Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kiat Asyik dalam Menulis

22 Juli 2024   03:00 Diperbarui: 22 Juli 2024   03:07 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahagia rasanya saat anak-anak didik mulai mengikuti jejak menulis. Erza Heksa Arifin, misalnya. Tulisan pertamanya di Kompasian dengan judul Tipes, Gorengan, dan Kemiskinan, langsung mendapatkan apresiasi dari tim redaksi sebagai Artikel Utama. "Mohon doanya semoga saya bisa konsisten menulis di media daring seperti Tuan Dodi (Principal of Alwahid)," balasnya saat saya ucapkan selamat di kolom komentar.

Dani Sunjana, murid yang kini menjadi kolega guru di Al-Wahid, sekolah tempat saya mengajar, menulis Gunung Sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan dan Skriptoria  Masa Sunda Kuno yang membuat saya berkali-kali membacanya saking bahagianya.  

Atau, Sayyidah Nawaf yang baru-baru ini mendapatkan juara kedua lomba menulis cerita pendek Bahasa Sunda pada ajang Parmawijaya Dendasasmita Literary Awards 2024, saat diucapi selamat ia membalas: "Terinspirasi dari Bapak yang gemar menulis."

Saya senang mereka belajar. Mereka belajar memaknai kekurangan dari guru mereka. Tulisan-tulisan saya membukakan mata mereka bahwa guru mereka mengajarkan keberanian untuk jujur terhadap kekurangan. 

Guru mereka menulis bukan karena ia memiliki kemampuan. Ia mengambil risiko untuk tersingkap segala kenaifan dan ketunaannya yang selama ini terselimuti titel guru yang disandangnya. Ia mengorbankan diri untuk dipermalukan saat tulisannya ternyata biasa-biasa saja - sementara mereka bisa menulis lebih baik dari itu. Ia merelakan diri untuk ditertawakan bahkan ia pun mentertawakan dirinya sendiri melalui tulisannya. Ke arah inilah satu ketika guru mereka berujar: "Menulis bagi saya adalah sebuah self-roasting. Hanya saja tidak dalam bentuk komedi melainkan literasi."

Selain ketiga anak didik di atas, saya punya seorang siswa yang kini masih duduk Kelas XII yang terhitung luar biasa belajar menulisnya. Tiga buku telah ia tulis. Bahkan katanya ia tengah menulis yang keempat. Kasyif Ahmad, nama siswa tersebut. "Keren kamu, Nak. Bapak kalah telak. Bapak belum bisa menerbitkan buku. Kecuali membuat tulisan-tulisan lepas. Itupun diarial sifatnya," ungkap saya mengungkapkan kekaguman atas keberaniannya dalam membuat tulisan. 

Barangkali ada yang mengernyitkan dahi karena saya menyebut diri dalam percakapan dengan Kasyif di atas menggunakan sebutan "Nak" dan "Bapak" dan bukannya "saudara" dan "saya". Untuk tingkatan SMA, pola didikannya masih pedagogis. Para peserta didik diasumsikan masih usia anak atau remaja sehingga hubungan guru dengan siswa lebih mendekati orang tua dan anak. 

Lain halnya dengan perguruan tinggi yang menggunakan pola pendidikan andragogis. Mahasiswa diperlakukan layakna orang dewasa. Para pengajar di perguruan tinggi menyebut dirinya "saya" dan untuk peserta didiknya: "saudara" atau "anda". Ungkapan "Baik, anak-anak dalam pertemuan minggu lalu"  bila diucapkan di sebuah perkuliahan boleh jadi akan terasa mencederai kematangan usia atau bahkan menghina intelektualitas para mahasiswanya.   

Kembali kepada empat Alwahidians - sebutan untuk anak-anak Al-Wahid - tadi. Rasa bahagia terasa mengisi rongga-rongga dada. Sebuah rasa yang lazim dirasakan oleh para guru saat mendapatkan muridnya bertumbuh. Dalam ragam yang sama ataupun beda, tidak ada yang lebih membahagian seorang guru atau pendidik selain menyaksikan anak didiknya tumbuh berkembang. Ia dengan suka cita akan menerima "kekalahannya" atas kejayaan mereka yang pernah didiknya. Sebab, sejatinya "kekalahan" tersebut adalah kejayaan dirinya.  

Menulis Itu Serupa Obrolan

Sebagai salah satu pengajar yang senang belajar menulis, saya seringkali mendapatkan pertanyaan tentang apa kiat bisa produktif dalam menulis, atau bagaimana cara mendapatkan ide tulisan dan pertanyaan lainnya seputar membuat sebuah tulisan. 

Saya sendiri bingung untuk menjawabnya. Kebingungan ini lebih mirip kalau saya ditanya bagaimana saya bisa ngobrol asyik dengan seseorang yang baru saya temui saat di stasiun kereta, terminal bis atau teman duduk saat saat menanti antrian di rumah sakit. 

Dalam kasus ngobrol. Saya termasuk tipe orang yang talkative. Dengan mudah saya menemukan topik pembicaraan dengan seseorang sekalipun dengan latar belakang yang berbeda. Bapak dan Ibu yang berprofesi guru SD plus dibesarkan dengan tujuh bersaudara (bahkan sembilan bila dua saudara saya tidak berpulang lebih awal) membuat saya terbiasa mendengar obrolan, mengikuti obrolan dan memantik sebuah obrolan.  

Hanya saat ditanya tentang menulis, tidak mudah untuk menjawabnya. Meskipun menulis - sesuai dengan  karakter tulisan-tulisan saya tentunya -serupa dengan obrolan namun tentu saja mengobrol jauh lebih mudah daripada menulis. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana kiat agar bisa - tepatnya mau - menulis, pendekatan saya begini:

Pertama, niatkan untuk menulis. Inisiasi gagasan untuk menulis. Biasanya setelah itu gagasan, ide atau bahan tulisan akan menghampiri. 

Kedua, kenali dengan baik minat dan keakraban kita dengan dengan apa yang akan kita tulis. Menulis sesuatu yang tidak kita minati atau akrabi alih-alih menyenangkan malah menyengsarakan. Hal ini tidak baik untuk kepenulisan kita.  

Ketiga, menulislah. Seburuk apapun tulisan maka pasti akan ada orang yang membacanya. Setidaknya kita sendiri sebagai penulisnya. 

Keempat, tentukan target kapan kita akan menyelesaikan tulisan. Target menciptakan jam psikologis kita berdetak sekaligus penanda berjalannya proses kreatif penulisan.

Kelima, memenangkan sebuah lomba karya tulis atau sejenisnya tidak selalu baik bagi kesehatan. Menciptakan kebahagiaan saat menulis jauh lebih penting. Diberkatilah ia yang mencetuskan kalimat True champion doesn't necessarily compete.   

Keenam, yakinilah akan ada pembaca lain di luar penulisnya. Mintalah seorang kawan untuk membaca tulisan kita. Dan voila, dua sudah pembaca tulisan tersebut. Atau, ambillah risiko mempermalukan diri dengan membagikan tulisan kita kepada yang lain. Pasti akan ada setidak satu atau dua yang tertarik untuk membacanya meskipun dengan asumsi awalnya: "Coba kita lihat sekonyol apa tulisan ini?" Konyol atau tidak adalah satu hal, namun fakta bahwa ia (atau mereka) membacanya adalah satu hal yang lainnya. Dan bukankah itu membuat tulisan kita dibaca? 

Jadi izinkanlah sedikit kekonyol dalam hidup kita. Toh science saja, ujar Richard Feynman, is the belief in the ignorance of experts. Bila sains yang begitu serius dan menguruskan aspek-aspek dalam kehidupan kita dengan begitu seriusnya ternyata mengandung cita rasa kekonyolan apalagi hanya sebuah tulisan yang tidak seserius itu. Hehehe

Tut Wuri Handayani

Saya merasa tidak terlalu nyaman pada posisi ing ngarso sung tulodho dalam falsafah pendidikan Ki Hadjar, bahkan untuk posisi ing madyo mangun karso pun seringkali harus menakar diri. Barangkali pada posisi tut wuri handayani-lah saya terhitung berbesar nyali. Berkenaan dengan menulis dalam satu kesempatan obrolan di Komunitas Literasi Al-Wahid (KLA) saya memotivasi para anggotanya dengan kata-kata: "Membaca membuat kalian mengenal dunia. 

Sementara menulis membuat kalian dikenal dunia." Atau, dalam kesempatan lainnya, dengan berusaha mengelola wajah agar terbebas dari segala kekonyolan ekspresi, sebagai guru saya berkata: "Jika membaca tak ubahnya mengumpulkan permata, maka menulis serupa merangkainya menjadi sebuah untaian." Inilah dua dari sekian keseriusan langka yang bisa saya ungkapkan dalam bingkai tut wuri handayani.

Pak Dani (begitu, saya kini memanggilnya), Erza, Sayyidah dan Kasyif telah membelakangi saya dalam artian yang positif. Sedikit dorongan membuat langkah-langkah literasi mereka semakin cepat berakselerasi. Bila kemudian saya tergopoh-gopoh dalam mengayun langkah dan bahkan tetinggal jauh. Sungguh ini merupakan salah satu ketertinggalan yang tidak untuk disesali. Mereka serupa benda yang menghilang dari pandangan. Tidak nampak tetapi tetap ada. Sebuah perspektif Dopplerian dalam pengamatan yang tak lain adalah bentuk implementasi dari tut wuri handayani.       

Gigih dalam Belajar Menulis

Dan bila ada yang mendesak dengan pertanyaan: "Lalu apa kiat utama dalam menulis?"

Jawabannya, sederhanya saja: "Menulislah!"

Menulis itu layakna naik sepeda. Bila kita berhenti mengayuh kita akan terjatuh, maka menulis pun begitu. Berhenti mengoreskan pena atau mengetukkan jemari di atas bilah keyboard, maka ide tulisan takkan kunjung beranjak lalu mangkrak. 

Punya ide? Mulailah menulis! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun