Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah yang Ramah Salah

29 September 2024   21:17 Diperbarui: 30 September 2024   03:02 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah, ironisnya seringkalih masih menjadi lokus terjadinya perundungan. Bahkan, beberapa pihak berpendapat, sekolah sendiri sebagai lembaga pendidikan seringkali menjadi pelaku bully. Meskipun ia tidak secara eksplisit menyebut sekolah sebagai lembaga bully, kritik Paulo Freire terhadap kekuasaan dan dominasi dalam pendidikan melalui bukunya Pedagogy of the Oppressed bisa dilihat sebagai komentar tentang bagaimana lingkungan sekolah sering kali berkontribusi pada perilaku bullying dan penindasan. 

Setidaknya, menurut Freire, sistem pendidikan formal bisa menjadi tempat yang mengekang kreativitas dan mengabaikan pengalaman siswa. Tokoh lain yang juga menyoroti isu ini adalah Sir Ken Robinson. Ia berbicara tentang bagaimana sistem pendidikan tradisional sering kali tidak memperhatikan keunikan setiap siswa dan malah dapat menciptakan situasi di mana siswa merasa tertekan atau terpinggirkan. 

Sangat boleh jadi inilah penyebab mengapa sekalipun sekolah secara umum diyakini penting, ironisnya sekolah secara umum pula merupakan tempat yang tidak dirindukan. Sementara penyebab lainnya adalah sulitnya untuk menampik bila sekolah sangat tidak ramah terhadap kesalahan peserta didiknya. 

Menyikapi ini, Diane Gossen yang adalah ahli pendidikan dari Kanada layak untuk mendapatkan sorotan kamera. Gossen memformulasikan cara penanganan kesalahan peserta didik dengan istilah Segitiga Restitusi

Penanganan bertujuan untuk membantu peserta didik memperbaiki kesalahan mereka sehingga dapat kembali bersosialisasi dengan karakter yang lebih kuat. Segitiga restitusi dapat menumbuhkan motivasi internal siswa untuk lebih berdisiplin positif dan terbiasa mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. 

Secara umum, langkah-langkah penerapan segitiga restitusi terdiri dari menstabilkan identitas pelaku kesalahan, meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukannya salah, dan mengkonfirmasi keyakinan si pelaku terhadap apa dilakukannya. Dengan tiga langkah ganti rugi kesalahan ini, sekolah sebagai lembaga pendidikan diharapkan dapat:

Pertama, membantu siswa memahami konsekuensi tindakan mereka.

Kedua, membantu siswa belajar dari kesalahan mereka.

Ketiga, membantu siswa memperbaiki hubungan dengan komunitas sekolah.

Keempat, menguatkan hubungan sosial, baik antara siswa dengan siswa ataupun siswa dengan guru.

Kelima, mengajarkan siswa tanggung jawab serta kebaikan.

Dalam penerapan segitiga restitusi, penting untuk meyakinkan anak bahwa to err is human. Berbuat salah itu manusiawi. Tidak ada manusia yang sempurna. Dengan cara ini, anak dapat mengubah identitasnya dari orang yang gagal menjadi orang yang sukses -- from zero to hero

Penanganan sekolah seperti ini akan membawa kepada citra sekolah yang ramah salah. Pendekatan ini akan menumbuhkembangkan potensi peserta didik. Dan yang lebih jauhnya lagi, besar kemungkinan akan menjadikan sekolah sebagai tempat yang kelak mereka akan rindukan.

Menelisik Makna Pendidikan

Umum dikatakan bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan. Untuk itu, sebuah telisik tentang makna dari kata pendidikan akan selalu penting dilakukan para praktisi pendidikan di sekolah. Sebuah telisik kebahasaan saya coba tawarkan di sini.

Dalam bahasa Arab, mendidik adalah rabbaa-yurabbii. Kata ini seakar dengan kata rabaa-yarbuu. Bila yang pertama konotasinya positif karena melahirkan derivasi kata tarbiyyah, maka yang kedua berkonotasi negatif: ribaa. Varian lainnya dari akar kata yang sama membawa kita kepada arbaa-yurbii yang secara umum berarti memperbanyak atau melipatgandakan. Tarbiyyah dan ribaa keduanya berbagi makna yang sama, yakni menambah atau meningkatkan. 

Sebuah kaidah unik -- dan tentu saja tidak disepakati secara umum -- dalam bahasa Arab menyatakan bahwa huruf yang sama atau berdekatan dalam bunyi akan membawa kepada kesamaan makna atau setidaknya keterkaitan makna. Kaidah ini menggiring kita kepada kata rabba (dua arti populernya, merawat dan mengembangkan). Implikasi dari kaidah ini dengan paragraf sebelumnya adalah bahwa tarbiyyah (pendidikan) terkait erat dengan rubuubiyyah, yakni sifat Ketuhanan. 

Tidaklah berlebihan untuk menyatakan bila pendidikan hakikatnya merupakan sebuah kegiatan yang bersifat "ilahiyah" dalam makna yang luas. Dan untuk alasan ini, pendidikan haruslah berpijak pada nilai-nilai universal. Sekularisasi sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan sebuah fitrah. Sekolah tidak boleh partisan. Sekolah sejatinya haruslah bersifat universal namun sekaligus menghargai identitas setiap warga belajarnya. Bukankah Tuhan adalah nama lain dari sumber nilai-nilai luhur universal?

Sebuah implikasi dari pendidikan dalam format persekolahan yang kemudian melahirkan tradisi ilmiah dengan produknya yang kita kenal sebagai sains, pertanyaan klasiknya adalah apakah mungkin sains (umum dianggap sebagai hasil dari pendidikan dalam perspektif awam kita) dan agama (lazim disepakati sebagai sebutan yang menempel pada citra Tuhan) berjalan dalam harmoni?

Kembali, bila sekolah berpijak pada nilai-nilai universal nampaknya pertanyaan tadi terhitung tidak lagi perlu untuk diajukan. Keduanya, yakni sains dan agama, bisa berjalan dalam harmoni. Sains merupakan ekspresi kognitif Tuhan (al-āyāt al-kauniyah) sementara agama adalah ungkapan metakognitif-Nya (al-āyāt al-qauliyah). Keduanya merupakan ekspresi dari Keberadaan-Nya. Tugas mulia pendidikan justru mengharmonikan keduanya. Bahkan, dalam perspektif ini, guru sejatinya adalah bayangan dari citra Tuhan sebagai Sang Maha Pendidik.

Dalam tataran teknisnya, Kurikulum Merdeka dengan backward design dalam pembelajarannya, menegaskan bahwa konten atau materi pembelajaran bukanlah urutan yang pertama. Konten atau materi hanyalah stimulan dalam mendorong siswa untuk mengembangkan potensi sejati dirinya. Kemerdekaan yang dimiliki siswa inilah yang menjadi spirit Kurikulum Merdeka. Filosofi pembelajaran yang berpusat pada siswa menuntut layanan yang berdiferensiasi dalam pelaksanaannya. 

Ki Hajar meredaksikan praktik ini sebagai mendidikan anak sesuai dengan kodratnya. Inilah tujuan utama dari capaian sebuah pembelajaran. Secara nomenklatur pun taksonomi pembelajaran berubah menjadi Capaian Pembelajaran (CP), Tujuan Pembelajaran (TP) dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) tidak lagi Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) seperti pada Kurikulum 2013.     

Pembelajaran seyogianya bukanlah lagi sebatas pengajaran. Pembelajaran adalah pendidikan itu sendiri. Implikasi tertingginya, pembelajaran akan bergeser dari awalnya bersifat kognitif menjadi metakognitif. Aktivitas pembelajaran di sekolah seperti inilah yang akan menjadikan sekolah berdaya dengan ikatan yang hidup di antara warga belajarnya. 

Bukan hanya siswa yang belajar, guru pun turut belajar di dalamnya. Kesalahan bukan lagi hal yang tabu. Sebuah kesalahan, dengan penanganan yang tepat, akan menjadikan kegiatan pembelajaran semakin menggairahkan. Barangkali saat ini terkesan utopis untuk membayangkannya.   

Sekolah yang ramah terhadap kesalahan akan menjadi rumah kedua bagi warga belajarnya. Sebuah doa, maaf saya merujuk tradisi di kalangan muslim, menarik perhatian untuk direnungkan dalam konteks hubungan siswa dan guru di dalamnya. 

Doanya berbunyi: "Rabbighfir lii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraan -- Ya Tuhanku ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan kasihanilah mereka berdua sebagaimana keduanya telah menumbuhkembangkan aku saat kecil dulu."

Poin refleksinya adalah pemeliharaan seperti apa yang sudah kita berikan kepada para siswa kita? Seberapa besar peran kita dalam pertumbuhkembangan mereka? Seberapa penting kita bagi mereka sehingga bisa disetarakan dengan kenangan mereka akan orang tua yang telah merawat mereka di masa kanak-kanak mereka?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan praktik akan menjadikan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan yang ramah terhadap kesalahan dan sekaligus menjadikan sekolah yang akan dirindukan para siswanya.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun