Namun dapat kita tarik benang merahnya bahwa oleh kritikan itu menciptakan aspirasi untuk melakukan sesuatu. Setidaknya memicu dan memacu pihak yang dikritik untuk melakukan tindakan korektif maupun tindakan preventif.
Dapat diyakini bahwa pembuat mural bukanlah politisi maupun figur publik. Mereka adalah masyarakat yang tidak memiliki media sehingga memanfaatkan ruang publik untuk menyampaikan aspirasinya.
Hal inilah yang menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat kita. Perkaranya mural bukan hanya sekadar benar dan salah. Mari kita kupas.
Mural tidak memiliki unsur argumentasi yang logis apalagi memicu dan memacu aspirasi yang bermanfaat. Bagi saya mural hanya “Lempar Batu sembunyi tangan”. Selepas melemparkan kritik si pengkritik menghilang tidak jelas rimbanya. Jadi kemana akan diberikan jawaban atau counter terhadap kritikan tersebut tidak jelas.
Berikutnya adalah alasan dan data apa yang dipakai sebagai dasar dan landasan kritikan itu tidak jelas. Apa lagi solusi, jauh panggang dari api.
Kebebasan berpendapat adalah kemerdekaan berpendapat. Sebuah kemerdekaan bila tidak memiliki latar belakang mengapa kemerdekaan itu harus diperjuangkan, maka dipastikan kemerdekaan itu tidak langgeng. Ada alasan mengapa merdeka, siapa yang ingin merdeka, bagaimana kemerdekaan itu diraih.
Dan yang paling penting bagaimana kemerdekaan itu diisi dengan progressive demi kemajuan sebuah bangsa/komunitas. Adakah kemerdekaan yang bertujuan negatif?
Saya kira tidak ada kemerdekaan yang diperjuangkan oleh bangsa-bangsa di dunia ini hanya untuk tujuan negatif. Setidaknya positif menurut pengusungnya dengan alasan dan argumentasi yang dapat mereka pertanggung jawabkan.
Argumentasi inilah yang sebuah unsur yang menurut saya tidak dapat dipenuhi mural. Dia tidak memiliki tujuan yang jelas. Apakah tujuan ekonomi sosial politik atau sekadar karya seni.
Komunitas mana yang meluncurkan kritik, apa latar belakang dan datanya, apa usulan untuk menyelesaikan masalah tidak ada. Dalam bahasa yang sederhana mural itu tidak kooperatif. Bercerita namun tidak ada narasinya. Hanya judul saja. Coba Anda bayangkan bisakah kita mengetahui sebuah cerita hanya dari judulnya saja?
Sebagai karya seni