Ada perasaan gembira tak seperti biasanya yang saya rasakan ketika membuka linimasa Twitter, Jum'at (23/11/2018). Ya, tak biasa sebab berasa membawa saya kembali ke masa lalu, masa indah anak-anak menuju remaja yang sedang puber. Pagi itu sapuan ibu jari di layar HP secara spontan terhenti di akun @DisneyStudios.
Di akun Twitter resmi Walt Disney Studios itu muncul cuitan "July 19, 2019. #TheLionKing" dengan cuplikan film yang sangat familiar meski tampilannya berbeda dengan yang sudah saya tonton. Yang ini nampak nyata dan hidup. Ya, ternyata raksasa perfilman Hollywood itu benar-benar memenuhi janjinya untuk "menghidupkan" karakter Simba dan kawan-kawan dalam remake film animasi tahun 1994 "The Lion King."
Bagi saya pribadi, "The Lion King" punya kesan tersendiri yang membuatnya masih terus melekat dalam memori pikiran hingga kini. Pertama kali menonton film ini pertengahan tahun 1994, hanya selisih beberapa minggu setelah resmi dirilis.Â
Bukan hanya kekuatan cerita dan keindahan visualisasinya yang membuat film ini begitu berkesan, tapi perjuangan kami ketika itu untuk bisa menonton film inilah yang menjadikannya tak terlupakan.
Kami, ya kami, saya dan beberapa teman sekolah sepermainan ramai-ramai berangkat ke bioskop untuk nonton bareng film tersebut dengan segala perjuangannya. Begitu niatnya kami nonton bareng hingga rela mengayuh sepeda sejauh 15 kilometer ke salah satu gedung bioskop dengan tarif ekonomi, dari empat gedung bioskop yang ada di Probolinggo ketika itu.
Sengaja kami pilih bioskop kelas ekonomi menyesuaikan kemampuan membeli karcis dari sisa uang jajan sekolah yang tentu tak cukup jika nonton rame-rame di Cineplex 21. Alasan agar irit pula yang membuat kami memilih mengayuh sepeda dan nonton bareng di hari Minggu saat libur sekolah.
![Tangkapan Layar YouTube channel Walt Disney Studios - The Lion King Official Teaser Trailer](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/11/24/img-20181124-101023-5bf8d60d677ffb720871b295.jpg?t=o&v=770)
Seiring berjalannya waktu, satu demi satu gedung bioskop di Probolinggo gulung tikar termasuk Cineplex 21 yang lebih dulu tutup sekitar tahun 2000. Hingga akhirnya kini sama sekali tak ada lagi gedung bioskop representatif di Probolinggo.
Kembali ke nonton bareng "The Lion King" tahun 1994, perjuangan kami ternyata tak sia-sia. Korban uang jajan sekolah dan rasa lelah menempuh perjalanan lumayan jauh terbayar lunas dengan keasyikan menonton film tersebut.Â
Bagi saya yang saat itu di penghujung kelas 3 SMP menuju bangku SMA, "The Lion King" memberikan pengalaman baru menonton film animasi berkelas dalam format layar lebar, meskipun audio di gedung bioskop kelas ekonomi itu masih ala kadarnya, belum Dolby Surround, DTS apalagi IMAX seperti sekarang.
Salah satu film animasi terbaik dan terlaris Disney tersebut cukup melekat dalam memori saya, pasalnya selain menontonya di bioskop dan tayangan TV nasional, saya juga mengoleksi VCD originalnya.Â
Beberapa belas tahun setelah menonton di bioskop, saat sudah berkeluarga dan punya penghasilan sendiri secara tak sengaja saya dipertemukan dengan VCD originalnya sekira tahun 2010. Tanpa pikir panjang saya langsung beli dan menjadikannya koleksi. Alhamdulillah, VCD tersebut masih terawat dan tersimpan rapi bersama koleksi film klasik yang lain.
![VCD Original /Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/11/24/img-20181124-114113-5bf8d7256ddcae49b71e1964.jpg?t=o&v=770)
Secara garis besar "The Lion King" mengisahkan perjalanan hidup Simba dari masa anak singa menjadi singa dewasa penguasa "Pride Lands." Diawali Simba kecil ditasbihkan sebagai putra mahkota disaksikan segenap penghuni Pride Lands. Kemudian ia harus berhadapan dengan sang paman, Scar, yang mengincar tahta Pride Lands dan berniat menyingkirkannya sampai tega mencelakai ayah Simba, Mufasa, hingga tewas.
Kisah berlanjut dengan disingkirkannya Simba oleh sang paman dari Pride Lands hingga bertemu dua karakter yang kemudian menjadi sahabatnya, Timon dan Pumbaa. Bumbu romantisme diselipkan pada hubungan Simba dengan teman masa kecilnya Nala yang kemudian berjumpa kembali saat dewasa dan mengajaknya pulang kembali ke Pride Lands.Â
Hingga kisah berakhir dengan pertarungan Simba dengan sang Paman yang justru kemudian tewas oleh serangan gerombolan hyena. Akhirnya, jadilah Simba dewasa penguasa Pride Lands menggantikan posisi ayahnya sebagai raja.
Film garapan sutradara Roger Allers dan Rob Minkoff ini cukup sarat pesan dan pelajaran hidup. Salah satunya yang sangat populer, frasa "Hakuna Matata," kalimat dalam bahasa Swahili yang artinya jangan khawatir. Frasa ini menjadi judul salah satu lagu dalam "The Lion King."Â
Pada salah satu scene, frasa ini dinyanyikan oleh Timon dan Pumbaa saat pertama kali menemukan Simba. Mereka menyanyikannya untuk menghibur dan menyemangati Simba yang baru saja terusir dari Pride Lands akibat kelicikan pamannya. Â
"Hakuna Matata" cukup menginspirasi dan mengingatkan kita untuk kuat dan sabar menghadapi cobaan yang berat sekalipun dengan tetap bergembira. Jangan khawatir, tak perlu bersedih dan berkecil hati sebab masalah dan cobaan yang berat pasti ada jalan keluar untuk menyelesaikannya.
Selain frasa Hakuna Matata yang inspiratif, ada pelajaran hidup yang kompleks namun bisa dijelaskan dengan mudah di film ini, yakni tentang lingkaran kehidupan atau "Circle of Life." Mufasa menjelaskan kepada Simba tentang lingkaran kehidupan yang terkait rantai makanan dengan bahasa yang bijak dan mudah dicerna.Â
Bahwa secara kodrat singa memang memakan kijang, namun ada saatnya singa akan mati dan "berubah" menjadi rumput. Rumput itulah yang kemudian dimakan kijang untuk tetap hidup. Demikian lingkaran besar kehidupan terus berlangsung sambil menjaga keseimbangannya.
Proses kehidupan dan naik turunnya kekuasaan juga tersampaikan dalam film ini, seperti saat Mufasa memberikan petuah kepada Simba, sehari setelah perkenalannya pada warga Pride Lands sebagai putra mahkota. Kalimat bijak inilah yang pada teaser trailer "The Lion King" versi baru menjadi narasi pengantar oleh James Earl John, pengisi suara Mufasa.
"Everything the light touches is our kingdom. Â But, a King's time as ruler rises and falls like the sun. One day, the sun will set on my time here, and will rise with you as the new King."Â
Terjemahannya kurang lebih sebagai berikut : "Semua yang disinari matahari itu wilayah kerajaan kita. Dan masa kejayaan seorang raja, naik dan turun seperti matahari. Suatu hari, matahariku juga akan tenggelam seperti itu, dan akan terbit kembali bersamamu sebagai raja yang baru." Disusul kemudian ujaran ikonik dalam bahasa Zulu "Nants ingonya mabagi thibaba" terdengar jelas di bagian pertengahan hingga akhir trailer dengan backsound intro lagu "The Cirlce of Live."
Tentang teaser trailer "The Lion King" versi live action ini jika diperhatikan memang mirip dengan beberapa scene yang ada di versi originalnya. Dari scene matahari terbit, sekelompok burung terbang melintas di angkasa, segenap penghuni Pride Lands berkumpul di depan Pride Rock menyambut Simba yang dijunjung ke udara oleh baboon sesepuh, Rafiki, sampai adegan Simba kecil menapakkan kakinya di bekas jejak sang ayah, hingga saat Simba dewasa mengaum dengan gagah di puncak singgasananya.Â
Yang sedikit berbeda, pewarna di kening Simba yang dioleskan oleh Rafiki. Jika di versi original yang dipakai adalah cairan pewarna dari buah-buahan, pada trailer versi baru berupa serbuk warna dari akar pepohonan. Â
Jujur, tampilan trailernya langsung membuat saya tertarik dan semakin penasaran seperti apa film utuhnya nanti. Apakah tema dan alur ceritanya mirip dengan versi aslinya ataukah ada pengembangan karakter dan pelebaran cerita?Â
Apakah akan banyak adegan ikonik versi animasinya yang dimunculkan kembali dalam format lebih nyata di versi baru nanti? Jawaban pasti tentu baru bisa terungkap saat film ini tayang tanggal 19 Juli 2019.
Namun jika disimak dari teaser trailer yang banyak kemiripan dengan scene di versi awalnya, kemungkinan besar tak akan ada perubahan signifikan pada tema, alur cerita dan karakter dalam versi baru nanti. Apalagi "The Lion King" yang rilis musim panas tahun depan itu dikalim sebagai remake oleh studio film yang sama.Â
Begitu juga ilustrasi musiknya yang masih digarap oleh Hans Zimmer, yang tentu masih akan menyajikan beberapa komposisi ikonis pada beberapa scene sebagaimana versi originalnya.
Bagi generasi 90-an yang sudah menonton film itu di masanya, dari segi cerita tentu bukan kejutan lagi. Mungkin lebih sekadar nostalgia sambil menyaksikannya dalam format yang berbeda, yang lebih hidup secara visual dan lebih meresap dari aspek tata suaranya. Selain itu, yang menjadi pembeda film ini nantinya ada pada pengisi suara masing-masing karakter yang banyak mengalami perubahan, kecuali Mufasa yang tetap disuarakan oleh James Earl John.
"The Lion King " versi baru menggandeng serombongan bintang Hollywood papan atas dari pemain film hingga penyanyi ternama. Donald Glover mengisi suara tokoh utama Simba, sementara komedian Seth Rogen menjadi pengisi suara Pumbaa dan pasangannya Timon yang suaranya diisi oleh aktor Billy Eichner.Â
Suara khas Jeremy Iron sebagai Scar di versi originalnya digantikan suara aktor kawakan Chiwitel Ejiofor. Yang cukup mengejutkan dan sangat dinanti, Beyonce  menjadi pengisi suara Nala. Suara khas "Zazu" burung enggang merah asisten sekaligus penasehat Mufasa kali ini diisi oleh John Oliver, menggantikan komedian senior Rowan Atkinson.  Â
Pengisi suara karakter penting lainnya adalah Alfre Woodard yang mengisi suara Sarabi, ibunda Simba. Kemudian John Kani pengisi suara Rafiki, Eric Andre pengisi suara Azizi, Florence Kasumba pengisi suara Senzhi, Keegan-Michael Key pengisi suara Kamari, JD McCrary pengusi suara Simba muda dan Shahadi Wright Joseph pengisi suara Nala muda.
Sebagai sutradara, tangan dingin John Favreau yang sukses menghidupkan Mowgli di film "The Jungle Book" diharapkan bisa memberikan hasil yang selevel atau bahkan lebih memukau untuk film versi nyata "The Lion King" ini. Setidaknya ia sudah berpengalaman menggarap film yang banyak menggunakan teknologi canggih seperti CGI dan green screen sebagaimana film-filmnya terdahulu,  Iron Man misalnya.
Bagi mereka yang menikmati masa anak-anak dan remaja di era 90an, remake film "The Lion King" meski mungkin tak banyak memberikan kejutan dari segi cerita, namun masih layak untuk dinanti. Setidaknya ada suasana dan pengalaman baru dalam menikmati kisah klasik yang telah membuat jutaan orang terkesan dan rela menontonnya berulang-ulang hingga menempatkannya di posisi 9 film animasi terlaris sepanjang masa.
Walaupun versi animasi originalnya sempat dirilis ulang secara digital dalam versi HD dengan format IMAX pad tahun 2002, namun pengalaman yang sama sekali baru tentu akan dialami saat menyaksikannya dalam format live action yang demikian nyata dengan efek suara yang "nendang" meresap ke gendang telinga.
Bagi saya pribadi dan mungkin penikmat film seusia yang punya pengalaman sama, film ini nantinya akan sangat berkesan sebab "The Lion King" akan menjadi kisah klasik yang bisa dinikmati bareng lintas generasi.Â
Film yang pernah ditonton generasi 90-an akan ditonton bersama-sama dengan generasi millenial yang mungkin belum pernah menontonnya sama sekali. Film yang versi originalnya saya tonton saat masih SMP, akan ditonton juga oleh Nia putri saya yang saat ini masih SMP, dalam format baru tentunya.
Dan sepertinya, kembali butuh sedikit "perjuangan" bagi saya dan Nia untuk menontonnya dalam format layar lebar jika sudah resmi dirilis nanti. Sebab cineplex 21 terdekat adanya di tetangga daerah, Pasuruan, yang jaraknya sekitar 30 kilometer dari tempat tinggal kami.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI