meski lahan, pencaharian dan ketahanan pangan telah terancam di depan matanya. Harapannya begitu sederhana, tidak sekompleks pemikiran para pemodal besar yang telah datang di depannya.

Kenapa orang desa pada suka cita menyambutnya ?

Pertama, Lahan mereka dibeli di atas harga rata-rata yang tertera pada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atas kepemilikan tanah, karena sebagian besar warga di desa masih sedikit yang mempunyai sertifikat hak Milik (SHM) atas tanah mereka. 

Meskipun harga yang ditawarkan di atas Nilai jual Objek Pajak (NJOP) namun kalau dirata-rata secara harga pasaran masih cenderung sangat murah. Belum lagi makelar tanah yang menjadi pembujuk pembebasan lahan di desa (biasanya oleh aparat pemerintahan setempat, baik camat, kades, maupun perangkat desa) yang tak segan untuk memotong harga dari yang seharusnya diberikan oleh pemodal besar. 

Jarang sekali diadakan audiensi dengan warga sebelum pembebasan lahan, biasanya warga langsung ditodong untuk menjual lahannya oleh oknum perangkat desa setempat, alih-alih menjadi pelindung bagi warganya malah menjadikan bahan baru untuk meraup pundi - pundi rupiah tanpa belas kasih, meskipun yang dibujuknya hanya memiliki sedikit pertak tanah sebagai gantungan hidupnya di usia yang senja. 

Dalam penentuan objek tanah yang akan dibeli oleh pemodal biasanya harus memenuhi kriteria yang digunakan olehnya baik secara lokasi, akses jalan, kontur tanah, sumber air, luas lahan dan kemudahan dalam pembebasan.

Kedua, warga desa yang secara suka rela menjual tanahnya kepada perangkat desa setempat. Adapun alasan warga desa menjual tanahnya dengan sukarela karena beberapa faktor. 

Diantaranya adalah, banyaknya hutang beserta bunga terhadap bank yang harus segera dilunasi karena ketidak sanggupan untuk melunasinya jika tidak menjual tanah. 

Kebijakan bank dalam mempermudah peminjaman terhadap orang desa, baik bank BUMN, swasta maupun bank keliling membuat banyak yang terlilit hutang, hal ini dikarenakan ketidak konsistenan dan minimnya pemasukan bulanan yang didapat dibandingkan dengan setoran bulanan. 

Tidak sedikit juga orang meminjam lebih dari satu bank, hal tersebut guna untuk menutup tunggakan setoran berikut bunga dari bank yang lainnya, demikian seterusnya hingga pihak bank tidak sedikit yang memasukan ke daftar hitam peminjam. 

Tidak adanya generasi penerus dalam pengolahan lahan (menjadi petani:Red), minimnya antusias generasi muda pada dunia pertanian sehingga mereka memilih menjual tanahnya setelah orang tuanya wafat atau sudah tidak lagi bertani karena faktor usia. Hasil penjualan tanah biasa digunakan untuk membangun rumah, modal usaha atau menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi.

Ketiga, Harapan besar dapat bekerja di perusahaan yang akan dibangun. Angka pengangguran yang tinggi di desa karena minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia menjadi salah satu alasan untuk membebaskan lahan. 

Berharap supaya sumber daya lokal dapat bekerja di perusahaan nya nanti setelah beroperasi. Hal inilah yang kait eratnya dengan jiwa gotong royong di pedesaan yang masih kental, dimana pengorbanan akan dilakukan oleh warga desa supaya yang lain dapat menikmati hasilnya yakni dapat bekerja di tempat perusahaan tersebut setelah beroperasi, meskipun faktanya daya serapo Sumber daya Manusia (SDM) lokal terbilang rendah karena tidak masuk kualifikasi perusahaan, baik secara pendidikan maupun ketrampilan atau bahkan minimnya informasi yang didapatkan saat perekrutan berlangsung.

Keempat, Rasa Rikuh Pekewuh ( Rasa tidak enakan), masyarakat desa apalagi yang di pulau Jawa akan mengedepankan rikuh pekewuh apalagi yang meminta atau membujuknya adalah orang yang mempunyai kedudukan baik secara sosial maupun struktural, sehingga akan sulit untuk menolaknya meskipun terkadang apa yang didapatnya cenderung merugikan dirinya sendiri.

itulah alasan kenapa orang di desa cenderung lebih mudah melepas lahannya daripada mempertahankannya, di samping jika mempertahankannya akan mendapatkan sanksi sosial oleh lingkungannya baik oleh perangkat desa ataupun oleh calon pejual lainnya, karena berpotensi menggagalkan secara keseluruhannya apalagi mereka yang mempunyai lahan luas di tempat strategis di desa. 

Alasan - alasan tersebut merupakan hasil analisis lapangan dan wawancara yang saya lakukan secara pribadi di beberapa desa ( tempat saya rahasiakan untuk menjaga ketertiban : Red).

Apakah mereka akan berhenti begitu saja ? jawabannya adalah tidak, karena akan mengundang para pemodal lain untuk hadir lebih banyak lagi, baik kompetitor perusahaan ataupun turunan bisnis lainnya. 

Apakah orang lokal terakomodir, jawabannya juga tidak, karena faktor SDM yang tidak terkualifikasi. Hal ini tentunya akan menjadi ancaman di kemudian hari bagi penduduk asli yang tinggal di desa, mereka akan terusik dan akan terjadi kesenjangan dengan pendatang. 

Kemiskinan di desa tidak serta merta teratasi dengan adanya pemodal yang hadir seperti kasus tersebut, namun justru akan memunculkan masalah kemiskinan yang diturunkan kepada generasi setelahnya. 

Selain menjadi masalah penduduk desa setempat, juga menjadi masalah bagi yang lainnya karena berkurangnya lahan pertanian menyebabkan berkurang juga ketersediaan pangan lokal maupun secara nasional nantinya.

Apakah hal tersebut hanya berlaku untuk desa yang jauh dari perkotaan ? tentu jawabannya tidak, karena desa di sekitar perkotaan juga akan mengalami masalah yang lebih kompleks. 

Mirisnya lagi, justru lahan-lahan produktif menjadi sasaran empuk oleh para pemodal untuk membangun kerajaan bisnis mereka. Dalam satu dekade terakhir alih fungsi lahan produktif menjadi kompleks perumahan dan rumah toko (ruko) begitu menjamur di desa-desa sekitaran kota. 

Sekejap pula harga tanah melangit seiring dengan dibukanya perumahan-perumahan baru, lahan produktif pun kian terkikis. Kalau kita telisik lebih dalam, apakah hal tersebut dibenarkan oleh undang-undang ? jawabannya tentu tidak karena bertentangan dengan UU no. 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Menuju Swasembada pangan ? kedaulatan pangan ? akan sulit untuk terwujud, malahan kita akan senantiasa didikte oleh bangsa lain secara terus menerus.

Apakah kaum Pemodal Besar yang akan terus disalahkan ? dan orang desa senantiasa menjadi korbannya ? jawabannya adalah tidak, jikalau diantara mereka terjadi simbiosis mutulisme yang saling menguntungkan dan menguatkan satu sama lain. Bagaimana caranya ? berikut akan saya jelaskan agar terjadi simbiosis mutualisme antara pemodal dengan desa.

Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling).  Di sini, titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian pasti sudah punah. 

Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran pada potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. 

Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opprtunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. 

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan dan tanggung jawab adalah bagian dari upaya pemberdayaan ini. 

Demikian pula pembaharuan terhadap institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Hal terpenting di sini adalah peningkatan partisipasi masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri sendiri dan masyarakatnya. 

Pemberdayaaan masyarakat sangat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan amalan demokrasi. Pemberdayaan masyarakat ini selanjutnya menjadi landasan untuk revolusi mental; kebangkitan, iklim, kerja dan gotong royong.

Ketiga, memberdayakan juga berarti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dilakukan pencegahan agar yang lemah tidak bertambah lema, karena kalah dalam menghadapi yang kuat.

Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengkerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. 

Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Singkatnya, pemberdayaan masyarakat adalah upaya meberikan daya kepada masyarakat untuk bisa, kerja-untung-menabung. Pemberdayaan masyarakat juga berarti menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan, meningkatkan tabungan untuk kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu pemodal harus fokus agar program pemberdayaan masyarakat dengan prinsip One Village One Product yang sesuai dengan produksi di perusahaan dapat terlaksana dengan baik dengan hasil sesuai yang diharapkan. Tentunya akan selaras dengan UU Desa No.6 tahun 2014 tentang Desa bertujuan untuk menata dan melindungi masyarakat desa dalam pembangunan.

Indonesia terdiri dari desa-desa yang jumlahnya sangat banyak. membangun Indonesia berarti membangun desa. Pemodal, pemerintah dan kita semua tidak dapat melepaskan diri dari membangun desa. Di desa-desa itulah sebagian besar warga negara Indonesia tinggal beserta dengan keseluruhan aset dan potensinya. Desa harus menjadi sumber kemajuan bagi Indonesia.

Acuan Pustaka : Sumodiningrat, G dan Wulandari, A. 2016. Membangun Indonesia dari Desa. Jakarta. Media Pressindo. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun