Tulisan ini sebenarnya merupakan tulisan lama karya M Agung Riyadi, Fachrul Rasyid HF (Kuala Lumpur), dan Luzi Diamanda (Pekanbaru) yang dimuat Gatra Nomor 6 dan beredar pada Kamis, 20 Desember 2007. Sengaja saya posting untuk memberikan gambaran kepada kita semua akan niat kurang baik dari Malaysia yang hendak menguasai budaya Indonesia.
Menurut hasil reportase Gatra ini, sebenarnya sejak lama Malaysia sudah berkeinginan menguasai budaya kita, salah satunya budaya Melayu yang sebenarnya berasal dari Indonesia. Banyak orang Malaysia sendiri mengakui bahwa nenek moyang mereka sebenarnya berasal dari Indonesia.
Namun mereka rupanya hendak memutar balikan fakta, seakan-akan budaya Melayu berasal dari Malaysia. Berikut reportasi Gatra untuk dapat kita cermati bersama-sama:
Bak agen rahasia, para peneliti Malaysia belakangan ini bergentayangan di pelbagai pelosok Nusantara. Mereka berburu naskah Melayu klasik untuk diboyong ke negaranya. Bila naskah yang dikendaki tak bisa dibeli, mereka memotretnya.
Laku lancung orang Malay yang mengaku sebagai bangsa serumpun itu terungkap dalam Rapat Kerja Asosiasi Budaya Tulis (ATL) di Jakarta, 10-11 Desember lalu. Ditengarai, ratusan naskah Melayu klasik dari Indonesia kini terbang ke Malaysia.
“Naskah-naskah tersebut oleh mereka dibuatkan situs tersendiri. Jika kita mau mengakses naskah-naskah itu, harus membayar,” kata Al-Azhar, Ketua ATL Riau. Para peneliti dari Malaysia atau Singapura membeli naskah-naskah koleksi perorangan, yang mewarisi naskah klasik.
Para pemburu naskah Melayu dari negeri jiran itu membujuk ahli waris naskah agar sudi menjualnya. Mereka menawarnya hingga belasan juta rupiah untuk setiap naskah. Ahli waris naskah kuno yang taraf ekonominya kurang menguntungkan itu pun tergiur.
Salah satu contohnya adalah naskah kuno tentang tata cara pelaksanaan hidup dalam sebuah kerajaan Melayu. Naskah itu adalah catatan harian yang ditulis pemuka masyarakat Pakil, Tanjung Pinang, Provinsi Riau Kepulaun. Seorang peneliti Malaysia dikabarkan membeli naskah itu Rp 12 juta.
Modus itu, kata Al-Azhar, sekilas tampak bisa dibenarkan. “Karena mereka melakukan transaksi jual-beli,” tuturnya. Masalahnya, menurut Undang-Undang Perlindungan Cagar Budaya, jual-beli hanya boleh dilakukan masyarakat atau individu pemilik naskah kuno itu kepada kalangan dalam negeri. “Jadi, jika menjual ke pihak luar, bisa dituntut secara hukum,” Al-Azhar menegaskan.
Namun faktor ekonomi dan minimnya pengetahuan masyarakat pemilik naskah itu akan nilai historisnya membuat mereka enteng saja melepas naskah tersebut. “Mereka juga tak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu melanggar hukum,” kata Al-Azhar.
Modus yang sama terjadi di Sumatera Barat. Dari penelusuran Gatra terungkap, ada 30 lembar naskah yang dijual Rp 150 juta. Naskah yang diburu biasanya naskah kebudayaan Minangkabau masa lampau, ilmu agama, dan rajah atau teks yang dianggap masyarakat punya kekuatan magis. Naskah itu lazim ditulis dengan huruf Arab Melayu, yang sebagian besar tak diketahui siapa penulisnya.