Mohon tunggu...
Arief Setyo Widodo
Arief Setyo Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pengetik teks bebas

Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suara dari Hinterland Batam, Ketika Rakyat Kehilangan Kuasa atas Tanahnya

20 Oktober 2023   14:51 Diperbarui: 21 Oktober 2023   13:08 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hinterland dan Mainland, istilah yang seringkali disebut untuk menunjukkan pembagian wilayah di Kota Batam. Mainland, dapat diartikan sebagai daratan utama yakni Pulau Batam yang menjadi pusat pemerintahan, perekonomian, dan pembangunan. Sementara hinterland, sering diartikan sebagai wilayah penyangga atau penyokong kota. Dalam konteks Batam yang wilayahnya berupa kepulauan, istilah hinterland digunakan untuk menyebut pulau-pulau di sekitar Pulau Batam seperti Pulau Rempang, Galang, dan Penawar Rindu/Belakang Padang.

Wilayah Kota Batam terdiri dari 371 pulau yang membentang dari utara ke selatan. Sejak tahun 1998, sisi utara hingga selatan kota batam sudah terhubung jalan darat. Terdapat 6 jembatan yang menghubungkan Pulau Batam di sisi utara hingga Pulau Galang Baru di sisi selatan. Meskipun sudah menjadi satu daratan sejak 1998, namun penyebutan mainland masih ditujukan untuk Pulau Batam.  

Berbeda dengan mainland yang selayaknya kota besar lain, kawasan hinterland masih relatif sepi. Sejauh ini, pembangunan masih terpusat di wilayah Pulau Batam saja. Begitu juga dengan penduduk yang terpusat di wilayah Pulau Batam, persentasenya mencapai lebih dari 90% jumlah total penduduk Kota Batam.

Wilayah mainland Batam mayoritas dihuni oleh pendatang dari luar daerah. Sementara itu, di kawasan hinterland mayoritas ditinggali masyarakat tempatan yang telah menghuni daerah tersebut sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu. Sejak kawasan industri berkembang, banyak warga hinterland yang merantau ke mainland Batam.

Meskipun secara administratif merupakan kawasan kota, namun suasana di kawasan hinterland terasa seperti di desa. Perkampungan nelayan tradisional yang disebut juga sebagai kampung tua banyak ditemukan di kawasan hinterland. Rumah-rumah panggung di area pasang surut masih tampak mendominasi perkampungan.

Kehidupan di kampung cenderung berjalan santai, didukung dengan suasana tepi laut yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota. Namun dibalik itu semua, muncul kekhawatiran dari warga terkait status lahan mereka yang masih belum jelas.

"Dulu pernah ada pengukuran tanah dari BPN untuk pembuatan sertifikat bagi masyarakat, tapi tidak berlanjut karena status lahan yang belum jelas. Untuk membuat SHM butuh biaya besar dan koneksi dengan BPN. Masyarakat kebanyakan tidak memiliki kedua hal tersebut, jadi hingga saat ini hanya pengusaha yang memiliki sertifikat kepemilikan lahan." Begitulah kira-kira yang disampaikan salah seorang warga di Kecamatan Galang ketika menjelaskan tentang status lahan di kampungnya pada tahun 2021. Sertifikat hak milik (SHM) untuk kampung tua memang sudah dijanjikan oleh pemerintah, namun hingga kini belum terealiasi sepenuhnya.

Menurut warga tersebut, lahan di Rempang Galang masih jadi status quo atau dengan kata lain masih terjadi tarik ulur apakah akan disamakan dengan pulau Batam? Pada awalnya hanya pulau Batam saja yang memiliki status lahan khusus yakni tanah negara. Saat itu, kampung mereka terpisah dari Batam baik secara administratif maupun pengelolaan ekonomi. Pulau Rempang, Galang, dan pulau-pulau di sekitarnya masih menjadi bagian dari wilayah kecamatan Galang dan Bintan Utara, Kabupaten Kepulauan Riau. Namun sejak pemerintah menerbitkan Keppres No. 28 Tahun 1992, Pulau Rempang, Galang, dan sekitarnya menjadi bagian dari kawasan industri Batam.

Status tanah di Kota Batam memang cukup rumit. Badan Pengusahaan (BP) Batam bertindak sebagai pengelola kawasan industri Batam mewakili pemerintah. Namun, hak pengelolaan BP Batam terbentur dengan adanya kampung tua yang dijanjikan sertifikat tanah oleh pemerintah. Benturan hak atas tanah tersebut terjadi pada kasus proyek Rempang Eco City. Masyarakat kampung tua pada awalnya menolak penggusuran, namun rupanya yang dilakukan pemerintah adalah penggeseran. Pemukiman masyarakat akan direlokasi, dibangunkan rumah dan fasilitas umum lain. Namun, bagaimana dengan status tanah di pemukiman baru? 

Di masa lalu, masyarakat masih belum terpikirkan untuk mengurus legalitas tanahnya. Lagi pula tanpa Sertifikat Hak Milik (SHM) pun, mereka dapat memanfaatkan lahan tersebut dan mewariskannya ke anak cucu. Klaim atas tanah tersebut juga diakui oleh masyarakat sekitar. Warga sudah saling mengetahui batas-batas lahan mereka dan menghargai hak atas lahan masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun