Mohon tunggu...
Arief Setyo Widodo
Arief Setyo Widodo Mohon Tunggu... Freelancer - Pengetik teks bebas

Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Keunikan Dayak dan Melayu di Kalimantan Barat

21 Desember 2016   12:57 Diperbarui: 4 April 2017   18:06 3682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terpisah parit kecil, sekilas tidak ada perbedaan antara dusun Menukung 2 dengan dusun Mekarsari. Sama seperti masyarakat Dayak di daerah hulu sungai Melawi lain, mereka bekerja di sektor pertanian. Karet adalah sumber penghidupan utama mereka selain ladang padi. Seiring masuknya perusahaan sawit, sebagian mereka juga memiliki pekerjaan tambahan sebagai pekerja perkebunan. Kebanyakan warga kedua dusun itu masih memiliki hubungan kekerabatan. Dalam keseharian pun mereka membaur dan seringkali melakukan gotong royong. 

Terdapat dua tempat ibadah yaitu gereja Katolik di Mekarsari dan Masjid di Menukung 2. Di sinilah letak perbedaannya, dusun Mekarsari didominasi warga beragama Katolik sedangkan warga dusun Menukung 2 hampir semuanya Muslim. Tidak seperti di dusun Mekarsari, dusun Menukung 2 ditinggali beberapa suku selain Dayak seperti Melayu dan Jawa. Adanya kawin campur antar suku menjadi salah satu penyebab utama perpindahan agama di sana.

Sebenarnya tidak ada masalah terkait perbedaan keyakinan yang dianut kedua dusun itu. Sudah puluhan tahun mereka hidup berdampingan dan berinteraksi secara wajar. Namun yang menarik di sini adalah adanya pembedaan antara Dayak Muslim dan Non Muslim. “Senganan” begitulah kata yang disebut salah seorang warga dusun Mekarsari ketika menjelaskan identitas penduduk dusun Menukung 2. Senganan adalah istilah yang sering ditujukan kepada orang Dayak yang beragama Islam.

Dayak dan Melayu merupakan dua suku yang dominan di Kalimantan bahkan bisa dikatakan sebagai “penduduk lokal” karena telah lama mendiami pulau tersebut. Di Kalimantan Barat kedua suku itu diidentikkan dengan beberapa ciri yang cenderung saling bertolak belakang. Dayak memiliki kebudayaan yang cenderung berorientasi pada daratan (hutan), mereka biasa tinggal di pedalaman hutan dan pegununungan. 

Sementara itu Melayu memiliki kebudayaan yang cenderung berorientasi pada perairan baik laut maupun sungai, mereka biasanya tinggal di area pantai (laut/sungai). Dari situlah timbul istilah yang berkembang di masyarakat seperti “orang darat” dan “orang laut” untuk menyebut Dayak dan Melayu.

Namun seiring dengan pembangunan prasarana seperti jalan dan perkembangan pola interaksi, istilah itu kian jarang didengar kecuali di daerah pedesaan. Tempat tinggal mereka pun mulai bergeser, dari yang tadinya tinggal di pesisir sungai (Melayu) dan hutan (Dayak) pindah mendekati jalan darat. Perpindahan ini dilakukan untuk memudahkan dalam hal akses transportasi yang kini mengandalkan jalur darat.  

Agama juga dijadikan identitas pembeda antara Dayak dan Melayu. Dayak identik dengan agama Kristen dan Melayu identik dengan Islam. Masyarakat Kalimantan Barat sendiri masih cenderung menganggap agama yang dianut sebagai penentu identitas kesukuan. 

Dalam keseharian seringkali muncul anggapan bahwa “orang Melayu pasti beragama Islam, orang Islam pasti Melayu”. Seringkali semua orang di Kalimantan Barat yang beragama Islam dianggap sebagai orang Melayu meskipun sebenarnya dia orang Jawa, Sunda, bahkan Dayak sekalipun. Anggapan ini muncul karena Islam telah menyatu dalam budaya Melayu sejak dulu.

“Masuk Islam berarti masuk Melayu”, itulah ungkapan yang berlaku di Kalimantan Barat. Orang Dayak yang jadi mualaf biasanya mengaku dirinya Melayu dan mereka tinggal di lingkungan orang Melayu. Begitu juga dengan orang-orang sekitar juga secara otomatis mengakui ke-Melayuannya. Sebagai contoh, banyak warga di dusun Menukung 2 mengaku sebagai Melayu meski sebenarnya mereka orang Dayak. 

Namun ada juga yang meski sudah tinggal di lingkungan Melayu, dia tetap mengaku sebagai orang Dayak seperti pengakuan salah seorang kepala SMP di daerah Kapuas Hulu. Meskipun di lingkungan kerja dia sudah dianggap Melayu karena masuk Islam, namun Pak Hendri tetap mengaku sebagai orang Dayak dan masih sering ikut kegiatan adat di keluarga besarnya.    

“Dayak dan Melayu sejarahnya dua beradek, kalau Melayu pegangnya Islam, kalau kita orang Dayak pegangnya Kristen”. Begitulah kata Abraham Tehor, salah seorang tokoh adat Dayak desa Tanah Hitam di kabupaten Ketapang. Di desa Tanah Hitam, 80% warganya beragama Protestan ada juga sebagian kecil yang beragama Islam termasuk beberapa kerabat Pak Tehor. Mereka saling undang dan mengunjungi jika ada acara. Sebagai contoh dalam acara gawai adat mereka melibatkan seluruh warga desa termasuk saudara Melayu mereka. Meski terdapat pembedaan identitas (Dayak/Melayu) namun mereka mengaku bersaudara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun