Tut Wuri Handayani
Saya merasa tidak terlalu nyaman pada posisi ing ngarso sung tulodho dalam falsafah pendidikan Ki Hadjar, bahkan untuk posisi ing madyo mangun karso pun seringkali harus menakar diri. Barangkali pada posisi tut wuri handayani-lah saya terhitung berbesar nyali. Berkenaan dengan menulis dalam satu kesempatan obrolan di Komunitas Literasi Al-Wahid (KLA) saya memotivasi para anggotanya dengan kata-kata: "Membaca membuat kalian mengenal dunia.Â
Sementara menulis membuat kalian dikenal dunia." Atau, dalam kesempatan lainnya, dengan berusaha mengelola wajah agar terbebas dari segala kekonyolan ekspresi, sebagai guru saya berkata: "Jika membaca tak ubahnya mengumpulkan permata, maka menulis serupa merangkainya menjadi sebuah untaian." Inilah dua dari sekian keseriusan langka yang bisa saya ungkapkan dalam bingkai tut wuri handayani.
Pak Dani (begitu, saya kini memanggilnya), Erza, Sayyidah dan Kasyif telah membelakangi saya dalam artian yang positif. Sedikit dorongan membuat langkah-langkah literasi mereka semakin cepat berakselerasi. Bila kemudian saya tergopoh-gopoh dalam mengayun langkah dan bahkan tetinggal jauh. Sungguh ini merupakan salah satu ketertinggalan yang tidak untuk disesali. Mereka serupa benda yang menghilang dari pandangan. Tidak nampak tetapi tetap ada. Sebuah perspektif Dopplerian dalam pengamatan yang tak lain adalah bentuk implementasi dari tut wuri handayani. Â Â Â Â
Gigih dalam Belajar Menulis
Dan bila ada yang mendesak dengan pertanyaan: "Lalu apa kiat utama dalam menulis?"
Jawabannya, sederhanya saja: "Menulislah!"
Menulis itu layakna naik sepeda. Bila kita berhenti mengayuh kita akan terjatuh, maka menulis pun begitu. Berhenti mengoreskan pena atau mengetukkan jemari di atas bilah keyboard, maka ide tulisan takkan kunjung beranjak lalu mangkrak.Â
Punya ide? Mulailah menulis!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H