Mohon tunggu...
Dodo Hinganaday
Dodo Hinganaday Mohon Tunggu... Guru - Jesuit Indonesia

Pertama: terima kasih banyak untuk yang sudah meluangkan waktu berkunjung dan membaca tulisan ini. Saya anak Dayak kelahiran Jakarta, belajar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta (2010-2014), lalu lanjut menimba ilmu Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (2016-2019). Pernah juga menginjakkan kaki di pantai indah Federated States of Micronesia (FSM) sebagai volunteer di Xavier High School (2014-2016). Kini masih berjuang bersama siswa-siswa STM di SMK St. Mikael Surakarta, terutama mereka yang gelisah karena tidak bisa masuk sekolah pada masa pandemi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Rupa Dua Dimensi: Masa Pandemi dan Setelahnya

22 Agustus 2020   14:00 Diperbarui: 22 Agustus 2020   14:00 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok plague doctor dalam karya Paulus Furst yang berjudul "Doctor Schnabel von Rom" (1656). Sumber: dailyartmagazine.com

Pandemi yang terjadi karena penyakit sudah ada dan beriringan dengan tumbuhnya peradaban manusia. Dunia, dalam rentang waktu yang beragam, pernah mengalami pandemi seperti pes, flu Spanyol, dan sekarang virus corona. Pandemi sudah menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia.

Oleh karena sudah menjadi bagian dari sejarah, berbagai upaya dokumentasi dilakukan terhadap pandemi dan peristiwa-peristiwa terkait. Mewabahnya virus corona dan kejadian-kejadian di sekitarnya, misalnya, saat ini direkam secara audio dan visual. Ada yang dalam bentuk foto, video, tulisan ataupun kombinasi ketiganya. Sebelum foto dan teknologi audio ditemukan, perekaman dilakukan secara tertulis dan melalui seni rupa dua dimensi. Berkat dokumentasi ini generasi selanjutnya dapat mengetahui sejarah dan belajar dari kasus-kasus pandemi yang sudah terjadi.

Seni rupa dua dimensi secara khusus dibahas di dalam artikel ini. Baik dalam bentuk lukisan, kartun, poster, maupun ilustrasi buku. Sebagai suatu karya, seni rupa dua dimensi lebih dari sekadar dokumentasi zaman dan media pembelajaran bagi generasi pasca-pandemi, dibandingkan dengan media dua dimensi lainnya. 

Perasaan, kritik sosial, dan sisi misterius pandemi dapat disampaikan melalui suatu karya seni rupa dua dimensi. Menurut saya, aspek-aspek tersebutlah yang kemudian berperan penting memelihara iklim berkesenian di dalam situasi apapun, termasuk masa pandemi dan setelahnya. Tanpa bergantung pada regulasi pemerintah, kebutuhan ekonomi dalam masa pemulihan setelah pandemi, dan pesatnya pertumbuhan teknologi.

Sebagai contoh, sebagian orang bisa jadi merasa takut dan sebagian lagi mengernyitkan dahi jika melihat gambar 'plague doctor' atau dokter wabah saat penyakit pes menjangkiti Eropa pada abad XVII. Lihat saja karya berjudul "Doctor Schnabel von Rom" yang dibuat Paulus Furst dari Nuremberg, Jerman. Seperti ditampilkan dailyartmagazine.com, di dalam gambar tahun 1656 yang disimpan di British Museum, London, itu dokter wabah mengenakan jubah panjang berwarna hitam dengan wajah ditutupi masker berbentuk paruh burung.

Bagi penggemar film ber-genre thriller, sepintas gambaran dokter wabah bisa diasosiasikan dengan tokoh-tokoh psikopat. Karena wawasan yang kurang, gambaran itu dapat dikira kiasan atas mengerikannya wabah pes yang membunuh jutaan warga Eropa saat itu. Apalagi kalau melihat gambaran itu di atas wadah karya seni dua dimensi.

Padahal, kostum dokter yang Furst gambarkan itu sejatinya bukan kiasan ataupun sebentuk karya seni. Kostum dokter di masa pandemi saat itu memang demikian adanya. Jubah panjang hitam dimaksudkan sebagai semacam alat pelindung diri (APD). Sementara itu, masker paruh burung digunakan untuk menampung rempah-rempah yang menetralisir bau tidak sedap dari para pasien pes.

Yang ingin saya tunjukkan di sini adalah iklim berkesenian terpelihara ketika rasa ingin tahu orang tergelitik karena melihat gambaran dokter di masa serangan "Maut Hitam" (Black Death) itu. 

Ada sisi misterius kostum dokter wabah yang berhasil diikutsertakan di dalam dokumentasi berbentuk gambar sehingga membangkitkan rasa ngeri sekaligus penasaran penikmatnya pada masa sekarang. Gambar dokter wabah itu lalu mendorong orang mencari tahu dan belajar mengenai pandemi masa itu. Dan, karena mampu merangsang orang untuk belajar itulah gambar dokter wabah dari Furst itu menjadi penting.

Contoh lain seni rupa dua dimensi menanggapi pandemi dapat dilihat dalam "Ignorance = Fear 1989". Disebutkan oleh dailyartmagazine.com, poster karya Keith Haring ini dibuat untuk menanggapi pandemi HIV/AIDS yang mewabah pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an. Ia sendiri juga diketahui telah divonis mengidap AIDS. Mengetahui informasi mengenai latar belakang sang perancang akan memperkuat pemahaman atas pesan poster yang dibuatnya. Bukan hanya pemahaman, ikatan perasaan antara audience dan posternya akan terbentuk oleh simpati.

Akan tetapi, tanpa pengetahuan akan informasi tersebut, poster ini sendiri sudah "mengundang" karena menggambarkan tiga sosok yang menutup mata, mulut, dan telinga. Orang awam bisa jadi akan mengasosiasikan gambaran itu dengan ketidaktahuan, kesalahpahaman, atau kekeliruan informasi. 

Dan, memang, Haring ingin mengkritik orang-orang yang meremehkan pandemi ini karena kurangnya atau tidak tepatnya informasi yang mereka peroleh. Dengan memandang berbahayanya pandemi ini, tampak ada harapan agar penikmatnya pun tergerak untuk mencari tahu informasi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Orang-orang ini pulalah yang tidak menghargai pergulatan orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seperti Haring. Mirip dengan situasi di Indonesia akhir-akhir ini, ketika banyak orang tidak lagi peduli pada penularan virus corona. Mereka pun tidak menghormati baik tenaga medis maupun pasien yang bergulat dengan virus bernama lain Covid-19 ini. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa iklim berkesenian dipelihara oleh kritik sosial dan simpati terhadap korban pandemi.

Karya-karya seni rupa dua dimensi yang dibuat saat suatu wabah melanda menjadi pendorong orang untuk mencari tahu dan membuka wawasan mengenai bahaya yang sedang dihadapi. Setelah pandemi, karya-karya ini menjadi saksi sekaligus sumber pengetahuan, bahwa umat manusia pernah menghadapi pandemi yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar. 

Pengetahuan tersebut juga berguna sebagai alarm, bahwa bisa jadi akan datang wabah serupa di kemudian hari. Masih setelah pandemi berakhir, gambar-gambar yang ditampilkan pun menggugah perasaan dan simpati atas korban yang menderita karenanya. Dan, ketika kemanusiaan seseorang masih dapat dihidupkan oleh suatu karya seni, pada titik itulah dapat dikatakan bahwa iklim berkesenian masih terpelihara setelah pandemi.

Hidupnya Iklim Berkesenian
Pandemi apapun tidak pernah menghentikan kreativitas. Justru kreativitas semakin diasah dalam situasi pandemi. Saat itu kreativitas dibutuhkan untuk memancing rasa ingin tahu seseorang, menyerukan gagasan, kritik, dan membangkitkan rasa kemanusiaan. 

Setelah pandemi pun karya-karya seni terus membantu para penikmatnya untuk mengolah hati, perasaan, dan solidaritas, serta menyiapkan diri jika wabah itu datang lagi. Dorongan bagi warga untuk terus mengolah diri, mencari tahu, dan bersiap diri menjadi menghadapi berbagai situasi. Jadi, betapapun penting, akhirnya harus diakui bahwa bukan terutama aturan pemerintah dan kebutuhan ekonomi yang membuat iklim berkesenian terpelihara.

Tantangan bagi iklim berkesenian lewat suatu karya seni rupa dua dimensi di Indonesia adalah "Mampukah karya tersebut juga menumbuhkan dan mengembangkan rasa ingin tahu serta rasa kemanusiaan peminatnya?" Jika masih mampu, niscaya iklim berkesenian itu akan terus hidup dan terjaga di Nusantara, baik saat pandemi maupun setelahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun