Pada hari Sabtu, 28 November 2020 lalu, saya melakukan wawancara terhadap calon-calon siswa baru. Kebetulan, SMK St. Mikael Surakarta, sekolah teknik mesin tempat saya berkarya, sedang dan masih membuka pendaftaran. Saat itu saya mewawancarai delapan calon siswa dengan latar belakang berbeda-beda. Karena masih masa pandemi Covid-19, wawancara dilakukan secara daring menggunakan panggilan video (video call) Whatsapp.
Salah seorang calon siswa menarik perhatian saya. Mari kita sebut saja nama anak ini Cahaya, yang tentunya bukan nama sebenarnya. Sebelum melakukan panggilan video, seperti pada peserta lainnya, saya bertanya pada Cahaya melalui pesan singkat, "Apakah kamu sudah bisa dihubungi?" Ia pun membalas dan meminta waktu sebentar untuk mempersiapkan diri, lalu mengizinkan saya untuk meneleponnya.
Ketika kami bertemu secara virtual, tampaklah bentuk asli calon siswa yang akan saya wawancarai. Jujur saja, saat berjumpa, secara spontan saya sempat khawatir anak ini akan menjadi calon korban perundungan (bullying) di sekolah. Bentuk bibirnya yang tidak biasa bagi saya itulah yang membuat saya khawatir.Â
Akan tetapi, anak ini rupanya sangat percaya diri. Selain itu, nilai rapornya semasa SMP juga bagus. Tidak salah ia mendaftar di jalur unggulan, pikir saya. Dan, berdasarkan pengalaman saya, para siswa masih mau dididik untuk saling menerima, termasuk menerima mereka yang memiliki kondisi fisik berbeda.
Ia menjawab setiap pertanyaan saya dengan jelas dan mantap, walaupun memang sempat salah mengira ilmu teknik yang dipelajari di SMK St. Mikael itu berkaitan dengan mesin otomotif. Saya jelaskan lebih dulu bahwa yang akan dipelajari adalah mesin industri, antara lain mesin bubut, gerinda, dan berbagai variasi mesin Computer Numerical Control (CNC). Karena dengan jujur ia mengakui minatnya ada di bidang otomotif, saya katakan bahwa yang menjadi fokus di tempat kerja saya ini adalah mesin untuk merakit mobil dan membuat suku cadang mobil.Â
Saya lanjutkan penjelasan itu dengan pertanyaan, "Kamu masih berminat mendaftar atau tidak?" Ia mengatakan masih berminat dan mau berusaha. Saya pun mengacungkan jempol untuk jawaban itu.
Akan tetapi, sejurus kemudian, ia meminta izin untuk bertanya kepada saya. Tentu saja saya persilakan. "Maaf, saya sebenarnya memiliki cacat di bagian kaki. Apakah saya masih dapat diterima?"Â
Saya terkejut dengan pertanyaan tersebut. Dalam hati, saya berkata, "Kenapa tidak?" Akan tetapi, daripada malah memberi harapan palsu, saya lebih dulu bertanya mengenai yang ia maksud sebagai "cacat di bagian kaki" itu.Â
Setelah Cahaya menerangkan, saya langsung mengatakan, "Seandainya diterima di sekolah ini, pada awal masa studimu memang ada kerja bangku (bench work) yang mengharuskan kamu berdiri cukup lama. Tapi, karena kamu memilih masuk jurusan Teknik Perancangan dan Gambar Mesin, fokusmu tetap akan pada gambar dan perancangan."Â
Singkatnya, saya memintanya untuk tidak perlu khawatir karena apa yang ia anggap sebagai cacat itu tidak akan terlalu mempengaruhi aktivitas belajarnya kelak. Saya sendiri merekomendasikannya agar diterima dengan catatan ia diizinkan lebih dulu menjalani simulasi pembelajaran bila memang diterima. Jika ia sanggup, saya merasa tidak ada hal serius yang menghambatnya untuk belajar di SMK, khususnya sekolah teknik mesin.
Setelah wawancara selesai, pertanyaan Cahaya itu terus bergaung di benak saya: "Maaf, saya sebenarnya memiliki cacat di bagian kaki. Apakah saya masih dapat diterima?" Bagi saya, pertanyaan ini menohok karena spontan dilontarkan oleh seorang remaja yang khawatir, seolah-olah pintu peluang untuk belajar secara normal di SMK nyaris tertutup bagi orang-orang seperti Cahaya.Â
Sementara, saya meyakini, tidak ada salahnya mereka mencoba dulu. Pikir saya, "Kalau sanggup, kenapa tidak?" Seandainya tidak sesuai, tentu saja masih banyak sekolah yang bisa menjadi jalan mereka untuk meraih cita-cita. Dan, itu lumrah, bukan hanya bagi Cahaya, melainkan juga bagi siswa-siswa yang merasa diri "normal dan tak bercacat".
Jika calon-calon siswa seperti Cahaya mulai ragu akan peluangnya diterima di SMK, apalagi mereka yang berjuang mendapat tempat di dunia kerja. Ini baru di level seorang difabel ingin masuk SMK, sekolah persiapan bagi calon-calon pekerja. Artinya, bisa jadi sebelumnya sudah ada pengalaman-pengalaman penolakan terhadap kaum difabel dalam bentuk atau di tempat lain, khususnya tempat kerja. Padahal, kesempatan itu harusnya sama diberikan kepada siapapun. Lagi-lagi, kalau memang sanggup, kenapa tidak?
Tidak Ingin Dikasihani
Bagi saya, pengalaman mewawancarai Cahaya membuka mata saya lebih lebar untuk melihat orang-orang difabel yang ingin dihargai karena kualitasnya. Mereka tidak ingin diterima sekadar karena belas kasihan. Dan, itu benar. Ada orang-orang difabel yang memang sungguh berkualitas. Terhadap para siswa, saya pun menunjukkan beberapa tokoh difabel yang benar-benar bermutu dan tidak sekadar dihargai karena belas kasihan.
Akan tetapi, belakangan saya sadar pernah membuat kekeliruan juga dengan menjadikan orang-orang difabel sebagai bahan inspirasi bagi orang lain, khususnya murid-murid saya. "Mereka saja bisa, kalian pasti bisa!" Begitu kekeliruan yang saya buat. Kesadaran itu muncul setelah membaca tulisan Reza Rizaldi di opini.com yang berjudul "Stop Inspiration Porn! Disabilitas Bukan Sumber Inspirasi". Dari tulisan itu, saya pun terdorong untuk menonton penjelasan Stella Young, aktivis difabel dan komika asal Australia.Â
Di dalam program TedX Australia pada tahun 2014, ia memopulerkan 'inspiration porn', Â istilah yang digunakan untuk menggambarkan pemanfaatan orang difabel sebagai objek bagi kepuasan orang lain, dalam hal ini untuk memotivasi atau menginspirasi mereka.Â
Membandingkan antara orang non-difabel dan difabel dengan mengatakan "Mereka saja bisa, kalian pasti bisa!" bisa dianggap merendahkan kaum difabel; seolah ingin dikatakan bahwa hidup orang non-difabel bisa saja lebih buruk, mirip kaum difabel. Maksudnya bisa jadi baik karena untuk memotivasi, tapi praktiknya menjadi tidak bijak. Memperlakukan mereka layaknya manusia biasa akan jauh lebih bijak dan menghargai kaum difabel.
Setiap orang, baik difabel atau tidak, berhak mencoba bersekolah atau bekerja di tempat yang mereka impikan. Pada saat yang sama, setiap orang juga diharapkan mau memberi kesempatan seluas-luasnya bagi orang lain untuk mencoba.Â
Sekali lagi, jika memang nyatanya mampu, betapapun mereka dinilai memiliki cacat atau kekurangan, kenapa kaum difabel direndahkan dan tidak diterima? Toh, manusia senormal apapun tetap memiliki kekurangan dan cacatnya masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H