"Gadis itu merasa salah telah memasuki wilayah haram menyebut-nyebut perkara batuk-batuk yang mungkin ada kaitannya dengan flek di paru-paru Sarwono" (HBJ: 35)
Cuplikan diatas berasal dari novel Hujan Bulan Juni (HBJ) karya alm. Sapardi Djoko Damono tentang kisah perjalanan cinta antara Sarwono dan Pingkan dengan latar belakang yang berbeda.Â
Sarwono adalah seorang dosen dan peneliti antropologi yang diceritakan pernah gagal melanjutkan studi ke Amerika gara-gara ada flek yang mencurigakan diparu-parunya (HBJ:28-29).Â
Istilah flek itu sendiri berasal dari kata "vlek" yang berarti bercak atau "Vlek op de longen" [noda di paru-paru] dalam Bahasa Belanda. Â Disamping itu, Sarwono sering mengalami batuk-batuk dan tubuh krempeng (Kurus). "Sehat apa? Suka ngrokok dan batuk-batuk kok sehat? " (HBJ: 35)
Diakhir cerita, Sarwono menjalani perawatan intensif di rumah sakit di Solo karena menderita paru-baru basah. "Aku tidak tahu persis sakitnya, hanya diberi tahu Bu Hadi bahwa cairan di paru-parunya disedot" (HBJ: 129).
Yang membuat "pikiran pingkan dengan cekatan menghubung-hubungkan hal itu dengan cerita Patisiana tentang flek di paru-paru laki-laki yang dicintainya"(HBJ: 129).
Melihat riwayat dan perjalanan penyakit yang digambarkan dalam novel, Sarwono Kemungkinan besar terkena penyakit tuberkulosis, istilah umumnya TBC atau TB (Tubercle bacillus) yang disebabkan oleh infkesi bakteri Mycobacterium tuberculosis.Â
Ada dua jenis penyakit TB yaitu TB aktif dan TB Laten. Batuk berkepanjangan lebih dari dua minggu, berat badan menurun, batuk berdarah, kecapaian/kelelahan, demam (meriang), dan berkeringat pada malam hari tanpa aktivitas adalah ciri-ciri yang mudah dikenali dari penderita TB aktif.Â
Sedangkan TB laten adalah kondisi dimana orang terinfeksi kuman M. tuberculosis tetapi tidak timbul gejala klinis dan bersifat tidak menular. Â Tetapi infeksi masih ada dan bisa menjadi TB aktif jika kondisi tubuh melemah.
TBC merupakan penyakit yang sudah lama ada di muka bumi yang diperkirakan semenjak 3 juta tahun yang lalu. Masyarakat Yunani Kuno mengenalnya sebagai "phthisis" sedangkan Romawi kuno menyebutnya "tabes". Pada tahun 1700, penyakit TBC disebut "the white plague" karena pasien-pasien TBC pada pucat.Â
Sampai akhirnya pada tanggal 24 Maret 1882, Dr Robert Koch mengumumkan penemuan M. tuberculosis sebagai bakteri penyebab penyakit TBC. Penemuan ini memberikan dampak yang sangat besar dalam pengendalian dan eliminiasi penyakit mematikan ini di dunia.Â
Di Indonesia sendiri, penyakit TBC sudah ada sejak lama dengan adanya satu relief yang digambarkan sebagai penderita TBC dengan kondisi badan yang kurus kering.Â
Saat ini, setiap 24 Maret selalu diperingati sebagai Hari Tuberkulosi Sedunia dengan tujuan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan dampak TBC terhadap kesehatan, sosial, dan tentunya ekonomi. Â
Sehubungan dengan pandemi COVID-19, tema peringatan tahun ini adalah "Bersama menuju Eliminasi TBC dan Melawan COVID-19". Badan Dunia untuk kesehatan (WHO) mengkuatirkan pengendalian dan program eliminasi TBC yang ditargetkan tahun 2030 ini akan terpengaruh cukup besar dengan adanya pandemi COVID-19 ini baik di Indonesia maupun di Dunia.
Saat ini, Indonesia masih menjadi negara nomor urut 3 terbesar untuk penyakit TBC di dunia. Berdasarkan data tahun 2018 dari https://htbs.tbindonesia.or.id/: penduduk Indonesia sakit TBC sebanyak 845.000 orang, dengan yang sudah resistensi obat sebanyak 24.000 orang dan meninggal karena penyakit ini sebanyak 93.000 orang. Sementara itu, angka keberhasilan pengobatan di Indonesia sudah mencapai 85% pada tahun 2018.Â
Durasi pemberiaan obat anti-tuberkulosis (OAT) yang lama antara 6-24 bulan (tergantung jenis dari kuman TBC), serta efek samping dari OAT tersebut menjadi tantangan yang cukup besar dalam keberhasilan dari pengobatan penyakit ini. Komitmen dan kepatuhan dari penderita serta dukungan yang besar dari keluarga serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam periode pengobatan yang panjang ini.Â
Beberapa OAT yang tersedia saat ini sebagai lini pertama pengendalian TBC diantaranya isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.Â
Akan tetapi, saat ini sudah banyak dilaporkan kuman M. tuberculosis yang sudah resistant terhadap sata atau lebih terhadap OAT yang tersedia: TB Resistant Rifampisin/Multi drug resistant (TB RR/MDR) dan TB Extensively Drug Resistant (TB XDR) yang pengobatannya menjadi lebih susah dan lama.Â
Selain vaksinasi BCG yang rutin dilakukan sebelum usia 3 bulan, Pemerintah melakukan berbagai upaya dalam mengendalikan penyakit TBC ini, diantaranya adalah TOSS TBC yang merupakan singkatan dari Temukan Tuberkulosis, Obati Sampai Sembuh.Â
Partisipasi aktif masyarakat sangat diharapkan dalam program TOSS ini sehingga target eliminasi TBC di Indonesia bisa dicapai dalam waktu tidak terlalu lama lagi. Semoga. (Disarikan dari berbagai sumber).
Referensi dan Tautan:Â [1] [2] [3] [4] [5]Â [6]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H