Dan, memang, Haring ingin mengkritik orang-orang yang meremehkan pandemi ini karena kurangnya atau tidak tepatnya informasi yang mereka peroleh. Dengan memandang berbahayanya pandemi ini, tampak ada harapan agar penikmatnya pun tergerak untuk mencari tahu informasi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Orang-orang ini pulalah yang tidak menghargai pergulatan orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seperti Haring. Mirip dengan situasi di Indonesia akhir-akhir ini, ketika banyak orang tidak lagi peduli pada penularan virus corona. Mereka pun tidak menghormati baik tenaga medis maupun pasien yang bergulat dengan virus bernama lain Covid-19 ini. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa iklim berkesenian dipelihara oleh kritik sosial dan simpati terhadap korban pandemi.
Karya-karya seni rupa dua dimensi yang dibuat saat suatu wabah melanda menjadi pendorong orang untuk mencari tahu dan membuka wawasan mengenai bahaya yang sedang dihadapi. Setelah pandemi, karya-karya ini menjadi saksi sekaligus sumber pengetahuan, bahwa umat manusia pernah menghadapi pandemi yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar.Â
Pengetahuan tersebut juga berguna sebagai alarm, bahwa bisa jadi akan datang wabah serupa di kemudian hari. Masih setelah pandemi berakhir, gambar-gambar yang ditampilkan pun menggugah perasaan dan simpati atas korban yang menderita karenanya. Dan, ketika kemanusiaan seseorang masih dapat dihidupkan oleh suatu karya seni, pada titik itulah dapat dikatakan bahwa iklim berkesenian masih terpelihara setelah pandemi.
Pandemi apapun tidak pernah menghentikan kreativitas. Justru kreativitas semakin diasah dalam situasi pandemi. Saat itu kreativitas dibutuhkan untuk memancing rasa ingin tahu seseorang, menyerukan gagasan, kritik, dan membangkitkan rasa kemanusiaan.Â
Setelah pandemi pun karya-karya seni terus membantu para penikmatnya untuk mengolah hati, perasaan, dan solidaritas, serta menyiapkan diri jika wabah itu datang lagi. Dorongan bagi warga untuk terus mengolah diri, mencari tahu, dan bersiap diri menjadi menghadapi berbagai situasi. Jadi, betapapun penting, akhirnya harus diakui bahwa bukan terutama aturan pemerintah dan kebutuhan ekonomi yang membuat iklim berkesenian terpelihara.
Tantangan bagi iklim berkesenian lewat suatu karya seni rupa dua dimensi di Indonesia adalah "Mampukah karya tersebut juga menumbuhkan dan mengembangkan rasa ingin tahu serta rasa kemanusiaan peminatnya?" Jika masih mampu, niscaya iklim berkesenian itu akan terus hidup dan terjaga di Nusantara, baik saat pandemi maupun setelahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H