Dapatkah kita membendung laju perubahan (baca: disrupsi) Â dalam kehidupan kita? Â Apakah kita bisa menolak perubahan yang begitu mendesak dengan sangat kuat?
Rhenald Khasali dalam bukunya yang berjudul disruption ( Gramedia, 2017) mengatakan, "Saya harus menyampaikan pada Anda bahwa hampir semua industri tengah bertarung meghadapi lawan-lawan baru yang masuk tanpa mengikuti pola yang selama ini kita kenal."
Selanjutnya dikatakannya, "Mereka bahkan tak terlihat, tetapi tahu-tahu menjadi sedemikian besar. Bahkan sangat besar. Mereka masuk ke rumah-rumah konsumen, dari pintu ke pintu, secara online, melalui smartphone. Para pemain lama (incumbent) tak bisa mendeteksi karena lawn-lawan berada di luar jangkauan radar mereka".
Contoh nyata yang luar biasa adalah dalam industri transportasi. Tergantikannya moda transportasi ojek konvensional dengan ojol (Ojek online) adalah peristiwa yang membuat kita melek disrupsi sesungguhnya. Pelan tapi pasti mereka tukang ojek yang sehari-hari mangkal di mulut gang maupun di persimpangan jalan itu menyusut jumlahnya. Bahkan hilang sama sekali. Apa penyebabnya, tak lain karena konsumen telah berhasil dimanjakan oleh kemudahan berkomunikasi dengan ojek online. Ya, melalui teknologi komunikasi - internet.
Harus diakui sangat menyenangkan ojol ini, bila kita ingin bepergian maka kita cukup pesan melalui smartpohone. Tak lama kemudian ojol sudah tiba di depan mata. Berbeda dengan ojek konvensional yang harus dipanggil ke tempatnya mangkal atau melalui panggilan telpon. (namun tak jarang, pengemudi ojek konvensional tak punya HP).  Kondisinya sering diperparah lagi dengan tarif yang tidak ada standarnya membuat penumpang komplain (baca: ngedumel.com).
Driver ojek online menggunakan seragam, sehingga kehadirannya dapat dikenali. Tidak demikian dengan taksi online. Pada kasus taksi inilah ungkapan Rhenald Kasali di atas sangat tepat. Mereka benar benar tak kasat mata, tiba tiba muncul sudah besar dan menggerus pasar taksi arus utama tanpa ampun. Dampaknya yang luar biasa itu bisa kita lihat. Banyak taksi konvensional terseok-seok bahkan menghentikan operasinya.
Awalnya para pengemudi ojek dan taksi konvensional menolak bahkan melakukan demo di jalanan memprotes hadirnya alat transportasi online. Â Namun apa daya, moda transportasi online telah mencuri hati para pelanggan melalui aplikasi yang memudahkan dan memanjakan konsumennya. Inilah sebuah catatan penting dalam era disrupsi ini, siapa yang berhasil memanjakan dan memudahkan konsumen pastilah dijadikan preferensi utama olh konsumen itu sendiri. Yang lain minggir jadi pemain cadangan.
Transportasi online adalah sebuah penerapan sharing economy. Â Kira kira begini penjelasannya. Jika dulu perusahaan taksi adalah perusahaan yang dimiliki pengusaha besar, sekarang perusahaan ini dibagi-bagi menjadi perusahaan kecil-kecil (personal). Kita tidak butuh lahan parkir yang luas lagi karena garasi rumah masing masing driver telah menggantikannya. Dipecah pecah menjadi bagian yang kecil-kecil. Kita tidak perlu investasi besar karena para driver telah menyumbangkan minimal sebuah armada miliknya sendiri.Sebetulnya jika ditelisik lagi model ini layaknya sebuah koperasi yang berprinsip dari kita untuk kita.
Dewasa ini tempat perbelanjaan khususnya kebutuhan sehari hari telah semakin mendekat dengan konsumennya. Mereka sudah mendekat ke komplek perumahan penduduk. Bahkan bebrapa toko sejenis sudah memberikan jasa delivery. Kondisi ini telah membuat masyarakat nyaman dan dimudahkan. Mereka tidak perlu lagi bermacet ria menuju Super Market di pusat kota. Kita tahulah, kemacetan lalu lintas semakin hari makin parah saja.
Model bisnis ini pun hampir sama dengan moda transportasi online. Sharing Economy. Mall yang begitu besar dan luas dipecah-pecah menjadi bagian kecil-kecil. Sebuah toko. Demikian juga dalam kepemilikannya sharing antara pengelola dan pemilik tempat. Pemilik tempat dengan pengelola adalah dua entitas berbeda yang berkolaborasi. Hasilnya model bisnis ini sangat menakjubkan. Persebarannya dapat kita lihat di seantero Nusantara.
Namun tahukah Anda kekuatan toko retail dalam ukuran mini ini? (baca: Alfamaret dan Indomaret) Tak lain adalah kekuatan Brand mereka sehingga mereka bukanlah sekedar toko yang berjualan barang.