Semilir angin malam.
Diiring aroma rintik hujan.
Tik..tik..tik...
..
Mengapa kau bersembunyi wahai bulan?
Bukankah engkau dicari?
Tidakkah engkau lihat jalan-jalan sepi?
Tidakkah engkau dengar ringis para petualang?
Mencari sorot binar di tengah kegelapan...
..
Atau sinarmu sudah remang?
Tidak kuat menembus nasib.
Di antara gulungan awan kelabu.
Yang selalu menangis...
..
Engkaukah itu hati?
Mengapa engkau bernasib sama?
Tidak kuat menguak rindu.
Menembus gulungan nasib yang terkungkung dalam ironi.
Hanya bisa merindu.
Terkadang mungkin menangis...
..
Ahhh!!!
Malam!!!
Mengapa kau lukiskan suasana??
Ibarat cenayang membaca sukma!!!
..
Hati bagai rembulan.
Rindu bagai cahaya.
Nasib bagai awan.
Dan tangis bagai hujan...
.....
Wahai kasih...
Pun dalam jarak, kutahu engkau merasa.
Sorot dari cakrawala yang mengingatkan.
Pada rindu merajam sukma.
Beritahu aku apa yang lebih tinggi dari rindu!!!
..
Hanya bisa merindu.
Merindu kamu yang terlelap.
Dalam jarak dan cinta...
..
Tik..tik..tik...
Dingin...
.....
Sekadar ungkapan hati di bawah rembulan.
Oleh: Dofran Winner Luhulima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H