Mohon tunggu...
Doharman Sitopu
Doharman Sitopu Mohon Tunggu... Penulis - Manajemen dan Motivasi

Seorang Pembelajar berbasis etos , Founder sebuah lembaga Training Consulting, Alumni YOKOHAMA KENSHU CENTER--JAPAN, Alumni PROAKTIF SCHOOLEN JAKARTA, Penulis buku "Menjadi Ghost Writer"--Chitra Dega Publishing 2010, Founder sebuah perusahaan Mechanical Electrical (Khususnya HVAC), Magister dalam ilmu manajemen, Memiliki impian menjadi Guru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mural, Argumentasi Moral

24 Agustus 2021   07:00 Diperbarui: 24 Agustus 2021   07:08 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak Cara ideal untuk mengungkapkan kritik dan aspirasi yang ideal. Pertama jadilah politisi sehingga Anda dapat bersuara melalui partai Anda. Namun memang tidak semua orang mampu menjadi politisi karena banyak faktor yang haris dimiliki. Menjadi politisi membutuhkan effort yang panjang dan melelahkan. 

Hanya sedikit orang yang beruntung menjadi seorang politisi. Setelah menjadi politisi pun Anda harus menjadi politisi yang berpengaruh. Pertama berpengaruh dalam internal partai sendiri, yang kedua berpengaruh di luar partai, di tengah masyarakat luas.

Banyak politisi yang sukses di negeri ini yang mana nyinyirannya pun akan menjadi konsumsi menarik bagi media dan publik. Banyak politisi yang selalu mengkritik Presiden Jokowi. Politisi satu ini selalu memiliki sudut pandang yang “miring” dan sering kali tak dapat diduga tingkat kemiringan sudut pandangnya. 

Walaupun kritiknya sering dianggap “nyinyir” namun dapat memberikan aspirasi kepada pemerintah. Setidaknya agar pemerintah lebih mawas diri dalam menjalankan roda pemerintahan. Berikutnya adalah melatih kelihaian pemerintah yang tentunya memiliki hak jawab untuk mematahkan kritikan tersebut.

Jangankan pemerintah, kita selaku masyarakat biasa pun  merasa geregetan oleh kritikan-kritkan sejenis  ini. Hanya untuk menjadi pengkritik yang “menyebalkan” saja mereka dibayar oleh negara melalui gaji sebagai anggota dewan, misalnya. 

Namun sejelek-jeleknya mereka ini dapat dijadikan kontrol terhadap pemerintahan sehingga pemerintah tidak menjadi sesuka hati dan semena-mena. Wong pemerintah benar saja sudah mendapatkan kritikan, apa lagi salah? Tentu kritikan tersebut pasti akan lebih gencar dan pedas bertubi-tubi.

Yang kedua adalah menjadi figur publik. Terlepas dari apa pun profesi Anda namun jika dalam berbagai kesempatan dan pembahasan-pembahasan yang dikonsumsi publik pendapat Anda kerap diminta oleh media maka dapatlah dikategorikan figur publik.

Seorang figur publik maka kritikannya cenderung menarik bagi publik. Seberapa miring pun pendapat itu selalu ditunggu dan menjadi referensi. Bila pendapat itu tidak memiliki dasar pemikiran yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, maka beberapa waktu ke depan label figur publik Anda bisa copot sehingga tidak “diakui” lagi.

Menjadi politisi maupun figur publik memiliki konsekuensi tersendiri. Sepedas apa pun kritiknya namun ada satu konsekuensi logis dalam kritikan itu. Bilamana kritikan itu tidak memiliki alasan yang kuat, maka tak akan ada yang meminta Anda untuk bersuara lagi. 

Sehingga semiring-miringnya kritikan Anda, oleh karena memiliki argumentasi logis yang kadang tidak dapat dipertanggung jawabkan pun maka Anda tetap dianggap layak didengarkan. Sekali pun kritikan Anda membuat gerah banyak pihak termasuk pemerintah.

Dari pemaparan di atas dapat kita lihat bahwa setiap kritikan yang dilemparkan baik politisi maupun figur publik selalu memiliki argumentasi logis yang oleh masyarakat banyak dapat diterima. Terlepas kritikan itu menciptakan pro dan kontra yang memiliki potensi menciptakan distorsi. 

Namun dapat kita tarik benang merahnya bahwa oleh kritikan itu menciptakan aspirasi untuk melakukan sesuatu. Setidaknya memicu dan memacu pihak yang dikritik untuk melakukan tindakan korektif maupun tindakan preventif.

Dapat diyakini bahwa pembuat mural bukanlah politisi maupun figur publik. Mereka adalah masyarakat yang tidak memiliki media sehingga memanfaatkan ruang publik untuk menyampaikan aspirasinya. 

Hal inilah yang menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat kita. Perkaranya mural bukan hanya sekadar benar dan salah. Mari kita kupas.

Mural tidak memiliki unsur argumentasi yang logis apalagi memicu dan memacu aspirasi yang bermanfaat. Bagi saya mural hanya “Lempar Batu sembunyi tangan”. Selepas melemparkan kritik si pengkritik menghilang tidak jelas rimbanya. Jadi kemana akan diberikan jawaban atau counter terhadap kritikan tersebut tidak jelas. 

Berikutnya adalah alasan dan data apa yang dipakai sebagai dasar dan landasan kritikan itu tidak jelas. Apa lagi solusi, jauh panggang dari api.

Kebebasan berpendapat adalah kemerdekaan berpendapat. Sebuah kemerdekaan bila tidak memiliki latar belakang mengapa kemerdekaan itu harus diperjuangkan, maka dipastikan kemerdekaan itu tidak langgeng. Ada alasan mengapa merdeka, siapa yang ingin merdeka, bagaimana kemerdekaan itu diraih. 

Dan yang paling penting bagaimana kemerdekaan itu diisi dengan progressive demi kemajuan sebuah bangsa/komunitas. Adakah kemerdekaan yang bertujuan negatif?  

Saya kira tidak ada kemerdekaan yang diperjuangkan oleh bangsa-bangsa di dunia ini hanya untuk tujuan negatif. Setidaknya positif menurut pengusungnya dengan alasan dan argumentasi yang dapat mereka pertanggung jawabkan.

Argumentasi inilah yang sebuah unsur yang menurut saya tidak dapat dipenuhi mural. Dia tidak memiliki tujuan yang jelas. Apakah tujuan ekonomi sosial politik atau sekadar karya seni.

 Komunitas mana yang meluncurkan kritik, apa latar belakang dan datanya, apa usulan untuk menyelesaikan masalah tidak ada. Dalam bahasa yang  sederhana mural itu tidak kooperatif. Bercerita namun tidak ada narasinya. Hanya judul saja. Coba Anda bayangkan bisakah kita mengetahui sebuah cerita hanya dari judulnya saja?

Sebagai karya seni

Tak dipungkiri bahwa mural adalah sebuah karya seni. Dan perlu diingat tidak semua mural negatif. Alangkah eloknya dimana karya seni itu dipajang pada tempat yang sepantasnya semisal galleri seni. Hendaknya ini menjadi perhatian pemerintah untuk mengakomodir "bakat terpendam" para pembuat mural. 

Mencoret-coret area publik apalagi properti pemerintah adalah pelanggaran hukum. Pelukis mural dapat dikenakan pasal yang merusak fasilitas umum dan properti milik pemerintah. Milik  Negara. Bahkan jalan dan space publik adalah milik negara. Jadi bila merusak milik negara sesungguhnya dapat dikenakan pasal yang mengatur tentang itu.

Alih alih menjadi solusi mural lebih condong kepada mencari sensasi. Provokatif. Sesuatu yang salah atau tidak dapat dipertanggung jawabkan nilai kebenarannya bila dikonsumsi (Dilihat, dibaca, dinikmati) dalam waktu tertentu maka akan menjadi nilai kebenaran itu sendiri. 

Menghapus mural bukan berarti tidak menghargai hak pencipta mural tapi mencegah publik terpapar akan paham yang provokatif yang negatif dan sensitif.

Seorang abang beca yang sedang berusaha keras mengayuh becanya sekuat tenaga, akan dengan mudah terprovokasi membaca kalimat-kalimat yang ada di mural. 

Seolah penderitaan mereka terkonfirmasi oleh tulisan yang ada di mural tersebut. Hal ini sangat berbahaya. Ini adalah contoh terhadap abang beca, bagaimana dengan rakyat yang lain?

Berbeda dengan kalimat yang konstruktif dan positif tentu akan lebih baik bila dibaca oleh para pedagang dan khalayak banyak. Bisa menimbulkan semangat dan daya juang mereka dalam berkarya untuk keluarga masing-masing.

Masyarakat kita belum berada pada taraf mampu mencerna isi mural dengan arif dan bijaksana. Masyarakat adalah rakyat yang harus dilindungi oleh negara akan adanya faham-faham radikal dan konten berbahaya. 

Jadi menurut saya campur tangan pemerintah dan penegak hukum memiliki landasan yang jelas yakni menjaga area publik, aset negara, dan masyarakat dari paham yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.

Sudah waktunya untuk internalisasi nilai-nilai wawasan kebangsaan, Panca Sila, UUD 45, Kebhinnekaan yang lebih intensif lagi kepada bangsa ini. Sehingga masyarakat kita lebih memahami kebebasan berpendapat dalam koridor wawasan kebangsaan. 

Kebebasan yang kebablasan adalah bukanlah argumentasi logis yang dapat dipertanggung jawabkan dengan alasan berkarya seni namun di dalamnya disamarkan berbagai pesan pilitik dan faham-faham yang tidak dapat dipertanggung jawabkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun