Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cinta Tanah Air, Nasionalisme Universal

9 Agustus 2024   05:59 Diperbarui: 22 Oktober 2024   20:20 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubb al-wathan min al-iman. Cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Kalimat ini teramat sering kita jumpai. Bahkan, sebagian orang meyakininya sebagai perkataan Rasulullah saw alias sebuah hadits - meski penulusuran secara umum membuktikan kebalikannya. Namun, kendati demikian, kebenaran atas kandungan pernyataan tersebut tidaklah untuk dipungkiri.

Tuhan Sendiri, berkenaan dengan Nabi Ibrahim as, mengabadikan doa sang Abul Anbiya dalam kata-kata berikut:

"Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian." (QS. Al-Baqarah [2]: 126)

Kecintaan sekelas Ibrahim as kepada negeri, yang kemudian dikenal sebagai Mekah, melahirkan doa Qur'ani yang menyentuh hati. Mengingat Mekah bukanlah tanah kelahiran beliau, maka ayat ini juga menyiratkan pesan halus berkenaan dengan nasionalisme yang bersifat universal. Kita dididik untuk tidak memaknai nasionalisme secara sempit. Dalam konteks kearifan lokal Nusantara, sebuah peribahasa indah menyatakan: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." 

Cinta kepada tanah air ternyata bersifat dinamis. Kecerdasan kita dalam berintegrasi dengan lingkungan baru merupakan ungkapan sejati dalam bercinta tanah air. Kemelakatan kita kepada tanah air merupakan bagian dari fitrah. Namun kemampuan kita dalam beradaptasi dengan tanah air yang baru juga merupakan fitrah lainnya. Dalam perspektif ini ini hijrah walaupun dirasakan teramat berat namun bukan merupakan sesuatu yang mustahil sama sekali. Itulah filosofis di balik besarnya pahala hijrah yang dengannya pintu-pintu kemajuan dibukakan selebar-lebarnya.

Syekh Ismail Haqqi Al-Hanafi Al-Khalwathi (wafat 1127 H) dalam tafsirnya Ruhul Bayan, menurut Supriyono dalam Dalil-dalil Cinta Tanah Air dari Al-Qur'an dan Hadits, berkenaan dengan cinta tanaha air mengatakan:

Di dalam tafsirnya ayat (QS. Al-Qashash:85) terdapat suatu petunjuk atau isyarat bahwa "cinta tanah air sebagian dari iman". Rasulullah SAW (dalam perjalanan hijrahnya menuju Madinah) banyak sekali menyebut kata; "al-wathan, al-wathan - tanah air, tanah air", kemudian Allah SWT mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Mekah)..... Sahabat Umar RA berkata; "Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah airlah, dibangunnya negeri-negeri". 

Lebih lanjut lagi, Supriyono mengutip keterangan dari Tafsir al-Wasith karya Syekh Wahbah Al-Zuhaily berikut:

Di dalam firman Allah “keluarlah dari kampung halaman kamu” (QS An-Nisa: 66) terdapat isyarat yang jelas akan ketergantungan hati manusia dengan negaranya, dan (isyarat) bahwa cinta tanah air adalah hal yang melekat di hati dan berhubungan dengannya. Karena Allah SWT menjadikan keluar dari kampung halaman dan tanah air, setara dan sebanding dengan bunuh diri. Kedua hal tersebut sama beratnya. Kebanyakan orang tidak akan membiarkan sedikitpun tanah dari negaranya manakala mereka dihadapkan pada penderitaan, ancaman, dan gangguan.”

Inilah fitrat cinta tanah air yang saya maksudkan sebelumnya. Cinta tanah air menurut Al-Qur'an setara dengan kecintaan kita terhadap nyawa kita sendiri. Sebab, perintah "bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu!" menyatakan perintah yang setara beratnya bagi orang-orang munafik sebagaimana diisyaratkan dalam ayat ke-66 dari QS An-Nisa tersebut. Tentu saja perintah untuk melakukan bunuh diri tidak dimaksudkan untuk benar-benar mengakhiri hidup. Melainkan, perintah untuk menghentikan kebiasaan salah menjalani hidup yang palsu - yang mana hakikatnya tidak layak untuk disebut sebagai kehidupan itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun