Hari ini tepat 24 tahun yang lalu, dunia olahraga khususnya balap mobil Formula 1 (F1) kehilangan salah satu pembalap terbaiknya. Minggu, 1 Mei 1994 terjadi peristiwa tragis saat berlangsungnya Grand Prix (GP) San Marino di Sirkuit Imola Italia.
Mobil Williams-Renault yang dikendarai Ayrton Senna menabrak pagar pembatas di tikungan Tamburello. Beberapa saat usai kecelakaan fatal itu, Ayrton Senna dinyatakan tewas akibat cidera parah di kepala.
Kembali saya tergerak untuk mengenang salah satu olahragawan favorit sejak saya masih anak-anak itu. Ada beberapa hal yang menarik untuk diungkap tentang pembalap kelahiran 21 Maret 1960 ini. Terlebih ketika saya kembali berkesempatan menonton film dokumenter "Senna" yang menceritakan perjalanan karir sang legenda hingga akhir hayatnya.
Menyaksikan sosok Ayrton Senna melalui "Senna" kembali menggugah kenangan masa kecil saat pertama kali mengenal balap adu cepat jet darat itu. Ketika itu bagi saya Formula 1 adalah Senna dan Senna adalah Formula 1. Mungkin karena begitu seringnya nama Senna disebut di TV, berbanding lurus dengan seringnya ia menjuarai seri GP F1 hingga mengantarkannya tiga kali menjadi juara dunia F1.
Bagian awal film dokumenter yang disutradarai Asif Kapadia itu mengisahkan permulaan karier balap Ayrton Senna di luar tanah kelahirannya, Brazil ketika ia mulai mengikuti kejuaran dunia Gokart tahun 1978.
Balap Gokart memberi kesan mendalam bagi Ayrton Senna meski kemudian ia lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya di F1. Pada beberapa kesempatan Senna menyebut Gokart sebagai "pure racing" atau olah raga balap murni yang belum ada campur tangan politik dan uang. Sementara F1 menurutnya sara dengan politik dan uang.
Namun akhirnya mau tak mau Senna harus bersinggungan dengan isu politik dan uang saat ia memutuskan melanjutkan karier balapnya di F1 tahun 1984. Ia bergabung dengan tim Toleman, tim F1 yang tidak diunggulkan dan belum pernah menang balapan. Meski bergabung dengan tim papan bawah, Senna mampu menunjukkan kualitasnya sebagai pembalap yang patut diperhitungkan.
Di tahun pertamanya sebagai pembalap F1, Senna sudah bisa menyimpulkan bahwa F1 adalah olah raga yang sarat dengan politik dan uang. "Formula Satu adalah politik dan uang. Saat anda merintis karier di sini suka atau tidak suka anda harus berurusan dengan hal-hal seperti itu," demikian ungkapnya usai GP Monte Carlo tahun 1984.
Cukup beralasan Senna melontarkan ungkapan kekesalan tersebut. Dari start di posisi 13 Senna mampu melesat ke posisi 2. Lintasan yang basah akibat hujan deras membuat pembalap sekaliber Nigel Mansell terhenti setelah mobil yang dikendarainya tergelincir dan menabrak dinding pembatas.
Karena kondisi lintasan yang basah dan licin, Alain Prost yang berada di posisi terdepan sempat melambaikan tangan kepada petugas agar balapan dihentikan. Sementara Senna semakin mendekati Prost dengan memangkas jarak 3 detik setiap putaran.
Akhirnya balapan benar-benar dihentikan pada lap 31 dari yang seharusnya 77 putaran dengan Prost di posisi pertama dan Senna di posisi ke-dua. Padahal menurut James Hunt, juara dunia F1 tahun 1976 yang menjadi komentator tamu, tak ada alasan balapan tersebut dihentikan. Bahkan komentator TV Globo, Reginaldo Leme berujar andai balapan dilanjutkan beberapa putaran lagi, Senna pasti berhasil melewati Prost.