Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Apakah Malaikat Itu? Sebuah Pendekatan Ilmiah Populer

20 Oktober 2024   07:54 Diperbarui: 21 Oktober 2024   05:07 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi partikel https://www.scientificamerican.com

Subuh Sabtu lalu (19/10), garapan baca daras Al-Qur'an subuh tiba pada Surah Fathir. Ayat keduanya (bila basmalah dihitung sebagai ayat pertama) berbunyi:

"Segala puji bagi Allah Yang menciptakan seluruh langit dan bumi, Yang menjadikan para malaikat sebagai utusan-utusan yang memiliki sayap dua, tiga, dan empat. Dia menambahkan pada ciptaan apa pun yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."

Catatan kaki pada bagian yang dicetak miring, Al-Qur'an dengan Terjemah dan Tafsir Singkat terbitan Jemaah Muslim Ahmadiyah memberikan keterangan berikut: "Kepada malaikat-malaikat dipercayakan menjaga, mengatur, dan mengawasi segala urusan yang berlaku di alam jasmani (QS 79:6). Inilah tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepada mereka. Tugas mereka yang lain dan yang lebih berat adalah melaksanakan perintah dan kehendak Tuhan kepada rasul-rasul-Nya. Malaikat-malaikat pembawa wahyu menampakkan serentak dua, tiga, atau empat sifat Ilahi, dan ada pula malaikat lain, yang bahkan menjelmakan lebih banyak lagi dari sifat-sifat itu. Karena Ajnihah merupakan lambang kekuatan dan kemampuan (Lane), ayat ini mengandung arti, bahwa malaikat-malaikat itu memiliki kekuatan dan sifat yang berbedaan derajatnya sesuai dengan kepentingan pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka masing-masing. Sebagian malaikat dianugerahi kekuatan-kekuatan dan sifat-sifat yang lebih besar daripada yang lain. Malaikat Jibril adalah penghulu semua malaikat dan, oleh karena itu, pekerjaan mahapenting, yakni, menyampaikan wahyu Ilahi kepada para rasul Allah, diserahkan kepadanya serta dilaksanakan di bawah asuhan dan pengawasannya."

Sayap, dalam konteks malaikat, menurut tafsir yang diberikan di atas, dimaknai konotatif dan metaforis. Seharusnya saya merasa cukup, duduk tenang dalam pemaknaan bacaan daras pagi itu. Namun, entah bagaimana tiba-tiba saya menjadi begitu tergoda untuk membandingkan peran malaikat dengan peran partikel dalam fisika kuantum. Apakah sayap-sayap ini bisa dianalogikan sebagai spin partikel dalam fisika kuantum?

Sekilas Tentang Spin Partikel   

Spin, menurut laman CERN, adalah momentum sudut intrinsik dari sebuah partikel elementer, yang diukur dalam satuan konstanta Planck yang telah direduksi h. Dalam teori medan kuantum, spin sebuah partikel terkait dengan perilakunya. Sebagai contoh, partikel dengan spin bilangan bulat (0, 1, 2...) disebut boson, dan dapat menempati keadaan kuantum yang sama pada waktu yang sama. Sebaliknya, partikel dengan spin setengah bilangan bulat (1/2, 3/2, 5/2...) tidak bisa. Konstituen dasar materi yang diketahui (elektron, quark, neutrino...) adalah partikel spin 1/2, sedangkan partikel (foton, W / Z, gluon) yang memediasi interaksi yang diketahui (masing-masing elektromagnetik, lemah, kuat) adalah partikel spin 1. Boson Higgs memiliki spin 0 (ini adalah apa yang disebut boson "skalar") dan paritas positif seperti yang diprediksi oleh Model Standar. Ini adalah satu-satunya partikel skalar elementer yang teramati di alam.

Sedikit elaborasi tentang spin 1 dan 2 pada partikel. Partikel dengan spin 1 atau spin 0 merujuk pada sifat kuantum partikel yang berhubungan dengan momentum sudut intrinsiknya, yaitu spin. Partikel dengan spin 1 adalah boson, yang termasuk dalam kategori partikel pembawa gaya seperti foton atau gluon. Spin 1 berarti partikel ini memiliki tiga kemungkinan orientasi spin: -1, 0, +1, menunjukkan bahwa partikel tersebut bisa memiliki orientasi sudut yang berbeda. Partikel dengan spin 0 tidak memiliki momentum sudut intrinsik dan tidak memiliki orientasi sudut (misalnya, Higgs boson).

Adakah partikel berspin 2, 3 dan seterusnya? Partikel dengan spin 2 adalah gravitons (hipotetis), yang diperkirakan membawa gaya gravitasi dalam teori gravitasi kuantum. Spin 2 berarti mereka memiliki lebih banyak orientasi sudut dibandingkan partikel dengan spin lebih rendah. Spin 3 dan seterusnya lebih jarang ditemukan dalam partikel dasar, tetapi dalam teori medan kuantum, partikel hipotetis dengan spin lebih tinggi bisa ada. Semakin tinggi spin, semakin kompleks simetri dan interaksi partikel tersebut. Ringkas kata, spin ini mempengaruhi bagaimana partikel berinteraksi dengan medan dan partikel lain.

Mengilustrasikan spin partikel sebagai sayap bisa membantu memahami arah atau orientasi rotasi partikel, tetapi ada beberapa batasan karena spin adalah sifat kuantum yang tidak memiliki analog langsung dalam dunia klasik. Namun, mari kita bayangkan sayap partikel sebagai cara menunjukkan orientasi atau gerakan rotasi:

Spin 1, misalnya, bisa dibayangkan sebagai sayap tiga arah, yang menunjukkan bahwa ia bisa "berputar" dalam tiga orientasi (misalnya, -1, 0, +1). Untuk spin 2, partikel tersebut bisa dibayangkan memiliki sayap empat arah. Hal ini tentu menambah kompleksitas rotasi atau simetri yang lebih tinggi. Sementara untuk Spin 0, maka ini bisa kita sebut tak bersayap yang untuk itu ia tidak memiliki arah rotasi.

Sekali lagi, ini hanyalah analogi guna membantu memvisualisasikan bagaimana spin menentukan arah atau rotasi partikel dalam konteks kuantum.

Tentang Keadaan Kuantum dan Ungkapan Populer Nan Sensasional

Saat membincang tentang spin sebuah partikel, kita mengenal yang disebut dengan quantum state (keadaan kuantum). Mihirsinh Chauhan menyimpulkan bahwa quantum state -- biasa digambarkan oleh fungsi gelombang yang menggunakan simbol psi --adalah deskripsi matematis yang berisi semua informasi yang kita ketahui tentang sistem kuantum. Anda dapat menganggapnya sebagai "DNA" dari entitas kuantum. Keadaan kuantum (quantum state) adalah deskripsi lengkap dari sistem kuantum yang mengandung semua informasi tentang kemungkinan-kemungkinan dari posisi, momentum, energi, dan sifat lainnya dari sistem. Dalam fisika klasik, kita bisa menjelaskan posisi dan kecepatan sebuah benda dengan pasti, tetapi dalam fisika kuantum, keadaan sistem tidak bisa dijelaskan secara langsung dengan cara yang sama. Sebagai gantinya, keadaan kuantum memberikan informasi tentang peluang atau probabilitas berbagai hasil pengukuran yang bisa terjadi pada sistem tersebut.  

Adapun karakteristik utama dari keadaan kuantum yang eksotik ini, menurut beberapa sumber, antara lain terdiri dari tiga, yaitu:

Superposition (superposisi), di mana sebuah partikel dapat berada dalam beberapa keadaan sekaligus sampai dilakukan pengukuran. Implikasinya bahwa sebuah partikel bisa berada di dua tempat berbeda pada saat yang sama.

Entanglement (keterpautan kuantum). Dua partikel dapat terhubung sedemikian rupa sehingga keadaan satu partikel mempengaruhi keadaan partikel lainnya, bahkan jika mereka terpisah jauh secara fisik, dan yang luar biasanya interaksi keduanya bisa seketika.

Uncertainty (ketidakpastian). Adalah Werner Heisenberg yang mengenalkan Prinsip Ketidakpastian yang menyatakan bahwa ada batasan seberapa tepat kita bisa mengetahui pasangan properti tertentu (misalnya, posisi dan momentum) pada saat yang sama. Implikasi sederhananya kita ditakdirkan untuk tidak dapat mengetahuinya secara pasti. 

Keadaan kuantum yang memberikan pandangan probabilistik tentang alam ini berbeda dengan pandangan deterministik dalam fisika klasik. Kondisi inilah yang sangat tidak disukai Einstein. Keberatan Einstein terhadap fisika kuantum, sebagaimana interpretasi Kopenhagen yang dikembangkan oleh Niels Bohr dan Werner Heisenberg, diringkas dalam ungkapan terkenalnya: "Tuhan tidak sedang bermain dadu." Einstein merasa bahwa alam semesta harus memiliki prinsip dasar yang deterministik, di mana setiap peristiwa memiliki sebab yang pasti, berbeda dengan pandangan kuantum yang menyatakan bahwa beberapa aspek fisika kuantum hanya bisa dijelaskan dalam probabilitas hingga ada pengukuran yang dilakukan.

Berkenaan dengan ungkapan "Tuhan tidak sedang bermain dadu" sebenarnya tidaklah sereligius itu. Tidak ada kata Tuhan dalam ungkapannya tersebut. Redaksi asli dalam bahasa Jerman dari pernyataan yang Einstein ungkapkan dalam korespondensinya dengan fisikawan Max Born pada tahun 1926 adalah: "Die Quantenmechanik ist sehr achtunggebietend. Aber eine innere Stimme sagt mir, dass das noch nicht der wahre Jakob ist. Die Theorie liefert viel, aber dem Geheimnis des Alten bringt sie uns kaum näher. Jedenfalls bin ich überzeugt, dass der Alte nicht würfelt -- Mekanika kuantum memang mengesankan. Namun, suara hati mengatakan kepada saya bahwa itu belum menjadi hal yang nyata. Teori mengatakan banyak hal, tetapi tidak benar-benar membawa kita lebih dekat kepada Sang Tua. Bagaimanapun, saya yakin bahwa Sang Tua tidak bermain dadu." 

Frasa "der Alte" yang diterjemahkan sebagai "the Old One" inilah yang disebutkan Einstein sebagai rujukan metaforis kepada prinsip fundamental yang mengatur alam semesta, tetapi ia tidak secara eksplisit menyebut kata "Tuhan." Dengan kata lain, der Alte adalah prinsip atau hukum kosmik yang menurut Einstein seharusnya bersifat deterministik, bukan acak.

Pun demikian dengan Niels Bohr yang banyak disebutkan membalas ungkapan Einstein dengan kata-katanya: "Einstein, stop telling God what to do!". Maksud dari ungkapan ini adalah bahwa kita seharusnya tidak "mengatur" bagaimana alam semesta bekerja atau mengharapkan alam mengikuti aturan deterministik yang disukai Einstein. Namun, kutipan langsung yang berbunyi "Stop telling God what to do" adalah bentuk yang disederhanakan dan dipopulerkan, tetapi bukan merupakan kutipan historis yang terdokumentasi. Sebaliknya, diskusi mereka lebih mendalam dan filosofis. Misalnya, Bohr pernah berkata kepada Einstein bahwa "tidak ada harapan untuk mencari penyebab 'realitas' yang mendasari" di balik fenomena kuantum. Ini memperkuat perbedaan fundamental antara pendekatan Einstein yang mencari determinisme dengan pendekatan Bohr yang menerima ketidakpastian sebagai bagian inheren dari alam semesta kuantum.

Kita selalu menyukai sensasi. Kedua ungkapan tadi pun disukai khalayak bila dikemas dalam redaksi sensasional sebagaimana yang banyak kita dengar selama ini. Hal yang senada terjadi dengan buku populernya Leon Lederman, The God Particle - If the Universe Is the Answer, What Is the Question? Tentangnya, Lederman menulis:

"Sekarang, mengenai judulnya, The God Particle, rekan penulis saya, Dick Teresi, telah setuju untuk menerima kesalahan (saya telah membayarnya). Saya menyebutkan frasa itu sebagai lelucon dalam sebuah pidato, dan dia mengingatnya dan menggunakannya sebagai sebagai judul buku ini. "Jangan khawatir," katanya, "tidak ada penerbit yang pernah menggunakan judul (buku) yang tengah ditulis sebagai (judul) buku versi finalnya." Selebihnya adalah sejarah. Judul buku tersebut akhirnya menyinggung dua kelompok: 1) mereka yang percaya kepada Tuhan, dan 2) mereka yang tidak percaya. Kami diterima dengan hangat oleh mereka yang berada di antara keduanya."

Konon, sebutan untuk partikel Higgs-Boson sendiri yang kemudian dikenal sebagai God Particle, awalnya Ledermann sebut sebagai umpatan Goddamn Particle. Partikel Sialan, begitulah kira-kira, saking sulitnya membuktikan keberadaan partikel tersebut. Atas pertimbangan sensitivitas sekaligus pertimbangan marketing, istilah yang kemudian menjadi judul buku tersebut disunting menjadi God Particle. Hehehe

Tentang Malaikat yang Multidimenasional

Malaikat merupakan makhluk gaib yang beroperasi dalam dimensi yang berbeda. Ia, atas izin Allah, bisa terlihat oleh manusia, baik secara perorangan ataupun kolektif. Ia bahkan bisa melakukan intervensi dalam dimensi yang kita tinggali. Hal ini mengingatkan kita pada fenomena dualitas cahaya. 

Al-Qur'an tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa malaikat diciptakan Tuhan dari cahaya sebagaimana sebuah riwayat dari Imam Muslim yang populer menegaskan, bahwa: "Malaikat itu diciptakan dari cahaya. Jin diciptakan dari api yang menyala-nyala, sedangkan Adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan kepada kalian." Penarikan kesimpulan bahwa malaikat tercipta dari cahaya umumnya ditafsirkan oleh para ulama dari pernyataan dalam Surah Al-A'raf ayat 12 (basmalah tidak dihitung ayat pertama) di mana syaithan (setan) menyatakan bahwa dirinya diciptakan dari nar (api). Nar dalam bahasa Arab sering digunakan secara metaforis untuk mewakili emosi seperti hasrat, keinginan, dan rasa sakit. Api juga dapat dikaitkan dengan perjuangan, konflik, dan pemurnian. Karakteristik ini merepresentasikan karakter setan yang menggoda, bernafsu dan mencelakakan yang berkebalikan secara diametral dengan karakter malaikat. Malaikat digambarkan bersifat teduh, tanpa syahwat dan membawa kebaikan yang untuk itu mereka disebutkan tercipta dari nur (cahaya). Nur secara metaforis menggambarkan petunjuk, keindahan, kelembutan dan ketenangannya.

Sejak malaikat disebutkan tercipta dari cahaya, maka tentu tidaklah terlalu gegabah untuk secara hipotetis menyatakan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk beroperasi seperti cahaya dengan dualitasnya sebagai partikel atau gelombang. Para malaikat bisa terindera, sejauh Tuhan mengizinkannya, bisa juga tidak sesuai prinsip utamannya sebagai di antara makhluk-mahkluk gaib.

Tulisan pun berujung sampai di sini. Sejujurnya saya tidak tahu apakah telah mencapai tujuannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun