Tulisan ini saya maksudkan sebagai tambahan atas tulisan Kemiri (Muncang): Literasi tentang Sebutir Biji (10/12). Karena yang memicunya adalah peribahasa Sunda muncang labuh ka puhu, kebo mulih pakandangan, maka selain muncang (kemiri) maka kebo (kerbau) akan kita diskusikan. Kita mulai dengan muncang.
Kemiri dalam Naskah Sunda Kuna dan Tradisi Hindu
Dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) yang berangka tahun 1440 Saka (1518 M), menurut Mumuh Muhsin Z. dkk dalam Kajian Identifikasi Permasalahan Kebudayaan Sunda: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa yang Akan Datang (2011) dinyatakan bahwa kain bermotif atau kita kenal sekarang sebagai batik telah lama dikenal di tatar Sunda, antara lain motif kembang muncang, gagang senggang, sameleg, poleng rengganis, jayanti, dan gaganjar. Banyak dari motif yang disebutkan dalam naskah tersebut sudah tidak dikenal lagi saat ini, tetapi penyebutan tersebut sangat penting untuk menunjukkan bahwa kegiatan membatik telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Sunda. Selain motif kembangnya kayu pohon muncang biasa digunakan untuk membuat alat musik tarawangsa.
Bujangga Manik, di antara 1758 baris puisinya (Setiawan, 2014), pada baris 230-234 menyebut-nyebut kata mucang:
U(ng)gah tohaan ka manggung, deuuk teoheun palangka, na seupaheun dia(ng)seukeun. /4v/
(Sang putri turun, duduk di atas tandu, dan menawarkan sugi pinang.)Saur a(m)buing sakini: "Anaking, nu mucang onam!"
(Ibuku berbicara demikian: “Anakku, silakan ambil sugi itu!”)Saurna Ameng Layaran: "A(m)bu aing sadu mucang."
(Ameng Layaran berkata: “Ibunda, izinkan aku mengunyah.”)I(ng)keun mangka o(ng)koh mucang. Carekeun si Jo(m)pong Larang.
(Kita tinggalkan mereka mengunyah pinang. Marilah kita berbicara tentang Jompong Larang.)
Mu(n)cang yang disebutkannya merujuk kepada tradisi nyeupah (Sunda) atau menginang atau menyirih. Mu(n)cang berasal dari bahasa Jawa pucang (pinang), yang berarti mengunyah buah pinang atau menginang.
Adapun kata mu(n)cang seperti disebutkan Mumuh Muhsin Z. dkk (2011), terdapat dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian:
Sawaluran ning boeh ma, kembang muncang, gagang senggang,
sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang
ayakan, poleng rengganis, jayanti, ciciwaan, paparanakan, mangin
haris, salin ganti, boeh sean, bebenatan, papaknakanan, surat awi, parigi
nyengsoh, gagajaran, lusian besar, kamarung jayanti, hujan riris, laris,
boeh alus, ragen panganten, sing sawatek boboehan ma, pangeuyeuk tanya. (Nurwansah, 2020)
Rupanya kata mu(n)cang merupakan satu kata untuk dua bentuk kata. Pertama, bila beruapa kata kerja berarti menginang atau menyirih dan kedua, bila sebagai kata benda berarti kemiri. Dan inilah catatan tertua berkenaan dengan kata muncang (kemiri) yang dapat kita temukan dalam naskah-naskah kuna Sunda. Kemiri, dalam perspektif Ayur Weda, termasuk golongan tumbuhan berbunga sebelum berbuah yang dikenal sebagai Wanaspatya (Prastika, 2016 dalam Suyatra, 2024). Dalam tradisi Hindu Bali, kemiri termasuk bahan sesajen. Kemiri yang digunakan dalam banten (sesajen) Pajati ini merupakan simbol Purusa, Kejiwaan, atau Laki-laki. Dari segi warna merupakan simbol ketulusan dan juga merupakan simbol bintang manifestasi Hyang Widhi sebagai Hyang Tranggana atau bintang sebagai cerminan Sang Hyang Paramasiva (Prastika, 2016 dalam Suyatra, 2024 dan Sudhiarta, 2022).
Selain daunnya yang dijadikan motif batik dan kayunya menjadi bahan pembuatan alat musik tradisional Sunda tarawangsa,buah kemiri dijadikan permainan adu kemiri oleh anak-anak. Begitu populernya, menurut Mumuh (2011), permainan ngadu muncang bahkan menjadi salah satu kawih anak-anak tahun 1950an ke bawah. Hal ini tidaklah aneh mengingat dalam budaya Jawa-Sunda, adu kemiri memang telah lama dikenal. De Graaf (1958) menyebutnya sebagai mirobolani atau aben kemiri yang mengacu kepada sebuah laporan dari tahun 1624. Sementara Raffles (1817) menyebutnya aduh gemiri.
Sebagaimana disebutkan dalam Kemiri (Muncang): Literasi tentang Sebutir Biji, buah muncang digunakan sebagai peribahasa dalam Papatet, yang berbunyi: "Kebo mulih pakandangan, nya muncang labuh ka puhu -- kerbau pulang kandang, kemiri jatuh ke akarnya." Uniknya, kata mulih dan labuh lazim digunakan untuk manusia, bukan untuk hewan ataupu benda tak berakal lainnya. Jelas, baik kebo (kerbau) dan muncang di sini merujuk kepada manusia, orang Sunda. Peribahasa ini bukan sekedar menggambarkan kebalinya orang Sunda dari perantauan melainkan kembalinya orang Sunda kepada jati diri mereka sebagai orang Sunda.
Budaya Jawa mengenal penamaan diri yang diambil berdasarkan nama alam, tumbuhan, binatang, religi, benda, bilangan, tokoh cerita, perasaan, peristiwa, situasi, asal-usul, dan sifat manusia (Sugiri 1993, Uhlenbeck 1969, dalam Sasongko dan Susanti 2021). Pigeaud (1960), menurut Sasongko, mengatakan bahwa fenomena penamaan ini terkait dengan panji-panjian (bendera) prajurit yang bergambar binatang. Setiap prajurit, menandai apa yang menjadi miliknya dengan gambar binatang. Jadi, penamaan diri prajurit dengan nama binatang ini umumnya bersifat heraldic, yakni seni dalam menciptakan dan menghias lambang. Nama-nama itu di antaranya adalah Kebo Anabrang, Kidangwalangka, Banyak Kapuk, dan Gagak Sumiring (Sumadio dkk. 2010, Ramelan dkk. 1990 dalam Sasongko dan Susanti 2021). Menurut Pigeaud, tradisi ini berlangsung pada era Kadiri-Majapahit. Penyebutan nama heraldic kebo pada Kebo Anabrang membawa kita kembali kepada peribahasa kebo mulih pakandangan.
Seperti halnya muncang, kebo juga memiliki alasan filosofis untuk dijadikan nama atau gelar. Kebo secara idealis dipercaya sebagai hewan sakral dan penangkal kekuatan jahat sehingga dijadikan hewan persembahan melalui ritual penanaman kepala kerbau (tandas ning kebo/hadangan) dan merupakan wahana dewa kematian, Yama, tetapi secara praktis-fungsionalis berperan sebagai hewan ternak, komoditas dagang, konsumsi, dan pembajak (Sasongko, 2021). Berkenaan dengan kerbau sendiri menurut Slijper (1954) dalam Mawardi (2011) telah ditemukan di Nusantara sejak zaman Neolithikum (3000 SM-1700 SM). Informasi ini cukup memberi refleksi tentang peran kerbau dalam peradaban perburuan, perladangan dan pertanian dalam kehidupan moyang pada masa lampau. Kita juga bisa menelisik makna kerbau melalui relief-relief di candi atau karya sastra (Mawardi, 2011). Di tatar Sunda sendiri, nama hewan ini digunakan sebagai penamaan diri salah satunya untuk Resi Makandara, Kebowulan (Carita Parahyangan, 1580).
Kebo dalam Kearifan Musikal
Di akhir tulisan, sebuah pendekatan kebahasaan tentang kebo cukup menarik untuk disertakan. "Makna Filosofis Kebo Giro Dalam Pandangan Islam" begitu Salamah (2022) menajuki tulisannya. Menurutnya, gendhing Kebo Giro bisa dimaknai berdasarkan perspektif Islam melalui pendekatan kebahasaan bahwa kata kebo dianggap berasal dari kata Arab hubbu sementara giro berasal dari kata ghirah. "Kata Hubbu memiliki arti cinta dan kasih sayang. Sedangkan kata Ghirah memiliki arti sebagai unsur jiwa yang menjaga kehidupan dan ketulusan hati. Sehingga kedua kata tersebut dimaknai sebagai pertemuan kasih sayang dan keinginan jiwa yang mendalam," tulisnya.
Selain memiliki makna filosofis dalam perspektif Islam, gendhing Kebo Giro nampaknya memiliki makna filosofis berdasarkan laras karawitannya. Dalam gendhing Kebo Giro, laras karawitannya terdiri dari “Gonge Sarwo Limo” atau “Wilaan Sing Ditutuk Ugo Limo” dengan titi laras “Ro, Lu, Mo, Nem, Pi” / 2,3,5,6,7. Kemudian bila titi laras dijumlahkan semua hasilnya adalah 23. Uniknya 23 yang terdiri dari angka 2 dan 3, apabila dijumlahkan hasilnya 5. Maksud dari angka 5 adalah lima perkara yang perlu kita jaga atau hindari, lima perkara ini dikenal dengan istilah “Mo Limo’, antara lain:
1. “Emoh Main”, yang artinya tidak mau berjudi.
2. “Emoh Ngombe”, yang artinya tidak mau minum yang memabukkan.
3. “Emoh Madat”, yang artinya tidak mau mengisap candu atau ganja).
4. “Emoh Maling”, yang artinya tidak mau mencuri atau kolusi).
5. “Emoh Madon”, yang artinya tidak mau berzina.
Dalam konteks ini, gendhing Kebo Giro bermaksud untuk menceritakan bagaimana perilaku manusia dalam menjalani kehidupan di dunia yang dimana diharapkan mampu terhindar dari lima perkara tersebut (Salamah, 2022). Boleh jadi pendekatan Salamah ini dianggap terkesan cocokologi, namun gendhing Kebo Giro sendiri konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga (1450-1592) sementara ajaran Moh Limo dirumuskan oleh Sunan Ampel (1401-1481).
Gendhing Kebo Giro mempunyai makna mengusir segala lelembut yang sering mengganggu manusia agar kembali ke tempat asalnya (Ikhwan dan Syariasih, 2017). Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Haji Hasan Mustapa (1852-1930) dalam tafsir Al-Qur'an bercorak sufistik dalam bahasa Sunda untuk Surah Al-Fil (Rohmana, 2017). Mustapa (1920) menulis:
"Ceuk pikiran kaula, siloka lain sabongbrong. Hij'i di Mekah tanah Arab euweuh gajah. Dua, gajah runtag keuna ku taneuh sagede kapi. Tacan panjang carita ka bujangga Jawa, geus aya di babad Demak: munding bule ngamuk di alun-alun Demak, cocooan Jaka Tingkir, lindeuk soteh ditabeuhan ku gamelan lagu Keba Giro, ari ka Sunda tepi ka jadi tandak Kebojiro, jadi basa kana kuda nu guminding narik kareta, datang menak gede. Lindeuk kebo jiro dihuapan taneuh bodas (lemah putih). Aduh! Si/aka saalam dunya, nyirep angen jalma barahma barangasan rek ngamuk ngaruksak per/ambang tukang bujangga, ngan naha kitu sajagat buana. Atuh walatra, panyambalan ku lemah putih, ati beresih badan waras."
Ayat tentang gajah dalam QS Al-fil: 1-5 pun, menurut Rohmana, tidak lepas dari takwil batinnya. Mustapa berusaha meyakinkan pembacanya bahwa tidak logis bila ayat dipahami secara zahir. Ia memberikan sedikitnya dua alasan: Pertama, karena binatang gajah sendiri tidak terdapat di tanah Arab (Mekah); Kedua, tidak mungkin gajah bisa jatuh tersungkur terkena tanah sehesar biji kopi. Alasan kedua kiranya tidak jauh berbeda dengan Abduh, sehingga ia pun menafsirkan peristiwa itu dengan sebuah serangan penyakit epidemik. Hanya saja Mustapa sekilas membandingkan peristiwa itu dengan cerita Babad Demak abad ke-17 tentang penaklukkan Jaka Tingkir (Sultan Adiwijaya) atas kerbau yang mengamuk dengan pasirputih. Ia kiranya membandingkan cerita keduanya dengan metafor yang sama, yakni penaklukkan hati yang bersih atas nafsu angkara murka. Ia (Mustapa) mengatakan, inilah siloka saalam dunya.
Dalam istilah Sunda Kebo Giro diucapkan sebagai Kebo Jiro. Saya mengenal frasa Kebo Jiro saat mendengarkan album Titik Api karya Harry Rusli, bukan gendingnya.
Akhiran
Muncang labuh ka puhu kebo mulih pakandangan. Ternyata, kemiri dan kerbau mengajarkan kita makna kata "kembali".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H