Suasana penginapan yang sepi, dirasa syahdu untuk meneruskan bacaan. Malangnya, setelah menghabiskan bacaan satu bab, serangan kantuk merobohkan pertahanan mata. Saya tersadar dengan posisi kaca mata terjatuh di dada. Sementara buku terselip di balik selimut. Suasana yang sebelumnya sepi sirna, disilih kemeriahan tawa dan redaksi tukar-silang kudapan. Dalih kondisi yang kurang fit menyelamatkan saya dari tuntutan bergabung dalam mekanisme pertahanan hidup paling primitif dalam kehidupan kita, makan. Tidur lebih tepat untuk dipilih. Â Â
Besok paginya, bacaan tiba di Bab 5. Sulit rasanya untuk tidak berhadapan dengan evolusi Darwinian. Darwin, atau tepatnya fans garis kerasnya, boleh jadi gigih mentertawakan kelompok manusia seperti saya. Saya, dan teramat banyak yang lainnya, termasuk yang menganggap agama dan sains bisa berjalan bergandengan. Pemahaman terhadap sains tidak lantas mengosongkan ruang kebertuhanan kita. Cemooh dalam corak Darwinian tidaklah merisaukan saya. Ada banyak tawa balik saya untuk itu. Narasi David Christian dalam bab-bab yang sudah dibaca tidak membunyikan alarm tanda bahaya di benak saya.Â
Satu hal di luar semuanya, tiba-tiba saya sadari. Ternyata saya membaca Bab 5 ini di kawasan yang dulunya bernama kerajaan Pasirluhur. Sebuah nama yang sangat Sunda untuk kawasan yang kini berada di Jawa Tengah, tepatnya Banyumas. Penginapan dengan view Gunung Slamet ini - yang oleh Bujangga Manik sebut sebagai Gunung Agung - berlokasi di Tenjogiri. Tenjo, dalam bahasa Sunda artinya melihat atau memandang. Semtara, giri, berarti gunung atau hutan. Alarm dalam benak menyala kali ini.
Tenjowaringin, desa tempat saya tinggal, yang kini berjarak 192 km di arah Barat dari tempat yang malamnya saya menginap, seakan tercermin di sini. Giri yang berarti gunung - yang bila merujuk ke Gunung Slamet - akan kongruen dengan Waringin yang merujuk kepada Gunung Cikuray. Kedua tempat mengisyaratkan memandang ke arah gunung. Tenjowaringin ke arah Gunung Cikuray dan Tenjogiri ke arah Gunung Slamet. Gunung atau pegunung, menurut Pak Dani yang menghadiahi saya buku tadi, dalam Gunung Sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan dan Skriptoria Masa Sunda Kuno, merupakan lanskap suci atau simbol sakral. Sakralitas gunung sebagai simbol ilahiyah melahirkan tradisi gunung sebagai tempat ngabhiseka para raja dalam tradisi Hindu Jawa-Sunda. Secara sederhana gunung memang dapat menyadarkan betapa kecilnya kita sebagai manusia di hadapan Sang Pencipta. Betapa tidak, setidaknya, ketinggian dan massifnya ukuran gunung membuat kita merasa kecil dalam skala.
Bunyi alarm semakin keras, mengingatkan saya pada sensasi malu akibat jeritan alarm kendaraan kami yang error di awal perjalanan, saat ingat bahwa sore hari kemarinnya, Dr. Rakeeman, seorang filolog kenalan saya mengirimkan sebuah tulisan dengan judul Pasir Luhur Alias Baturraden: Lokasi Perjuangan Putra Prabu Siliwangi dalam Mencari Calon Permaisuri. Nama lokasi Tenjogiri memunculkan nuansa epifanik. Tenjogiri yang termasuk kawasan Baturraden ternyata secara historis memiliki persentuhan halus dengan Tenjowaringin.Â
Saya seringkali harus membenci kemudahtergodaan saya dalam menemukan titik-titik yang tersambung. Nampaknya, perlu dosis tertentu untuk menyembuhkan kemudahtergodaan neuralistik ini. Saya kembali gagal untuk tidak berpikir random.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H