28 tahun lalu, 1 Mei 1994, terjadi peristiwa tragis: Tewasnya legenda balap Formula 1 Ayrton Senna akibat kecelakaan fatal di sirkuit Imola, San Marino.
Di awal lap ketujuh Grand Prix (GP) F1 San Marino, mobil Williams-Renault yang dikendarai Ayrton keluar trek ketika memasuki tikungan Tamburello dan kemudian menabrak dinding pembatas.
Meskipun sempat dilarikan ke Rumah Sakit terdekat di Bologna, Italia, nyawanya tak tertolong akibat cidera parah di kepala.
Penggemar balap mobil Formula 1, terutama penggemar berat Ayrton Senna berduka, termasuk saya yang ketika itu masih kelas 3 SMP.
Bagi saya, Formula 1 adalah Senna, dan Senna adalah Formula 1. Mungkin karena begitu seringnya nama Senna disebut di TV, berbanding lurus dengan seringnya ia menjuarai seri GP Formula 1, 41 juara dari 65 pole positions hingga mengantarkannya tiga kali menjadi juara dunia Formula 1, tahun 1988, 1990 dan 1991.
Sejak kelas 5 SD saya sudah tertarik dengan aksi kebut-kebutan mobil Formula 1 yang bagi anak seusia itu tentunya sangat mengasyikkan.
Apalagi ketika itu, salah satu stasiun TV swasta nasional rutin menayangkan secara langsung setiap serinya. Dan kebetulan masa itu adalah era kejayaan Ayrton Senna ketika ia sukses menjadi juara dunia.
Masa itu, Senna menjadi olahragawan favorit saya selain Michael Jordan yang sedang digilai penggemar basket.
Ya, saat itu basket adalah Jordan dan Jordan adalah basket. Michael Jordan ketika itu berhasil mengangkat bola basket menjadi olah raga yang sangat populer di dunia, termasuk Indonesia.
Yang jelas, awal-awal saya suka Senna selain karena ia sering menang, juga karena gaya membalapnya yang berani bahkan tak jarang nekat. Kelihaian mengendalikan mobil balapnya di trek basah yang sering mengantarkannya menjadi juara menambah kekaguman saya.
Ada rasa deg-degan saat menyaksikan aksi kejar-kejaran antara Senna dengan rival-rivalnya seperti Nigel Mansell dan Alain Prost.
Namun deg-degan itu berubah menjadi perasaan bahagia, lega dan bangga saat melihat Senna naik podium sambil mengangkat trophy juara.
Meskipun di awal saya menggemarinya karena ia sering juara, tapi sama sekali tak ada peraaaan menyesal mengidolakan Senna, meskipun jelang kepergiannya ia tak pernah lagi menjadi juara dunia.
Meskipun ketika saya sangat mengidolakan Senna dan menggemari balap mobil Formula 1, namun hanya sebatas menonton dan mengikuti informasi perkembangannya di TV.
Orangtua sama sekali tak khawatir saya akan ikut kebut-kebutan di jalan. Paling hanya sebatas balap mobil mainan Tamiya yang saat itu memang ada edisi Formula 1.
Pas juga ketika itu saya dan teman-teman seumuran sedang dilanda demam mobil balap mini 4WD Tamiya yang serial kartunnya tayang di TVRI setiap hari Minggu.
Anak-anak dan remaja era awal 90an pasti sangat familiar dengan serial “Dash! Yonkuro.” Serial kartun ini menceritakan tim balap mini 4WD yang menamakan diri mereka “Dash Warrior,” dengan lima orang anggota dan mobil balap mini 4 WDnya masing-masing.
Yonkuro dengan “Dash-1 Emperor,” Tankuro dengan “Dash-1 Burning Sun,” Shinkuro dengan “Dash-3 Shooting Star,” Punkuro dengan “Dash-4 The Cannon Ball” dan Rinko dengan “Dash-5 Dancing Doll.” Masing-masing tokoh tampil dengan karakter yang kuat dengan kelebihan dan keunikan mobil balap mini 4WD-nya.
Kontan saja, ketika itu belum banyak stasiun TV dan tak banyak alternatif tontonan sejenis untuk anak-anak, membuat “Dash! Yonkuro” sedemikian populer yang imbasnya tentu saja pada mobil balap mini 4WD yang memang sedang gencar dipromosikan saat itu.
Dan tentu saja Tamiya adalah juaranya. Bahkan produk kw-nya pun masih disebut Tamiya, tentu dengan kualitas yang tak sebagus produk original bikinan Jepang itu.
Dan saya, adik saya serta beberapa teman adalah korbannya. Kami yang ketika itu masih anak-anak dan remaja yang belum punya penghasilan, harus memohon ke orang tua agar dibelikan Tamiya yang diinginkan.
Tamiya juga yang mengajarkan saya untuk rajin menabung uang jajang sekolah untuk dibelikan baterai dan aksesoris lainnya. Menabung dan merengek lebih gencar lagi ketika ada Tamiya model baru yang diidamkan.
Bahkan ketika itu saya dibantu beberapa teman akhirnya mampu membuat trek balap Tamiya dari bahan kardus bekas. Mau tidak mau kami memang harus membuat sendiri sebab harga trek tamiya saat itu sangat mahal dan kami sudah pasti tak mampu membelinya. Bahkan untuk sekedar mencoba adu cepat mini 4WD di trek yang layak, masih harus menempuh perjalanan berpuluh kilometer ke Kota.
Ada keseruan tersendiri yang saya rasakan saat mobil balap mini 4WD kami beradu di cepat di lintasan sederhana tersebut. Seperti saat menonton balap mobil Formula 1 di TV, muncul rasa deg-degan dan gregetan setiap melihat mobil mini kami beradu balap.
Seolah menyaksikan Ayrton Senna sedang beradu kecepatan dan kelihaian mengendalikan mobil balapnya dengan para pembalab kompetitornya.
Bukan sekedar adu cepat saja, kita juga ditantang untuk bisa memodifikasi mobil mini 4WD agar bisa melaju kencang tapi tetap stabil di lintasan.
Sebagaimana balap Formula 1, ada adu strategi juga seperti pilihan jenis ban, gir, bumper, dinamo hingga jenis baterai yang tepat untuk meningkatkan performa mobil balap mini 4WD.
Dan semua itu saya alami dan rasakan di masa yang sama. Masa jaya Ayrton Senna hingga ia tiada dan masa mulai populernya mobil balap mini 4WD Tamiya.
Namun seiring perjalanan waktu, sepeninggal Senna, saya tak terlalu mengikuti perkembangan balap mobil Formula 1. Pun demikian dengan mini 4WD Tamiya, satu persatu koleksi saya hilang entah kemana.
Kini hampir 30 tahun kemudian, tepat di peringatan 28 tahun meninggalnya Ayrton Senna, saya kembali bergelut dengan mobil balap mini 4 WD Tamiya.
Berawal dari hadiah ulang tahun saya baru-baru ini dari istri tercinta, berupa satu unit mini 4 WD legendaris “Dash-001 Great Emperor.” Memang sebelumnya saya sempat bilang sangat menginginkan Tamiya sebagai hadiah ulang tahun.
Hingga artikel ini saya tulis, baru empat mobil balap mini 4WD yang saya punya yaitu “Dash-001 Great Emperor,” “Dash-1 Emperor,” “Rise Emperor” dan “Dash-X1 Proto Emperor.”
Ya, semuanya dari generasi film “Dash! Yonkuro.” Belum ada koleksi saya dari generasi “Lets and Go” yang dulu memang sama sekali pernah saya tonton filmnya.
Tentu kali ini tak seperti saat saya pertama bermain Tamiya di awal 90an, dimana saat itu saya masih harus bergantung pada orang tua untuk membelinya.
Sekarang suka-suka saya untuk beli tipe yang saya ingin plus aksesorisnya, tentu dengan tetap mengutamakan kebutuhan keluarga sehari-hari.
Alhamdulillah, di usia yang mulai tua ini, saya masih diberi umur panjang dan kesempatan untuk kembali bernostalgia dengan Tamiya. Karena hanya sebagai hobby pengisi waktu luang, tamiya sama sekali tak mengganggu tugas dan kewajiban kerja sehari-hari. Sebagaimana menulis, kesibukan dengan Tamiya kebanyakan saya lakukan malam hari, saat libur akhir pekan dan hari longgar lainnya.
Ternyata bukan saya saja yang di usia setua ini masih punya memori indah masa anak-anak dengan Tamiya. Ketika iseng-iseng saya share di WA dan medsos beberapa foto dan video tentang mainan lama versi baru yang saya punya, beberapa sahabat dan kerabat langsung berkomentar.
Diskusi kecil pun sempat terjadi via telpon dan chat. Ternyata kenangan tentang Tamiya dan “Dash! Yonkuro” begitu melekat di ingatan mereka.
Dan bagi saya pribadi, Ayrton Senna, “Dash! Yonkuro” dan Tamiya ikut mewarnai kisah hidup saya, terutama di masa anak-anak menuju remaja. Mereka menjadi penyemangat untuk terus optimis dalam segala hal, terutama pelajaran dan sekolah ketika itu. Mereka mengajarkan sportivitas dalam berkompetisi. Mereka juga menjadi penghibur dan pengisi waktu dengan aktivitas positif.
Bergelut lagi dengan Tamiya di usia setua ini tentu menjadi hiburan tersendiri. Lagi pula Tamiya bukan hanya untuk anak-anak, semua umur dari semua kalangan juga main Tamiya. Saya main sebagai hobi dan pengisi waktu luang, “umek” koleksi mini 4 WD atau membenahi trek yang kembali saya bikin sendiri dari kardus bekas pembungkus lemari es yang saya beli beberapa waktu lalu.
Khusus Ayrton Senna, dengan kisah perjalanan karier dan perjuangannya hingga kegigihan berlomba di detik terakhir, sudah pasti banyak yang terinspirasi olehnya. Bukan hanya pembalap Formula 1, tapi juga olahragawan lain bahkan orang biasa seperti saya.
Meskipun saya hanya sekedar pembalap Tamiya, setidaknya Senna ikut menginspirasi saya untuk terus bersemangat dalam perlombaan hidup ini. Ada satu kata bijaknya yang telah banyak dikutip dan juga menjadi inspirasi saya :
"Dan pada saat anda menyentuh batas, sesuatu terjadi dan tiba-tiba anda dapat pergi sedikit lebih jauh lagi. Dengan kekuatan pikiran, tekad, naluri, dan juga pengalaman, anda dapat terbang sangat tinggi." (Ayrton Senna)
Sejarah telah mencatat sosok Ayrton Senna sebagai pembalap yang sangat dihormati dan disegani pembalap seangkatannya, dikagumi dan menjadi "role model" para pembalap generasi berikutnya. Dan dengan segala pencapainnya hingga akhir hayat semakin mengukuhkannya sebagai legenda balap mobil dunia.
Kini, 28 tahun sepeninggal Ayrton Senna, saya kembali asik dengan Tamiya. Setidaknya dengan kembali asik bermain Tamiya, semakin memperkecil bahkan menutup kemungkinan untuk main yang aneh-aneh, apalagi main hati.
Dan kini, main Tamiya tak hanya untuk kesenangan diri sendiri, tapi juga bisa untuk menyenangkan anak, keponakan, anak teman dan teman-teman sesama penggemar Tamiya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H