Asap terlihat membumbung tinggi dari arah hutan. Makin mendekat tampaklah pondokan sederhana di batas hutan. Di belakang pondok itu terdapat tanah lapang luas dengan pepohonan yang telah ditumbangkan. Beberapa titik api terlihat masih menyala-nyala. Sekitar seminggu lagi, lahan itu siap untuk ditanami padi. Ladang milik sebuah keluarga ini cukup jauh dari perkampungan. Perlu waktu setengah jam melewati jalan setapak dan menyeberang sungai kecil untuk sampai ke pondokan mereka dari kampung terdekat.
Letak ladang warga memang biasanya jauh dari perkampungan. Oleh karena itu, mereka membangun pondok sederhana di ladang untuk tempat tinggal sementara saat musim berladang dan panen namun tetap punya rumah di kampung. Tapi bagi keluarga ini mereka lebih memilih tinggal dekat dengan ladangnya. Bersama dengan anak-anaknya, mereka tinggal di pondokan sederhana di pinggiran hutan.
Dibanding tetangga lain, mereka termasuk terlambat mulai masa tanam. Saat sebagian warga di kampungnya sudah selesai nugal, mereka masih membuka lahan. Biasanya di akhir September sudah selesai masa tanam, namun kemarau panjang di tahun 2015 memperpanjang waktu pembukaan lahan. Puncak musim kemarau adalah waktu yang paling ideal untuk membuka lahan dengan cara pembakaran.
Cuaca panas dan kondisi lahan yang kering mempermudah proses pembakaran. Kegiatan bakar lahan ini tak bisa sembarangan karena berisiko tinggi. Biasanya kebakaran akan dilokalisasi misalnya dengan membuat semacam parit di batas lahan. Setelah tanaman di lahan selesai dibakar, tiga hari sampai seminggu kemudian dimulailah masa tanam.
Menanam padi ladang (dalam bahasa setempat disebut “nugal”) di beberapa tempat dikerjakan bersama-sama secara gotong-royong. Secara bergantian, mereka saling membantu nugal di lahan masing-masing. Jadi, warga akan nugal keliling di beberapa lahan milik anggota kelompok yang biasanya dalam satu kampung.
Kegiatan ini juga dikenal dengan istilah “balas hari” karena kegiatan ini sebagai balas jasa untuk si pemilik lahan karena sudah membantu nugal di lahannya tempo hari. Nugal berkelompok ini biasanya diikuti oleh beberapa hingga belasan KK, tergantung banyak-sedikitnya anggota kelompok. Kegiatan ini bisa berlangsung hingga beberapa hari untuk sepetak lahan, tergantung luasnya.
Selepas nugal, biarkan alam yang bekerja. Tak perlu diairi atau disiram, cukup menunggu langit melimpahkan hujan. Tak perlu dipupuk, tanah sudah cukup subur dengan sisa-sisa tanaman yang telah terbakar dan membusuk. Mereka hanya perlu menunggu sambil sesekali membersihkan rumput liar yang mengganggu. Dalam waktu lima hingga enam bulan biasanya mereka sudah bisa memanen padinya.
Dalam setahun padi ladang hanya bisa ditanam sekali karena sangat tergantung pada musim. Mulai dari pembukaan lahan di musim kemarau, nugal di akhir musim kemarau, hingga panen di akhir musim hujan. Meski hanya dilakukan setahun sekali, dulu hasil panennya mampu memenuhi kebutuhan makan keluarga hingga setahun penuh. Namun, kini hasil panen habis dikonsumsi dalam waktu 6 bulan saja.
Menurut salah seorang warga di hulu sungai Belitang kabupaten Sekadau, menurunnya hasil panen disebabkan makin kecilnya pepohonan yang tumbuh di bekas ladang. Bekas ladang biasanya akan kembali dibuka kembali setelah dibiarkan selama 5 – 7 tahun. Menurutnya, pepohonan yang kecil menurunkan kualitas pupuk alami hasil pembakaran lahan yang berakibat menurunnya hasil panen.
Sejak dulu, orang Dayak sangat bergantung pada alam sekitarnya. Ada yang bilang kalau hutan itu supermarketnya orang Dayak, banyak kebutuhan yang bisa didapat dari sana. Dengan menanam padi setahun sekali dan mengambil kebutuhan lain di hutan, mereka bisa hidup berkecukupan. Itu dulu, kalau sekarang beda cerita.
Berkembangnya perkebunan karet dan sawit cukup banyak memengaruhi pertanian ladang berpindah. Makin luasnya perkebunan, makin sempit pula potensi ladang garapan. Untuk menyiasatinya, warga memanfaatkan ladang semaksimal mungkin. Ladang padi pun tersebar di berbagai tempat. Tak hanya di pinggir atau tengah hutan saja, tapi ada juga ladang yang letaknya di pinggir jalan provinsi. Padinya pun bisa ditanam di mana saja, asal masih ada ruang yang cukup untuk tumbuh, mulai dari di pinggir jalan, bawah tebing, hingga di sela-sela pohon karet dan sawit muda.
Padi lokal memang dapat tumbuh di mana saja dalam cakupan wilayah tertentu selagi masih dapat air dan sinar matahari yang cukup, serta tanah yang cocok padi tetap tumbuh. Dalam pertanian ladang, kebanyakan petani menggunakan benih hasil pembibitan sendiri. Pernah dicoba menggunakan benih dari pemerintah, tapi hasilnya tidak maksimal. Menurut mereka, bibit lokal adalah bibit terbaik untuk berladang.
Kini, luasan ladang padi di Kalimantan Barat makin berkurang. Area lahan yang makin sempit, adanya batasan pembukaan lahan, dan berkembangnya sektor pekerjaan lain yang lebih menguntungkan secara materi adalah beberapa faktor utama penyebab berkurangnya jumlah petani ladang berpindah. Kegiatan ladang berpindah hanya dapat dijumpai di daerah hulu yang masih luas lahan serta hutannya (yang memungkinkan untuk dikelola).
Para petani ladang masih setia mempertahankan kebiasaan leluhurnya. Hasil yang didapat memang tidak sebanyak dulu, tapi padi ladang masih saja ditanam. Menurut salah seorang warga Desa Air Upas di Kabupaten Ketapang, masih ada beberapa warga yang menanam padi ladang hanya untuk mempertahankan tradisi leluhur. Menghidupkan “mata banih” istilahnya, yakni menanam untuk mendapatkan benih yang akan ditanam kembali musim depan sehingga mereka tidak mengharap hasil banyak untuk dikonsumsi. Dengan cara seperti itulah mereka dapat mempertahankan berbagai jenis padi lokal yang sudah ditanam sejak dulu. Meski banyak alasan untuk beralih profesi, selalu saja ada alasan lebih kuat untuk bertahan. Entah itu untuk memenuhi kebutuhan makan atau sekadar untuk menjaga tradisi agar tetap lestari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H