Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemiri dan Kerbau dalam Bingkai Budaya: Sedikit Elaborasi

25 Desember 2024   16:38 Diperbarui: 25 Desember 2024   16:38 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerbau sedang digunakan untuk membajak sawah.(Sumber: https://beritajabar.news/)

Gendhing Kebo Giro mempunyai makna mengusir segala lelembut yang sering mengganggu manusia agar kembali ke tempat asalnya (Ikhwan dan Syariasih, 2017). Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Haji Hasan Mustapa (1852-1930) dalam tafsir Al-Qur'an bercorak sufistik dalam bahasa Sunda untuk Surah Al-Fil (Rohmana, 2017). Mustapa (1920) menulis:

"Ceuk pikiran kaula, siloka lain sabongbrong. Hij'i di Mekah tanah Arab euweuh gajah. Dua, gajah runtag keuna ku taneuh sagede kapi. Tacan panjang carita ka bujangga Jawa, geus aya di babad Demak: munding bule ngamuk di alun-alun Demak, cocooan Jaka Tingkir, lindeuk soteh ditabeuhan ku gamelan lagu Keba Giro, ari ka Sunda tepi ka jadi tandak Kebojiro, jadi basa kana kuda nu guminding narik kareta, datang menak gede. Lindeuk kebo jiro dihuapan taneuh bodas (lemah putih). Aduh! Si/aka saalam dunya, nyirep angen jalma barahma barangasan rek ngamuk ngaruksak per/ambang tukang bujangga, ngan naha kitu sajagat buana. Atuh walatra, panyambalan ku lemah putih, ati beresih badan waras."

Ayat tentang gajah dalam QS Al-fil: 1-5 pun, menurut Rohmana, tidak lepas dari takwil batinnya. Mustapa berusaha meyakinkan pembacanya bahwa tidak logis bila ayat dipahami secara zahir. Ia memberikan sedikitnya dua alasan: Pertama, karena binatang gajah sendiri tidak terdapat di tanah Arab (Mekah); Kedua, tidak mungkin gajah bisa jatuh tersungkur terkena tanah sehesar biji kopi. Alasan kedua kiranya tidak jauh berbeda dengan Abduh, sehingga ia pun menafsirkan peristiwa itu dengan sebuah serangan penyakit epidemik. Hanya saja Mustapa sekilas membandingkan peristiwa itu dengan cerita Babad Demak abad ke-17 tentang penaklukkan Jaka Tingkir (Sultan Adiwijaya) atas kerbau yang mengamuk dengan pasirputih. Ia kiranya membandingkan cerita keduanya dengan metafor yang sama, yakni penaklukkan hati yang bersih atas nafsu angkara murka. Ia (Mustapa) mengatakan, inilah siloka saalam dunya.

Dalam istilah Sunda Kebo Giro diucapkan sebagai Kebo Jiro. Saya mengenal frasa Kebo Jiro saat mendengarkan album Titik Api karya Harry Rusli, bukan gendingnya.

Akhiran

Muncang labuh ka puhu kebo mulih pakandangan. Ternyata, kemiri dan kerbau mengajarkan kita makna kata "kembali". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun