Sementara, saya meyakini, tidak ada salahnya mereka mencoba dulu. Pikir saya, "Kalau sanggup, kenapa tidak?" Seandainya tidak sesuai, tentu saja masih banyak sekolah yang bisa menjadi jalan mereka untuk meraih cita-cita. Dan, itu lumrah, bukan hanya bagi Cahaya, melainkan juga bagi siswa-siswa yang merasa diri "normal dan tak bercacat".
Jika calon-calon siswa seperti Cahaya mulai ragu akan peluangnya diterima di SMK, apalagi mereka yang berjuang mendapat tempat di dunia kerja. Ini baru di level seorang difabel ingin masuk SMK, sekolah persiapan bagi calon-calon pekerja. Artinya, bisa jadi sebelumnya sudah ada pengalaman-pengalaman penolakan terhadap kaum difabel dalam bentuk atau di tempat lain, khususnya tempat kerja. Padahal, kesempatan itu harusnya sama diberikan kepada siapapun. Lagi-lagi, kalau memang sanggup, kenapa tidak?
Tidak Ingin Dikasihani
Bagi saya, pengalaman mewawancarai Cahaya membuka mata saya lebih lebar untuk melihat orang-orang difabel yang ingin dihargai karena kualitasnya. Mereka tidak ingin diterima sekadar karena belas kasihan. Dan, itu benar. Ada orang-orang difabel yang memang sungguh berkualitas. Terhadap para siswa, saya pun menunjukkan beberapa tokoh difabel yang benar-benar bermutu dan tidak sekadar dihargai karena belas kasihan.
Akan tetapi, belakangan saya sadar pernah membuat kekeliruan juga dengan menjadikan orang-orang difabel sebagai bahan inspirasi bagi orang lain, khususnya murid-murid saya. "Mereka saja bisa, kalian pasti bisa!" Begitu kekeliruan yang saya buat. Kesadaran itu muncul setelah membaca tulisan Reza Rizaldi di opini.com yang berjudul "Stop Inspiration Porn! Disabilitas Bukan Sumber Inspirasi". Dari tulisan itu, saya pun terdorong untuk menonton penjelasan Stella Young, aktivis difabel dan komika asal Australia.Â
Di dalam program TedX Australia pada tahun 2014, ia memopulerkan 'inspiration porn', Â istilah yang digunakan untuk menggambarkan pemanfaatan orang difabel sebagai objek bagi kepuasan orang lain, dalam hal ini untuk memotivasi atau menginspirasi mereka.Â
Membandingkan antara orang non-difabel dan difabel dengan mengatakan "Mereka saja bisa, kalian pasti bisa!" bisa dianggap merendahkan kaum difabel; seolah ingin dikatakan bahwa hidup orang non-difabel bisa saja lebih buruk, mirip kaum difabel. Maksudnya bisa jadi baik karena untuk memotivasi, tapi praktiknya menjadi tidak bijak. Memperlakukan mereka layaknya manusia biasa akan jauh lebih bijak dan menghargai kaum difabel.
Setiap orang, baik difabel atau tidak, berhak mencoba bersekolah atau bekerja di tempat yang mereka impikan. Pada saat yang sama, setiap orang juga diharapkan mau memberi kesempatan seluas-luasnya bagi orang lain untuk mencoba.Â
Sekali lagi, jika memang nyatanya mampu, betapapun mereka dinilai memiliki cacat atau kekurangan, kenapa kaum difabel direndahkan dan tidak diterima? Toh, manusia senormal apapun tetap memiliki kekurangan dan cacatnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H