[caption caption="Jembatan kapuas di kota Pontianak (dok. pribadi)"][/caption]Membentang dari pegunungan Muller hingga selat Karimata, menjadikan Kapuas sebagai sungai terpanjang di Indonesia. Sungai Kapuas menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Meskipun sudah ada jalan raya, sungai ini masih dijadikan sebagai jalur transportasi alternatif. Sungai sepanjang 1.143 km ini membelah Kalimantan Barat mulai dari selat Karimata hingga wilayah Kapuas Hulu.
Sungai kapuas memiliki tiga cabang muara sungai, salah satunya melintas di kota Pontianak. Di kota ini terdapat banyak Industri berskala besar dan menjadi pusat perekonomian di Kalimantan Barat. Di sini juga terdapat pelabuhan besar tempat berlabuhnya kapal penumpang maupun kapal barang.
Di tepian sungai Kapuas, rumah-rumah kayu berderet dengan bagian luar agak menjorok ke sungai. Sepanjang hari terlihat lalu lalang sampan dan perahu motor kecil milik warga setempat yang biasa digunakan sebagai alat transportasi atau sekadar untuk mencari ikan.
Dari peta terlihat sungai Kapuas di Pontianak dilewati garis khatulistiwa. Beberapa ratus meter dari sungai didirikan tugu khatulistiwa yang dibangun pada 1928. Bergeser ke arah hulu terdapat kompleks keraton Kesultanan Kadriah yang terletak di tepi sungai. Konon kesultanan yang didirikan pada tahun 1771 merupakan kesultanan termuda di nusantara bahkan dunia.
Bangunan istana yang dominan berwarna kuning itu masih berdiri megah menyisakan kejayaan masa lampau. Beberapa ratus meter arah hilir dari istana terdapat masjid Sultan Syarif Abdurrahman yang diberi nama sesuai dengan sultan pertama sekaligus pendiri kesultanan Kadriah yaitu Syarif Abdurrahman Alqadrie. Arsitektur masjid ini terbilang unik karena memiliki atap tumpang empat dengan atap puncak berbentuk seperti topi.
[caption caption="Masjid Sultan Syarif Abdurrahman, dilihat dari salah satu dermaga kecil Kapuas (dok. pribadi)"]
Perahu penyeberangan ini bisa dimuati hingga tiga motor dengan beberapa orang penumpang. Di beberapa tempat yang perlintasannya ramai ada semacam perahu tongkang untuk memuat mobil dan truk. Tongkang ini biasanya dimiliki oleh perusahaan sawit yang digunakan untuk menyeberangkan truk-truk pengangkut sawit.
Sungai Ayak merupakan dermaga penghubung antara daerah Belitang dengan Sekadau. Perkebunan sawit banyak terdapat di daerah Belitang sehingga membuatnya cukup ramai. Sejak dibuatnya jalan darat, warga sekitar banyak menggunakan mobil dan motor sebagai transportasi utama. Oleh sebab itu, kini mulai dibangun dermaga feri di sungai Ayak untuk melayani penyeberangan yang semakin ramai.
Sebelum ada jalur darat, masyarakat biasanya memanfaatkan sungai Belitang sebagai jalur transportasi antar desa di wilayah Belitang. Biasanya butuh waktu beberapa hari untuk mudik (pergi ke arah hulu) dari kota Sekadau menuju Balai Sepuak (kini jadi kota kecamatan Belitang Hulu) via sungai. 130 km adalah jarak Sekadau – Balai Sepuak via jalur darat yang kurang lebih sama jaraknya dengan jalur sungai.
Jauhnya jarak dan lamanya waktu tempuh kala itu mengharuskan para misionaris membangun landasan pesawat kecil untuk memperlancar keperluan misi dan kegiatan sosial lainnya. Landasan itu terakhir dioperasikan pada 2004 bersamaan dengan mulai dibangunnya akses jalan darat menuju Balai Sepuak dan sekitarnya. Kini bekas landasan pesawat itu dijadikan jalan penghubung antar desa di Belitang.
[caption caption="bekas landasan pacu yang kini dijadikan jalan lintas Belitang (dok. pribadi)"]
Bumi Senentang adalah julukan kota Sintang yang kini jadi kota terbesar di daerah hulu sungai Kapuas. Sejak masa kolonial Belanda, Sintang sudah dijadikan kota penting di daerah hulu dengan dibukanya jalan darat dari Pontianak.
Jalur sungainya pun tak kalah penting karena menjadi penghubung antara wilayah Melawi dengan Kapuas. Jalur sungai Melawi – Kapuas juga dijadikan sebagai jalur angkut hasil logging. Dulu kayu-kayu tersebut berasal dari daerah Melawi, tetapi karena hutan di sana sudah hampir habis diambillah kayu dari Kalimantan Tengah yang persediaan kayunya masih ada.
Dari Kalteng, kayu-kayu tersebut diangkut melalui jalur darat yang telah dibuat perusahaan menuju suatu tempat di kecamatan Ella Hilir. Setelah jumlahnya mencukupi, kayu-kayu itu diangkut menggunakan tongkang melalui sungai Melawi.
Beranjak dari Sintang, kembali perjalanan mudik dilanjutkan melalui sungai Kapuas. Setelah perjalanan panjang melewati banyak kelokan sungai, sampailah kita di Uncak Kapuas. Dalam bahasa setempat, “uncak” berarti ujung atau bisa juga berarti hulu. Bumi Uncak Kapuas adalah julukan dari Kapuas Hulu yang merupakan kabupaten paling timur di Kalimantan Barat. Kabupaten ini beribukotakan di Putussibau, sebuah kota yang berjarak 814 km jalan darat/846 km via sungai Kapuas dari Pontianak.
Ada banyak versi terkait asal mula penamaan Putussibau. Secara umum, nama “Putussibau” berasal dari putusnya aliran sungai Sibau oleh sungai Kapuas. Kedua sungai ini membelah kota Putussibau dan berarti penting bagi warganya. Kota Putussibau didirikan pada 1 Juni 1895 pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Namun jauh sebelum itu kota ini sudah didiami oleh orang-orang dari suku Dayak Taman dan Dayak Kantu’.
Kabut pagi cukup pekat menyelimuti Bumi Uncak Kapuas. Meski tergolong berada di dataran rendah, namun Putussibau terasa sejuk dan segar di pagi hari. Mungkin itu karena masih banyaknya hutan hujan yang masih terjaga. Wajar saja karena 56% dari luas wilayah Kabupaten Kapuas Hulu adalah kawasan konservasi dalam bentuk taman nasional atau hutan lindung.
Selain terlindung oleh status Taman Nasional, hutan Kapuas Hulu juga dilindungi dan dijaga oleh kearifan lokal masyarakat Dayak setempat. Salah satu suku yang memiliki kearifan lokal tersebut adalah Dayak Iban yang tinggal di Embaloh Hulu, tepatnya di Sungai Utik.
[caption caption="jalan lintas utara Kapuas Hulu, di balik bukit paling ujung sudah masuk wilayah Malaysia (dok. pribadi)"]
Beberapa protes mereka lancarkan mulai dari membakar fasilitas pemerintah di desa hingga mengancam untuk ganti kewarganegaraan. Bahkan kabarnya, ada salah satu kades yang mengancam akan mengibarkan bendera Malaysia. Baru pada 2010-an jalan lintas utara ini secara bertahap diperbaiki hingga seperti sekarang ini.
Perjalanan panjang dari Putussibau berakhir ketika sampai di sebuah gapura bertuliskan “Gaga Temuai Datai (Selamat Datang) Sungai Utik”. Hanya sekitar 200 m dari jalan raya, berdiri dengan megah rumah betang. Rumah khas suku Dayak ini membentang sepanjang 180 m dan dihuni sekitar 28 KK. Wilayah hukum adat Iban Sungai Utik mencakup 9.500 ha. Dari tanah seluas itu, 6000 ha merupakan hutan lindung adat sedangkan sisanya digunakan untuk pemukiman, hutan produksi, dan hutan cadangan. Mereka hanya dibolehkan menebang pohon dari hutan produksi dan cadangan, untuk hutan lindung adat tak dapat diganggu gugat. Mereka menyadari sepenuhnya jika hutan merupakan sumber kehidupan mereka sehingga harus dijaga kelestariannya.
[caption caption="Rumah Betang milik suku Dayak Iban, Sungai Utik (dok. pribadi)"]
Catatan Kecil: Milir-Mudik.
Milir berarti menuju ke hilir, biasa juga diartikan sebagai perjalanan menuju ke kota. Mudik berarti Menuju ke udik (kampung), bisa juga diartikan pulang kampung dari kota. Istilah ini mengacu pada sungai yang dijadikan sebagai jalur transportasi.
Mengenal Sejarah Negeri Seribu Sungai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H