Nyaris dua pekan berselang, kembali Purwokerto saya kunjungi. Kali ini ada dua maksud mengunjunginya. Istri saya mengantar paket untuk si sulung yang lebih dari setengah bulan tinggal di sana, sekaligus menemui si bungsu yang tengah mengikuti kegiatan Ijtima di bumi perkemahan kawasan Baturraden. Berbeda dengan kunjungan dua pekan sebelumnya, kali ini bagi saya terhitung begitu mendadak. Baru sekira pukul 10 pagi, istri mengajak pergi. Meski badan tidak dalam kondisi fit, saya sepakat untuk berangkat. Â
Pukul 13an, kami bergerak menuju  Purwokerto. Dengan segala romantika perjalanan, plus insiden alarm kendaraan yang sempat error dan berteriak-teriak membuat semua mata di rest area sebuah pom bensin terpusat kepada kami. Sebagian kecewa karena terganggu rehatnya. Sebagian tidak peduli. Dan, sebagian lagi - yang ini terhitung sedikit nampaknya - ingin membantu tetapi merasa risih dibilang sok baik. Di atas semuanya, tentu kamilah yang merasa kecewa karena telah mengganggu saudara seperjalanan beragam arah dan tujuan tersebut. Kebalauan entropis menciptakan kehadiran seorang montir yang dengan sedikit sentuhan meredakan keadaan. Kami pun segera meninggalkan salah satu titik paling traumatik dalam peta perjalanan. Semakin cepat semakin bagus rasanya. Setiap yang ada di sana berhak untuk mendapatkan ketenangan. Sang montir mendapatkan dua sensasi: tenang dan senang, tentunya.
Sedikit keliru ambil jalan plus pemberlakuan asas demokrasi bagi setiap warga perjalanan untuk mengusulkan mana dari dua maksud keberangkatan yang harus didahulukan menambah waktu perjalanan menjadi melar. Sejak demokrasi itu memang bawaannya brisik - sebrisik kondisi perpolitikan di negeri kita - perjalanan pun diwarnai berbagai interupsi. Beberapa rasional. Beberapa sangat emosional. Jalan tengah pun diambil. Kampus di mana si sulung sedang berkegiatan kita lalui sebagai rute menuju camping ground-nya si bungsu. "Nanti kita jemput si sulung saat kita sudah sampai di bumi perkemahan," simpul istri saya menutup sidang.
Que sera, sera batin saya. Tidak bijak berdebat dengan ras terkuat dalam sejarah evolusi kehidupan di jagat raya ini. Saya memilih untuk tidur. Kondisi badan yang tidak fit memberikan sedikit keuntungan. Ada cukup kuat alasan untuk tidak berbicara dengan tanpa ada kesan berbeda pendapat.
Sebuah Buku dari Kolega    Â
Beberapa waktu lalu, kolega saya di sekolah menghadiahi saya sebuah buku, Future Stories, buah pena dari David Christian. Beruntung sekali saya membawanya serta dalam perjalanan.Â
"Penulis buku laris Origin Story mengalihkan perhatiannya ke masa depan umat manusia---dan bagaimana kita memikirkannya---dalam buku interdisipliner yang ambisius ini. Setiap detik dalam hidup---entah saat kita menengok ke kiri dan ke kanan sebelum menyeberang jalan, merayakan kelahiran bayi, atau pindah ke kota baru---kita harus menghadapi masa depan yang tidak dapat diketahui. Bagaimana kita melakukannya? Dan bagaimana kita, seperti kebanyakan organisme hidup, mengelola tantangan yang mustahil ini dengan cukup baik ... setidaknya pada sebagian besar waktu? David Christian, sejarawan dan penulis Origin Story, terkenal karena memelopori disiplin Big History, yang menyurvei seluruh masa lalu. Namun, dengan Future Stories, dia mengarahkan mata analitisnya yang tajam ke depan, menawarkan pengantar ke dunia masa depan yang aneh, dan panduan untuk apa yang kita pikir kita ketahui tentangnya di semua skala, dari individu hingga kosmologis. Dia berkonsultasi dengan para teolog, filsuf, ilmuwan, ahli statistik, dan cendekiawan dari berbagai tempat dan waktu saat mengeksplorasi bagaimana kita mempersiapkan masa depan yang tak pasti, termasuk masa depan evolusi manusia, kecerdasan buatan, perjalanan antarbintang, dan banyak lagi. Dengan menghubungkan studi masa lalu lebih dekat dengan studi masa depan, kita dapat mulai membayangkan seperti apa dunia dalam seratus tahun ke depan dan mempertimbangkan solusi untuk tantangan terbesar yang kita semua hadapi," begitu sang penerbit edisi terjemah bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, mengulas di bagian sampul belakang.
Kolega saya, yang pernah menjadi murid saya saat di masa SMA, rupanya fasih benar menalar kegemaran mantan guru SMA-nya dalam berpikir big picturian. "Saya pikir, Bapak akan cocok membaca buku-buku dengan perspektif big history," imbuhnya saat menghadiahkan buku ini. Pak Dani - begitu kini saya memanggilnya - benar. Meski dalam hati timbul perasaan bersalah. Sejatinya cara berpikir saya ini lebih disebabkan karena saya adalah seorang yang suka berpikir random. Demi menebus kesalahan ini, saya belajar membaca buku co-founder Big History sekaligus salah satu idolanya Bill Gates ini dengan saksama.Â
Survival of the Unfit
Berlindung di balik kondisi badan yang tidak fit, saya memilih untuk melanjutkan bacaan di penginapan alih-alih turun ke kota untuk menjemput si sulung. Selalu sulit bagi saya menamatkan sebuah buku dalam sekali baca. Pikiran ini begitu mudah tergoda dan teralihkan saat menemukan sesuatu yang menarik saat membaca. Menghentikan alur bacaan untuk menghubungkan dengan gagasan yang ada di buku atau tulisan lainnya. Ketidakdisiplinan ini menjadikan saya termasuk pembaca yang buruk. Abstract random.Â
Suasana penginapan yang sepi, dirasa syahdu untuk meneruskan bacaan. Malangnya, setelah menghabiskan bacaan satu bab, serangan kantuk merobohkan pertahanan mata. Saya tersadar dengan posisi kaca mata terjatuh di dada. Sementara buku terselip di balik selimut. Suasana yang sebelumnya sepi sirna, disilih kemeriahan tawa dan redaksi tukar-silang kudapan. Dalih kondisi yang kurang fit menyelamatkan saya dari tuntutan bergabung dalam mekanisme pertahanan hidup paling primitif dalam kehidupan kita, makan. Tidur lebih tepat untuk dipilih. Â Â
Besok paginya, bacaan tiba di Bab 5. Sulit rasanya untuk tidak berhadapan dengan evolusi Darwinian. Darwin, atau tepatnya fans garis kerasnya, boleh jadi gigih mentertawakan kelompok manusia seperti saya. Saya, dan teramat banyak yang lainnya, termasuk yang menganggap agama dan sains bisa berjalan bergandengan. Pemahaman terhadap sains tidak lantas mengosongkan ruang kebertuhanan kita. Cemooh dalam corak Darwinian tidaklah merisaukan saya. Ada banyak tawa balik saya untuk itu. Narasi David Christian dalam bab-bab yang sudah dibaca tidak membunyikan alarm tanda bahaya di benak saya.Â
Satu hal di luar semuanya, tiba-tiba saya sadari. Ternyata saya membaca Bab 5 ini di kawasan yang dulunya bernama kerajaan Pasirluhur. Sebuah nama yang sangat Sunda untuk kawasan yang kini berada di Jawa Tengah, tepatnya Banyumas. Penginapan dengan view Gunung Slamet ini - yang oleh Bujangga Manik sebut sebagai Gunung Agung - berlokasi di Tenjogiri. Tenjo, dalam bahasa Sunda artinya melihat atau memandang. Semtara, giri, berarti gunung atau hutan. Alarm dalam benak menyala kali ini.
Tenjowaringin, desa tempat saya tinggal, yang kini berjarak 192 km di arah Barat dari tempat yang malamnya saya menginap, seakan tercermin di sini. Giri yang berarti gunung - yang bila merujuk ke Gunung Slamet - akan kongruen dengan Waringin yang merujuk kepada Gunung Cikuray. Kedua tempat mengisyaratkan memandang ke arah gunung. Tenjowaringin ke arah Gunung Cikuray dan Tenjogiri ke arah Gunung Slamet. Gunung atau pegunung, menurut Pak Dani yang menghadiahi saya buku tadi, dalam Gunung Sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan dan Skriptoria Masa Sunda Kuno, merupakan lanskap suci atau simbol sakral. Sakralitas gunung sebagai simbol ilahiyah melahirkan tradisi gunung sebagai tempat ngabhiseka para raja dalam tradisi Hindu Jawa-Sunda. Secara sederhana gunung memang dapat menyadarkan betapa kecilnya kita sebagai manusia di hadapan Sang Pencipta. Betapa tidak, setidaknya, ketinggian dan massifnya ukuran gunung membuat kita merasa kecil dalam skala.
Bunyi alarm semakin keras, mengingatkan saya pada sensasi malu akibat jeritan alarm kendaraan kami yang error di awal perjalanan, saat ingat bahwa sore hari kemarinnya, Dr. Rakeeman, seorang filolog kenalan saya mengirimkan sebuah tulisan dengan judul Pasir Luhur Alias Baturraden: Lokasi Perjuangan Putra Prabu Siliwangi dalam Mencari Calon Permaisuri. Nama lokasi Tenjogiri memunculkan nuansa epifanik. Tenjogiri yang termasuk kawasan Baturraden ternyata secara historis memiliki persentuhan halus dengan Tenjowaringin.Â
Saya seringkali harus membenci kemudahtergodaan saya dalam menemukan titik-titik yang tersambung. Nampaknya, perlu dosis tertentu untuk menyembuhkan kemudahtergodaan neuralistik ini. Saya kembali gagal untuk tidak berpikir random.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H