Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kongruensi

11 Agustus 2024   02:02 Diperbarui: 11 Agustus 2024   02:13 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
id.pinterest.com/zazzle/

Al-Wahid, sekolah tempat saya mengajar, berlokasi di kampung Wanasigra  yang tepat berada perbatasan Tasikmalaya-Garut. Sebatang sungai memisahkan kedua kabupaten tersebut. Sungai tersebut bernama Cikuray

Google map memberikan estimasi jarak 14,5 km dari Al-Wahid ke Gunung Cikuray. Gunung stratovolcano yang menurut van Bemmelen berumur sekitar 2,5 juta tahun ini menjadi sumber mata air sungai yang diberi nama sama dengan gunung tersebut, Cikuray. Menurut beberapa catatan, gunung Cikuray dulu bernama Larang Srimanganti atau Srimanganten, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai gunung tempat penantian raja. Boleh jadi penamaan ini merujuk kepada peran gunung Cikuray yang pada abad ke-15 hingga 17 menjadi kamandalaan tempat di mana para pengeran Pajajaran belajar kearifan dan tata kelola pemerintahan. Selain itu, penamaan Srimanganti yang berasal dari kata sri (raja) dan manganti (menanti) juga mengisyarahkan bahwa gunung ini banyak dikunjungi para calon raja Pajajaran. 

Prebu Jaya Pakuan atau Bujangga Manik tercatat berkunjung ke gunung ini. "Ngalalar ka Ti(m)bang Jaya, datang ka Bukit Cikuray, nyangla(n)deuh aing ti inya, datang ka Mandala Puntang - Berjalan melewati Timbang Jaya, pergi ke Gunung Cikuray, seturunku dari sana, pergi ke Mandala Puntang)," begitu tulis Bujangga Manik dalam catatan perjalanannya

Jacobus "Koos" Noorduyn (1926-1994) dan Andries "Hans" Teeuw (1912-2012) memperkirakan perjalanan yang dilakukan oleh Bujangga Manik terjadi sebelum tahun 1511. "Pada masa Kesultanan Malaka masih menguasai jalur perniagaan Nusantara, sebelum jatuh ke tangan Portugis pada 1511," tulis Teeuw. Bujangga Manik sendiri adalah seorang bangsawan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) yang memilih menjadi rahib Hindu-Sunda. Ia berkelana ke beberapa tempat suci hingga ke Bali lalu kembali untuk mencari tempat untuk masa akhir hidupnya dan meninggal di Gunung Patuha. 

Sementara untuk asal-usul kata Cikuray, boleh jadi berasal dari kata 'kuray' (Melayu, mengkirai atau mengkurai) yaitu spesies tumbuhan berbunga dari keluarga rami, Cannabaceae. Variasi penulisan Cikuray adalah Cikurai sebagaimana kita temukan dalam catatan pada masa kolonial Belanda, Tjikoeraj atau Tjikoerai. Atau, barangkali berasal dari kata kuray yang dalam bahasa Sunda berarti 'merinding bulu roma'. Boleh jadi nama ini diambil dari sakralisasi kamandalaan Srimanganti agar tidak dimasuki sembarang orang. Sebuah hal yang lazim kita temui sekarang bila sekolah atau kawasan pendidikan lainnya dibatasi aksesnya untuk umum demi keberlangsungan proses pendidikan yang optimal. Saat papan nama, banner ataupun poster belum populer seperti sekarang, maka larangan berupa pamali dan ekspresi kearifan lokal lainnya lazim digunakan. Termasuk menanamkan kesan angker pada kawasan pendidikan seperti halnya sebuah kamandalaan.   

Al-Wahid dan Cikuray

Al-Wahid dibangun tepat menghadap ke arah Gunung Cikuray. Kedua lembaga pendidikan seolah ditakdirkan untuk berbagi kisah tentang bagaimana keduanya merawat anak-anak bangsa dan mengembangkan potensi mereka.  

Secara pribadi saya mendapat kesempatan untuk berdiri di puncak Gunung Cikuray. Bulan September 2003, ditemani Alwahidians - sebutan untuk siswa Al-Wahid - dan di bawah panduan Kang Akmal, rekan guru pengampu mata pelajaran PJOK, dengan sangat susah payah saya (karena yang lainnya jauh lebih bugar) berhasil melakukan summit attack. Ini adalah tanah tertinggi yang pernah saya injak. Berdiri di ketinggian 2.821 meter atau 9.255 kaki bagi seorang akrofobis seperti saya jelas merupakan pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Kita menyempatkan untuk mendirikan tahajjud yang disambung Subuh berjamaah di ketinggian tanah Garut. 

Ketika cahaya Matahari menyapa puncak gunung, saya berdiri takjub memandang ke bawah lereng. Saya merasa berdiri di sebuah negeri di atas awan. Sungguh indah. Semua lelah dan letih saat menaiki puncak sirna seketika. Rasa kagum memaksa pikiran dan lidah untuk berucap hamdalah. Salah satu momen di mana ungkapan alhamdulillah terasa sekali maknanya. Di ufuk tenggara dari arah puncak, tampak samar laut Pameungpeuk. "Bila cuaca sedang bagus dan tidak terlalu berawan, kita bisa melihatnya dengan lebih jelas," ungkap Kang Akmal menguatkan visualisasi dalam benak. 

Tidak salah bila Garut disebut Kota Pangirutan. Pemandangan indahnya memesona hati. Hampir 200 tahun lalu, menurut satu sumber, Pangeran Nikolai Alexandrovich Romanov atau Tsar Nicholas II saat mengunjungi Garut pada 1819 dan menginap di rumah Bupati Garut yang saat itu menjabat yakni RAA Wiratanudatar VII, ia diberitakan pergi ke Gunung Cikuray untuk berburu babi. Tsar Nicholas II boleh jadi terkekeh geli bila mengetahui bahwa babi tidak lagi diburu di Cikuray. Merekalah yang kini berburu para pendaki. Bahkan, yang leluhur mereka yang diburu Tsar, kini populer dengan sebutan 'Bagas' alias babi ganas. Hehehe

Kembali ke Al-Wahid. Sekolah sederhana di kampung Wanasigra ini berdiri tepat di awal milenium yang kedua, tahun 2000.  Al-Wahid seakan berdiri di atas tradisi wiyata kamandalaan Cikuray lebih dari setengah milenium sebelumnya. Bahkan, menurut Dr. Rakeeman, seorang filolog kenalan saya, diperkirakan di sekitaran Al-Wahid berada dulu terdapat sebuah kawikuan yang bernama Cilutung. Beberapa bulan lalu, beberapa Alwahidians saya tugaskan untuk observasi ke lokus tersebut. Dari foto-foto yang diambil, dugaan keberadaan kawikuan di pinggir sungai Cikuray ini semakin menguat. 

Antara Cikuray dan Tenjowaringin: Sebuah Kongruensi

Srimanganti, nama kuno untuk Cikuray, seperti disebutkan sebetulnya berarti 'menanti raja' maka Tenjowaringin - nama desa tempat Al-Wahid berada - memiliki siratan makna yang senada. 

Tenjowaringin berasal dari dua kata: tenjo dan waringin. Tenjo dalam bahasa Sunda berarti "melihat atau memperhatikan". Sementara waringin berarti beringin. Dalam konteks kesundaan, menurut Rakeeman, pohon beringin identik dengan Pajajaran, baik raja ataupun pangeran. Menilik arti kata-kata ini, Tenjowaringin mengandung makna perintah untuk melihat atau memperhatikan (menjaga) raja atau keturunan raja. 

Atau, bila waringin diartikan gunung Cikuray menilik fungsi gunung tersebut sebagai 'universitas'-nya bangsawan Pajajaran, maka Tenjowaringin akan berarti tempat untuk memantau atau menjaga aktivitas di kamandalaan Cikuray. Dalam konteks ini, di Tenjowaringin terdapat satu tempat yang diberi nama Cikuray. Uniknya, tempat tersebut tepat berada di gerbang menuju kampung Wanasigra.

Alhasil, secara toponimis, terdapat kongruensi maknawi yang menarik antara desa dan kampung tempat Al-Wahid berada dengan Gunung Cikuray. 

Alwahidians: Penaka Bujangga Manik di Era Modern

Sebagai peminat kajian tentang seputar Cikuray, sulit rasanya menampik godaan insight saat kolega saya - Dani Sunjana -  yang menuntaskan tugas akhir S2-nya berisi penelitian tentang Gunung Kumbang. Pikiran sontak melayang pada sosok Bujangga Manik yang juga pernah singgah ke gunung tersebut. 

Dani seolah menapaktilasi perjalanan rahib pengelana Sunda tersebut. Bahkan, menariknya lagi, seperti halnya Bujangga Manik, kolega saya yang asli Tenjowaringin ini menuntut S1-nya di Universitas Udayana, Bali. 

Sukasari, nama dusun yang darinya Dani berasal, secara toponimis nampaknya berasal dari "Sukasri" yang berarti suka raja. Jejak keberadaan Bujangg Manik di sekitaran dusun ini terabadikan dalam toponimi kampung lainnya seperti Sindangratu (tempat persinggahan raja). 

Sebagai sekolah yang dalam tiga  tahun pelajaran terakhir menerima amanat sebagai Sekolah Penggerak, selain mengusung tagar #GuruBahagiaMuridCeria, Al-Wahid mengambil pelajaran dari sosok Bujangga Manik yang dikukuhkan dalam tagar lainnya, yakni #BerkearifanLokaldalamKebhinnekaamGlobal. 

Sekali lagi terdapat sebentuk kongruensi antara Al-Wahid dan Cikuray, atau Tenjowaringin dengan Srimanganti. Atas kesebangunan ini, saya mengambil kemerdekaan saya untuk mendorong Alwahidians agar mau belajar dari sosok Bujangga Manik dalam berkelana dan belajar. 

Tulisan kali agak sedikit istimewa dikarenakan dua hal. Pertama, saya kerjakan dengan menggunakan hp yang terhitung tua. Kedua, penulisannya saya kerjakan di sekitaran kampus tempat anak saya yang sulung dalam empat tahun ke depan menjalani perkuliahannya. Dan karena ia juga seorang Alwahidian, maka dorongan yang sama terpundak untuknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun