Sebelum membahas tentang judul ada baiknya jika kita terlebih dahulu menghargai dan memberi apresiasi terhadap karya sastra orang lain, karya apapun itu. Ini penting ! Karena menulis itu cukup sulit, dan pastinya tidak ada satupun penulis yang ketika pertama kali ia menulis karyanya langsung sehebat Supardi Djoko Damono, WS Rendra atau Pegiat-pegiat Sastra lainnya.
Menulis itu memiliki tahapan-tahapan yang tidak mudah, selain harus menguasai kosakata yang baik, seorang penulis butuh daya nalar yang kuat, dan penalaran yang tajam untuk bisa menyelesaikan tulisannya. Dengan kepekaan, serta dengan rajin membaca semua bisa dikuasai.
Kritik itu memang penting selama niatnya untuk mengajak lebih kreatif, tapi memberi apresiasi sebelum mengkritik jauh lebih penting. Karena Ketika kita memberi apresiasi terhadap tulisan orang, artinya kita mendorong semangat orang tersebut untuk lebih giat lagi membuat tulisan. Tujuan ini jelas untuk perkembangan sastra di Indonesia, dan menambah minat menulis dikalangan orang muda, serta lebih banyak lagi orang yang mencintai sastra khususnya dikalangan remaja.Â
Yang terpenting bukan sehebat apa tulisan kita, tapi  sejauh mana pesan dari tulisan itu bisa sampai, menambah pengetuhuan pembaca, dan dapat menginspirasi orang lain. Pada dasarnya kritikan itu selalu datang dari orang-orang yang merasa dirinya lebih baik dari orang lain dalam hal ini. Selalu begitu, dan memang begitu ! Disinilah letak kelemahan kita, bukan hanya dalam dunia sastra, ini terjadi disetiap bidang kehidupan.
Beberapa hari yang lalu, penulis sempat membaca satu artikel dari salah satu blog yang menulis tentang karya sastra Indonesia, judul artikel tersebut kurang lebih seperti ini;Â
Hujan, Kopi, Rindu, dan Senja; Sastra Indonesia yang "itu-itu Saja"
Menurut si penulis, karya sastra saat ini hampir seluruhnya menyoal perihal Hujan, Kopi, Rindu, dan Senja. Ide yang hanya mengandalkan inspirasi yang itu-itu saja, seperti alinea berikut dalam tulisannya;Â
"Melihat betapa mirisnya ide-ide yang semakin tergerus, mengandalkan inspirasi rindu, kopi, hujan, dan senja di tiap paragrafnya, memaknai dengan hati riang bercampur gelisah dan cemas tuk ungkapkan pada kekasihnya dalam lamunan, menurut saya, itu sebuah terobosan karya yang berjalan di tempat; Ya, artinya tidak melepaskan pikiran out of the box."
Pemikiran ini baik, artinya si penulis mengajak untuk lebih kreatif dalam menerbitkan karya-karya sastra untuk kedepannya. Mungkin maksudnya harus melepaskan pikiran secara out of the box untuk membuat suatu karya yang berbeda.
Dan di alinea bagian ini, yang menurut penulis sebagian buku baik novel, pelajaran, sejarah, Â khususnya antologi puisi isinya hanya tentang rindu, rindu, dan rindu;
"Sebelumnya, saya pernah kunjungi pameran buku pelajaran, novel, antologi puisi, sejarah, dan macam-macamnya di selasar kampus. Ya, saya mahasiswa di daerah Bandung dan dikenal dengan kotanya rindu dari Milea-Dilan (bilang saja: Pidi Baiq, sastrawan yang murag di Bandung). Ternyata, sebagian buku-buku itu, khususnya antologi puisi -- sebab, saya suka. Isinya justru tentang rindu, rindu, dan rindu lagi. Hanya saja ditambah sensasinya lewat perjalanan: destinasi rindu."
Dan ternyata, selain hujan, kopi, rindu dan senja yang menurut si penulis tidak out of the box itu, si penulis rupanya juga pernah terkontaminasi dengan hal tersebut;Â
"Semenjak saya terkontaminasi oleh rindu dan kopi, saya mengartikan bahwa "Oh begitu, dunia sastra itu." Maka, berangkat dari literasi, apa yang saya baca berhasil menggugah inspirasi untuk berani bersajak sehingga karya yang dihasilkan tetap saja masih jangkauan rindu dan kopi; mainstream !"
Mainstream katanya !
"Tapi mengapa dominasi karya sastra harus merujuk pada rindu, kopi, hujan, dan senja, terutama bagi penggila puisi? Oh, sekali-kali tidak, puisi itu bukan melibatkan kosakata yang "itu-itu saja"."
Rasanya tidak perlu dijawab, itu masalah selera cuy !
Terakhir, mengenai tulisan si penulis dengan artikelnya yang cukup menginspirasi itu, bisa disimpulkan; Sepertinya si penulis mengabaikan selera remaja kita saat ini, mengingat selera baperan remaja kita kurang afdhol jika tanpa dibumbui hujan, kopi, rindu dan senja, dan itu sah-sah saja seperti kata penulis dalam artikelnya itu;Â "Selama tidak berbau SARA dan Pornografi, itu sah-sah saja."Â Yang perlu dipahami, pada dasarnya setiap penulis buku baik itu novel, kumpulan sajak, kumpulan puisi, dan sebagainya, yang memasukan sisi romantisme kedalam sastra, bertujuan menciptakan karya sesuai dengan selera pasar. Dagang maksudnya !Â
Menanggapi tulisan tersebut bukan berarti mengkritik si penulis atas artikelnya, tulisan ini semata hanya untuk mengajak agar si penulis lebih bisa menghargai karya sastra orang lain sebelum mengkritik, setidaknya dengan sedikit apresiasi agar bisa menjadi suplemen penguat bagi para penulis untuk lebih kreatif lagi dalam penulisan karya-karya sastra berikutnya untuk kedepan yang lebih baik khususnya para pemula, agar tidak hanya mentok di itu-itu saja seperti maksut artikel tersebut. Apapun jenis tulisan itu.
Baca Tulisannya disini; Hujan, Kopi, Rindu, dan Senja; Sastra Indonesia yang "Itu-Itu Saja"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H