Mohon tunggu...
Arief Setyo Widodo
Arief Setyo Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pengetik teks bebas

Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertahan dalam Belantara Sawit

4 Februari 2020   11:46 Diperbarui: 4 Februari 2020   11:52 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hutan sawit (dok. pribadi)

Bagi kelompok masyarakat tertentu, hutan memegang peran penting dalam kehidupan mereka. Kelompok masyarakat ini biasanya masih hidup secara tradisional dan tersebar di berbagai pelosok Indonesia. Makanan pokok seperti sagu dapat dengan mudah ditemukan di hutan, tinggal tebang dan tokok saja sudah.

Ada juga kelompok masyarakat lain yang menjadikan hutan sebagai ladang padi atau dikenal juga sebagai sistem ladang berpindah. Kebutuhan pokok lain juga biasa mereka cari di hutan mulai dari hewan buruan hingga obat-obatan. Dan yang tidak kalah pentingnya, hutan menyediakan sumber air dan udara bersih. Mereka punya cara dan aturan sendiri dalam memanfaatkan hutan sehingga tetap terjaga kelestariannya.

Pemanfaatan hutan sebagai sumber kehidupan sudah berlangsung sejak generasi awal mendiami tempat tersebut. Masyarakat lokal sudah sangat bergantung pada hutan. Namun kini sepertinya mereka harus menerima nasib bahwa hutannya dimanfaatkan orang lain untuk sesuatu yang dianggap lebih produktif. Industri pengolahan kayu, pertambangan, dan perkebunan datang merambah hutan tempat tinggal mereka.

Kedatangan industri membuat hidup mereka berubah banyak. Dulu mereka bisa dengan mudah memperoleh kebutuhan hidup dari hutan. Sekarang hutan sudah hilang, kalaupun ada itu hanya sepetak saja. Sepetak hutan yang sengaja disisihkan untuk memenuhi "syarat hijau" dan menjamin keberlangsungan hidup perusahaan.

Masyarakat lokal tidak bisa sebebas dulu lagi memanfaatkan sumber daya hutan yang tersisa. Tak punya pilihan lain, mereka harus ikut masuk dalam lingkungan perusahaan. Menjadi pekerja rendahan sekadar untuk mendapat sejumlah rupiah yang kemudian ditukar dengan kebutuhan hidup keluarga.

Menurut data dari Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, luas perkebunan sawit di Indonesia pada 2019 diperkirakan mencapai 14,6 juta hektar. Sumatera dan Kalimantan merupakan pulau yang memiliki area perkebunan sawit terluas dibanding pulau lainnya di Indonesia. Tanaman sawit tumbuh subur di kedua pulau itu, perlahan menggantikan hutan hujan tropis yang dulu sangat dominan.

Mungkin sebentar lagi Papua akan menyusul karena lahan potensial (hutan yang belum dimanfaatkan) masih banyak dan murah harganya. Ekspansi sawit yang masif memunculkan berbagai kritik terkait dampaknya terutama bagi masyarakat lokal. Industri sawit dituduh menjadi penyebab tersingkirnya masyarakat lokal.

Namun perluasan perkebunan sawit memang tak dapat dihindari. Banyak produk sehari-hari yang dibuat menggunakan minyak sawit. Begitu pun dengan para orang kaya yang berlimpah harta, mereka butuh suatu bisnis untuk berinvestasi. Investasi sawit adalah salah satu pilihan terbaik bagi mereka. Industri sawit juga menjanjikan pendapatan lumayan bagi pekerjanya. Jadi, suka tidak suka manusia jaman sekarang sudah bergantung pada sawit.

Dalam industri sawit, masyarakat lokal lah yang terkena dampak terbesar. Mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan. Dulu mereka hidup bergantung pada kemurahan alam, sekarang harus bergantung pada kemurahan hati para bos sawit. Untuk makan sehari-hari, mereka tak bisa lagi tanam padi di ladang atau tokok sagu di hutan. Mereka harus bekerja untuk mendapatkan uang yang kemudian dibelikan beras untuk makan. Begitu juga dengan kebutuhan hidup lain yang kini harus mereka penuhi menggunakan uang.

Sialnya masyarakat lokal kalah bersaing dengan para pendatang. Pengusaha menganggap para pendatang lebih berkualitas dibanding masyarakat lokal. Para pendatang kebanyakan sudah memiliki kemampuan teknis di bidang perkebunan sawit atau setidaknya sudah biasa bertani. Pendatang  juga dinilai lebih produktif dan kompetitif sehingga wajar jika lebih diutamakan.

Dan yang tak kalah pentingnya mereka sudah memahami pola kerja industri. Dari segi ketrampilan, masyarakat lokal kalah telak dibanding pendatang. Mereka sulit bersaing bahkan untuk level pekerjaan paling bawah sekalipun. Maka tak heran jika para pengusaha lebih memilih pendatang dibanding masyarakat lokal.

Masyarakat lokal cenderung kesulitan jika dihadapkan dengan pola kerja yang menuntut kedisiplinan. Dulu mereka hanya kerja di waktu tertentu dan tidak terikat jam kerja. Sekarang mereka harus kerja 8 jam sehari dengan target yang ditentukan. Maka tidaklah mengherankan jika orang lokal sering dianggap pemalas. Mereka memang masih belum terbiasa bekerja dengan berbagai aturan perusahaan yang mengedepankan produktivitas.          

Kini masyarakat lokal makin tersisih. Lahan garapan sudah terlanjur diserahkan kepada perusahaan. Mungkin mereka punya jatah kebun sawit kemitraan. Namun penghasilan bulanan tak bisa dijadikan pegangan mengingat nominal yang kecil jika dipotong angsuran kredit kebun sawit. Kalaupun kredit sudah lunas, masih ada fluktuasi harga sawit yang menentukan besar kecilnya pendapatan mereka. Kalau ingin bekerja di perusahaan sawit, mereka harus bersaing dengan para pendatang.

Meski sudah jadi pekerja di perusahaan, namun status mereka hanyalah harian lepas tidak jelas. Ada seorang warga di Kalimantan Barat yang mengeluh tidak mendapat apa yang telah dijanjikan setelah menyerahkan lahannya ke perusahaan. Dia merasa jam kerja yang diberikan oleh perusahaan kurang banyak sehingga upah yang diterima pun dirasa kurang. Namun tak banyak yang bisa mereka perbuat, tidak punya daya tawar, tak punya kekuatan.

Masuknya perkebunan sawit menjadi tantangan bagi masyarakat yang mengalami masa peralihan dari pola hidup subsisten menjadi pola hidup di lingkungan industri. Dulu dengan kemampuan berburu dan memanfaatkan hasil hutan, mereka dapat hidup berkecukupan. Namun sekarang di lingkungan industri, keterampilan tradisional mereka kurang bermanfaat seiring makin menyusutnya hutan. Pada akhirnya mereka yang dapat menyesuaikan diri akan menikmati hasil berlimpah. Namun bagi yang tidak dapat beradaptasi akan tersisih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun