Candi Gunung Wukir, tersembunyi di puncak bukit yang dikelilingi hutan bambu. Candi ini memang tidak sepopuler Candi Borobudur atau Prambanan, namun diperkirakan merupakan salah satu candi tertua. Candi Gunung Wukir didirikan pada masa pemerintahan Raja Sanjaya di kerajaan Mataram Kuno atau Medang sekitar tahun 732 M. Candi bercorak Hindu Siwa ini diperkirakan juga menjadi pusat spiritualitas di Jawa pada masa itu.
Dusun Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Magelang adalah lokasi Candi Gunung Wukir berada. Nama Dusun Canggal kemudian dijadikan nama sebuah prasasti yang ditemukan di candi tersebut. Prasasti Canggal yang ditulis menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta menceritakan kondisi rakyat yang makmur dan hidup serba senang di bawah pemerintahan Raja Sanjaya. Prasasti tertua kedua yang pernah ditemukan di Indonesia ini dirilis oleh Raja Sanjaya untuk memperingati pendirian lingga di atas bukit Sthirangga. Saat ini, prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Â
Bersama salah seorang kawan yang juga merupakan warga lokal kami dipandu melalui jalan desa nan asri. Sesekali melewati jalan raya, namun tak lama kemudian berbelok ke jalan desa. Rute yang diambil merupakan jalan pintas pedesaan sehingga menyenangkan untuk dilalui.
Tidak banyak petunjuk jalan menuju Candi Gunung Wukir. Saya hanya melihat satu plang kecil di suatu perkampungan yang menunjukkan lokasi candi. Sesampai di ujung jalan, kami sempat kebingungan mencari tempat parkir. Saat itu memang tidak ada orang di sekitar jalan, hanya ada seorang simbah sedang duduk bersantai di teras rumahnya. Si kawan pemandu lantas menemui simbah itu, dan kami pun dipersilahkan memarkir motor di dekat rumahnya.
Bagi yang baru pertama ke sana memang harus rajin-rajin bertanya kepada penduduk setempat karena harus melalui jalan perkampungan yang cukup padat dan tanpa petunjuk yang memadai. Di google maps pun hanya tercantum titik lokasi candi, belum tercantum lokasi parkir dan jalan masuknya. Sepertinya juga tidak ada lokasi parkir resmi sehingga harus memarkir kendaraan di halaman rumah warga.
Dari rumah warga terakhir tempat kami memarkir motor, jarak candi masih sekitar 15 menit berjalan kaki. Setelah menyeberang kali, kami melewati jalur setapak di pinggir sawah. Memasuki hutan bambu, jalan mulai menanjak. Jalur cukup terjal namun sudah dibentuk semacam anak tangga sehingga memudahkan untuk menapak. Saat musim hujan sepertinya menjadi licin karena masih berupa jalan tanah.
Dari dalam sebuah bangunan sederhana muncul seorang laki-laki paruh baya yang sepertinya petugas di komplek candi ini. Kami pun menemuinya dan diminta mengisi buku tamu. Saat itu, hanya ada rombongan kami yang berkunjung. Kompleks candi seluas 50 m x 50 m itu terasa begitu sunyi.
Wujud Candi Gunung Wukir tidaklah sempurna, sekilas nampak seperti reruntuhan. Terdapat sebuah candi induk dan tiga candi perwara yang tersusun di seberang candi induk. Hanya satu candi perwara saja yang memiliki tangga dan pintu masuk, sedangkan dua candi perwara dan satu candi induk hanya nampak bagian kakinya saja. Banyaknya batu-batu penyusun candi yang belum ditemukan membuat Candi Gunung Wukir ini tidak dapat dipugar sempurna.
Yoni tanpa Lingga terdapat di candi induk dan satu candi perwara. Biasanya, Lingga Yoni dibuat sepaket yang melambangkan kesuburan sekaligus sebagai simbol penyatuan Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Namun hal itu tidak ditemukan di Candi Gunung Wukir, mungkin Lingga-nya sudah hilang. Di candi perwara tengah, terdapat arca nandi yang menjadi simbol kendaraan/wahana Dewa Siwa.