Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apus Ageung: Magnum Opus Sang Kandiawan

23 Januari 2025   09:52 Diperbarui: 23 Januari 2025   10:12 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutipan bagian awal dari naskah Carita Parahyangan (1580) menyebutkan adanya sebuah kitab suci di kalangan orang Sunda yang bernama Sanghiyang Watang Ageung. Kita membaca:

Sang Resi Guru mangyuga Rajaputra. Rajaputra miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan manh Rahiyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahiyangta ri Medangjati, inya Sang Layuwatang, nya nu nyieun Sanghiyang Watang Ageung (Noorduyn, 1962 dan Atja, 1968).

Larik-larik di atas berarti bahwa: "Sang Resi Guru berputrakan Rajaputra. Rajaputra berputrakan Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, berdua merupakan kakak beradik. Sang Kandiawan menyebut dirinya Rahiyangta Dewaraja. Sewaktu menjalani kehidupan sebagai rajaresi, (ia) menjuluki dirinya Rahiyangta di Medangjati, (ia) juga masyhur dikenal sebagai Sang Lajuwatang, maka dialah yang menulis Sanghiyang Watangageung." 

Tentang siapa yang disebut Sang Resi Guru dimaksud, Gelar Taufiq Kusumawardhana dalam (II) Melacak Jejak Penaman Sungai Ci Tarum Pada Sumber Berita Tertulis Berdasarkan Bukti Epigrafi dan Bukti Filologis menulis:

Di dalam naskah tersebut diceritakan kerangka dasar sejarah dimana pada pokoknya bahwa garis silsilah yang kemudian hari berhasil menjadi penguasa di Pulau Jawa pada prinsipnya berasal garis silsilah yang berpangkal pada tokoh yang disebut dengan nama Sang Resi Guru yang berkedudukan di Kendan (kemungkinan dari kata Sanskrit Kendran; Ka-Indra-an). Di dalam naskah Carita Parahyangan tersebut tidak dijelaskan lebih jelas, siapakah sosok Sang Resi Guru yang berkedudukan di Kendan tersebut. 

Di dalam naskah tersebut diceritakan kerangka dasar sejarah dimana pada pokoknya bahwa garis silsilah yang kemudian hari berhasil menjadi penguasa di Pulau Jawa pada prinsipnya berasal garis silsilah yang berpangkal pada tokoh yang disebut dengan nama Sang Resi Guru yang berkedudukan di Kendan (kemungkinan dari kata Sanskrit Kendran; Ka-Indra-an). Di dalam naskah Carita Parahyangan tersebut tidak dijelaskan lebih jelas, siapakah sosok Sang Resi Guru yang berkedudukan di Kendan tersebut.

Namun demikian, jika kita ikhlas dan ridho untuk melengkapinya dengan data yang terdapat dalam naskah Pangeran Wangsakerta (Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantra, Parwa II Sarga 4) sebagai tinggalan intelektual dari abad ke-17 M; sosok Sang Resi Guru di Kendan tersebut akan terbuka dengan lebih jelas dalam perspektif Sejarah yang jauh lebih memadai. Pertautan data yang saling menjelaskan antar satu berita dengan berita lainnya tersebut dalam kaidah ilmiah sebagai salah-satu standar nilai kebenaran informasi adalah bersifat Korespondesi, saling surat-menyurati, saling lengkap-melengkapi, saling membuka dan memperlebar horison informasi, saling benar-membenarkan, saling memajukan tapal batas pengetahuan ke depan dari tapal batas garis ketidak-tahuan. Dua kaidah lainnya dalam Filsafat Ilmu selain bersifat Korespondensi adalah Rasional atau Logis (masuk akal dan tidak berkontradiksi) dan Koheren (berhubungan, bersangkut paut, membentuk suatu kesatuan bangunan yang utuh).

Dalam naskah Pangeran Wangsakerta, tempat kedudukan yang disebut dengan Kendan dalam naskah Carita Parahyangan; dimana di sana disebut dengan lebih lengkap dengan istilah Mandala Kendan. Sementara tokoh yang dalam naskah Carita Parahyangan disebut dengan Sang Resi Guru disebut dengan Resi Guru Manikmaya. Mandala dalam bahasa yang lebih kemudian adalah Kabuyutan atau Pasantren. Resi Guru atau Maha Guru dalam persfektif lebih muda setara dengan gagasan Kiai yang merupakan alim-ulama yang memimpin suatu pondok pesantren. Suatu bukti bahwa Islam tidak merusak institusi lama secara radikal melainkan dimanfaatkan dalam suatu skema dan usaha da’wah yang baru.

Jika institusi pasantren (Arab: madrasah) pada periode Islam juga tidak tergeser konsep modern kampus, maka kedudukannya dalam jabatan akademik modern adalah setara dengan istilah Rektor yang biasanya telah menapaki karir hingga Profesor. Suatu jabatan yang tentu saja masih sama dipandang mentereng hingga hari ini. Kedudukan seluruh Mandala tersebut diatur pada masa kerajaan sebagai tanah wakaf yang merdeka, otonom, tanpa pungutan pajak, dan upeti. Kedudukannya langsung dijamin oleh negara melalui keputusan raja. Wilayah yang terhormat dan dihormati sebagai garda pendidikan dan keagamaan yang dijamin keberlangsungannya langsung oleh negara.

Resi Guru Manikmaya dalam naskah Pangeran Wangsakerta dianggap datang dari tanah bagian Timur Pulau Jawa. Sementara leluhurnya adalah migran dari kerajaan Salankayana di negeri Bharata. Sebagaimana juga pendiri Tarumanagara, Jayasingawarman yang juga merupakan migran Salankayana. Resi Guru Manikmaya disebutkan menikah dengan Dewi Tirtakancana putri Raja Suryawarman penguasa kerajaan Tarumanagara ke-7. Atas kemurahan hati Suryawarman, Resi Guru Manikmaya yang merupakan menantunya tersebut kemudian diberikan kawasan di Mandala Kendan. Resi Guru Manikmaya oleh karenanya juga disebut Raja Resi Manikmaya yang berkuasa secara geopolitik terhadap Mandala Kendan sejak 458-490 Saka (536-568 M).

Dalam naskah Pangeran Wangsakerta, Resi Guru Manikmaya dianggap telah menghasilkan suatu kitab penting yang diberi nama Pustaka Ratuning Bala Sarewu (Buku Raja Seribu Tentara). Suatu kitab yang nantinya menjadi paririmbon tentang bagaimana membangun suatu kekuasaan kerajaan yang kokoh dengan peranan militer yang kuat. Kini jejak nama Kendan masih terekam menyisakan nama Desa Nagreg Kendan sebagai bagian dari Kecamatan Nagreg di Kabupaten Bandung. Suatu wilayah paling Timur dari kawasan Bandung Raya yang berbatasan dengan Kabupaten Garut. Suatu jalur lintasan utama yang harus dilewati untuk bisa menghantarkan seseorang pergi menuju ke kawasan Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar Patroman, dan kawasan Timur Pulau Jawa lainnya.

Adapun berkenaan dengan Rajaputra dan Sang Kandiawan, Atja dan Ayatrohaedi dalam Nagarakretabhumi 1.5 (1989) memberikan keterangan:

Sang Manikmaya berputera beberapa orang. Salah seorang di antaranya ialah Rajaputra Suraliman. Ia diangkat menjadi panglima angkatan bersenjata Tarumanagara. la kerapkali dikirim sebagal duta ke negeri Cina (NKB I. 1 : 106).

Suraliman beristerikan seorang puteri Bakulapura, keturunan Sang Kudungga. la berputera 2 orang. Yang laki-laki bernama Sang Kandhiawan, bergelar Sang Rajarsi Dewaraja atau Sang Layuwatang. Adiknya, seorang wanita, bernama Sang Kandhiawati bersuamikan seorang saudagar dari Swarnabhuml (Sumatera). la tinggal bersama suaminya di sana.

Sang Suraliman memerintah selama 29 tahun, dari tahun 490 Saka hingga 519 Saka (568/9-597/8 Masehi). Digantikan oleh Sang Kandhiawan, sebagal ratu di Medangjati atau Medanggana. Ia berkuasa 15 tahun lamanya. Sang Kandhiawan, yang juga bergelar Bhatara Wisnu, berputera beberapa orang. Salah seorang puteranya ialah Sang Wrettikandayun. la menggantikannya sebagal ratu di Galuh. Selanjutnya ia menjadl rajarsi di Mesir. Sang Writtkandayun dinobatkan menjadi ratu Galuh pada tanggal 14 suklapaksa (paro-terang), Caltra-masa (Maret-April) tahun 534 Saka (612 Masehl). la berkuasa selama 90 tahun (NKB I. 1 : 109).

Sang Kandiawan, cucu sang Resi Guru Manikmaya inilah sang penulis Sanghyang Watang Ageung. Nama kitab ini juga terdapat pada naskah Para Putera Rama dan Rawana dan Bujangga Manik, tetapi dengan kata lain yaitu Apus Ageung:

Saa(ng)geus nyaur sakitu, dicokot ka(m)pek karancang, dieusian apus ageung, dihurun deung Siksaguru. Iteuk aing pancasirah, sapeeut hoe walatung. 

"Setelah berkata-kata, diambilnya tas kampek karancang, diletakkan kitab agung ke dalamnya, bersama dengan Siksaguru. Tongkat milikku berkepala lima, cambukku dari rotan walatung (Wibisana, 2000)."

Watang (Ageung) adalah kitab agung atau sejenis teks suci atau teks keagamaan yang dalam cerita Para Putera Rama dan Rawana menjelma menjadi anak bernama Puspalawa dengan kekuatan sihir Hayam Canggong (bait 422,455,503) (Noorduyn, 2009:545 dalam Heryana, 2014). Sayanganya, menurut Heryana (2014), uraian lebih lanjut mengenai kitab suci Sanghiyang Watang Ageung tidak diketahui, kecuali penulisnya yaitu Sang Kandiawan atau Sang Layuwatang. Di samping itu, beberapa naskah pun hanya mencantumkan namanya saja (Heryana, 2014).

Secara etimologis, watang dalam bahasa Sunda berarti batang, sementara apus adalah nama jenis bambu. Nampaknya tradisi menulis di atas batang bambu apus tidak asing dalam tradisi Sunda. Adapun bambu sebagai media untuk menulis sendiri, menurut laman Universitas Yale dalam Bamboo Slips with Writing (Zhujian) in Qin Seal script (Qinzhuan), merupakan salah satu media penulisan utama di Tiongkok, jenis buku yang paling awal, dan berusia hampir dua ribu tahun, serta lebih tahan lama. Keunggulan bambu dibandingkan kayu adalah kelenturannya, tahan banting, permukaannya yang halus, dan bobotnya yang ringan.

Secara kelakar kata, karta apus ageung yang berarti kitab agung semakna dengan magnum opus dalam tradisi Barat. Hanya saja kita masih harus menanti para ahli menemukan Apus Ageung, magnum opus Sang Kandiawan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun