Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Tentang) Bahagia

20 Juli 2024   09:03 Diperbarui: 21 Juli 2024   22:22 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by dreamstime.com

"Pertanyaan tersulit yang dihadapi dalam penelitian tentang kesenangan dan kebahagiaan tetaplah sifat dari pengalaman subjektifnya, hubungan komponen hedonis (kesenangan atau afek positif) dengan komponen eudaimonik (penilaian kognitif tentang makna dan kepuasan hidup), dan hubungan masing-masing komponen ini dengan sistem otak yang mendasarinya. Meskipun beberapa kemajuan telah dicapai dalam memahami hedonisme otak, penting untuk tidak menafsirkannya secara berlebihan. Secara khusus, kita masih belum membuat kemajuan substansial untuk memahami neuroanatomi fungsional kebahagiaan," Morten L. Kringelbach dan Kent C. Berridge, The Neuroscience of Happiness and Pleasure

Tahun pelajaran baru sudah berjalan hampir satu pekan. Beberapa sekolah memajukan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) sepekan sebelum tahun pelajaran dimulai tanggal 15 Juli lalu. Sementara SMA Al-Wahid, sekolah di mana saya mengajar, menjadikan MPLS sebagai penanda dimulainya hari bersekolah untuk tahun pelajaran ini. 

Tagar #GuruBahagiaSiswaCeria diusung sekolah demi terciptanya tahun pelajaran yang dipenuhi keceriaan ilmiah dan kebahagiaan bersekolah. 

"Kita tidak dirancang untuk mencari kebahagiaan. Kita ada untuk menciptakan kebahagiaan," ungkap saya dalam salah satu sesi materi MPLS. "Begitu juga halnya dengan keajaiban. Jangan mencari keajaiban berdasarkan konon atau kata orang! Kalian sendiri adalah keajaiban tersebut," tambah saya.

Kata senang, bahagia, ceria, riang dan varian kata lainnya dari kondisi psikis yang umumnya membuat seseorang merasa nyaman setidaknya selalu menjadi perhatin saya. Apalagi dengan adanya Kurikulum Merdeka yang mengusung well-beingness baik pendidik maupun peserta didik, perhatian ke arah ini semakin teramplifikasi. 

Saya sendiri adalah penikmat hidup. Apapun jalan hidup yang ditetapkan oleh Sang Pencipta, maka nikmatilah. Dan rasa syukur adalah nukleusnya.

Sebagai bagian dari dunia persekolahan, saya juga termasuk pengusung aliran sekolah riang. Sementara kepada kolega pendidik, saya sering mendakwahkan adagium bahwa guru adalah seniman. 

"Guru adalah seniman. Di mana mengajar adalah seni, kelas adalah kanvas, dan murid adalah karya," ungkap saya sok bijak. 

Tipe orang seperti saya sebenarnya berbahaya. Sangat mungkin untuk tersesat dalam kebijaksanaan. Namun, ketersesatan ini lebih saya pilih daripada mengingkari keriangan hidup yang disebabkan tidak adanya rasa syukur.

Image by dreamstime.com
Image by dreamstime.com

Keriangan Ilmiah     

Tidak kurang dari 10 tahun lalu. Saat pihak sekolah menemukan genting sekolah di area bawah seringkali diseraki pesawat-pesawat kertas yang diterbangkan anak-anak penghuni kelas lantai atas, saya asumsikan itu sebagai ungkapan keriangan ilmiah dalam berfisika. 

Untuk itu, saya ajukan lomba merancang pesawat kertas untuk diterbangkan dan disaksikan semua warga sekolah. Bila tidak keliru ingat, Kepala Sekolah pun turut menyaksikan atraksi pesawat kertas yang diterbangkan masing-masing perwakilan kelas. 

Gelak tawa diiringi tepukan menciptakan atmosfer riang saat pesawat-pesawat kertas tersebut mendemonstrasikan hukum-hukum fisika dengan segala kenaifannya. Beberapa rancangan pesawat secara terang-terangan menantang hukum fluida dan aerodinamika. 

Apa yang boleh jadi dalam benak perancangnya pesawat akan melakukan atraksi yang akrobatik nahasnya bukan saja 'ambyar' dalam kuasa hukum fisika malah tidak sedikit yang layaknya berkamikaze menghunjam keras ke teras lapangan. Keriangan ilmiah sontak memenuhi langit sekolah sederhana yang bersuasana kampung berudara sejuk tersebut.

Beberapa warga di sekitaran sekolah menganggap apa yang kami lakukan sebagai sebentuk kekonyolan. Beberapa menyebutnya sebagai penodaan atas keagungan citra sekolah. Saya bergeming dalam keyakinan bahwa ini adalah keriangan yang layak untuk anak-anak didik rasakan. 

Galileo Galilei, meskipun kisah percobaan dengan menjatuhkan batu dan kertas dari atas mungkin Menara Pisa merupakan legenda, akan tetapi ia benar-benar melakukan banyak eksperimen di laboratorium dan menggunakan bidang miring untuk memperlambat gerakan benda dan mengukur waktu jatuhnya secara lebih akurat. Eksperimen-eksperimen ini lebih didokumentasikan dengan baik dan memberikan bukti kuat untuk hukum gerak dan gravitasi yang ia rumuskan. 

Atau, Archimedes yang dikatakan telah diminta oleh Raja Hiero II untuk menentukan apakah mahkota raja terbuat dari emas murni atau dicampur dengan perak, tanpa merusak mahkota itu sendiri. 

Ketika Archimedes masuk ke dalam bak mandi dan melihat air meluap, dia menyadari bahwa volume air yang dipindahkan sama dengan volume bagian tubuhnya yang terendam. Ini memberinya cara untuk mengukur volume mahkota dan membandingkan kepadatannya dengan emas murni. Konon, Archimedes berlari setengah telanjang di jalanan Sirakusa sambil berseru "Eureka!" saking girangnya. 

Namun, kembali, meskipun ini adalah salah satu kisah terkenal dalam sejarah sains, sebagaimana banyak anekdot sejarah, kebenaran cerita ini sulit dipastikan karena berasal dari sumber-sumber kuno yang mungkin mengandung elemen legendaris atau dramatisasi. 

Newton juga tidak kalah menariknya, meskipun karakternya dingin dan penyendiri, ia dikisahkan membuat lubang di jendela kamarnya untuk mengamati cahaya adalah benar dan merupakan bagian penting dari eksperimen ilmiahnya dalam bidang optika. 

Kisah eksentrik ini jauh lebih dapat diandalkan dan didokumentasikan dibandingkan dengan anekdot tentang membuat lubang untuk kucing, dan menunjukkan dedikasi Newton pada eksplorasi dan pemahaman fenomena alam melalui eksperimen langsung.  

Menilik kisah ketiga tokoh di atas, keriangan anak-anak didik saya di Al-Wahid jauh lebih bisa diterima bila dibandingkan dengan eksentrisitas ketiga raksasa di dunia sains tersebut. Terlebih, cara anak-anak melakukan selebrasi atas saat pesawat kertas mereka mendarat dengan anggunya setelah melakukan liukan akrobatik jauh lebih aman dari pada kesembronoan Archimedes di Sirakusa.

Antara Keriangan dan 'Ceng-Cengan' Ilmiah

Sekitar akhir era 90an, saya diperkenalkan kepada sebuah buku. Judulnya Thirty Years that Shook Physics, The Story of Quantum Theory yang ditulis oleh fisikawan kelahiran Ukraina, George Gamow. 

Karena fisika adalah 'romansa' ilmiah saya yang tidak kesampaian, bahasa dan budaya kemudian memalingkan darinya, maka hal-hal lucu yang penuh kerianganlah yang saya temukan saat membaca buku tersebut. 

Salah satunya adalah tentang sosok Paul Dirac. Paul Dirac mungkin adalah fisikawan yang paling murni esoteris. Seolah-olah untuk membuktikan pendapat saya, ada beberapa anekdot lucu tentang dia, termasuk yang satu ini: 

"Dirac sedang menonton Anya Kapitza merajut ketika dia berbicara tentang fisika dengan Peter Kapitza. Beberapa jam setelah dia pergi, Dirac bergegas kembali, sangat bersemangat. 'Kamu tahu, Anya,' katanya, 'melihat caramu membuat sweter ini, aku jadi tertarik pada aspek topologi dari masalah ini. Saya menemukan bahwa ada cara lain untuk melakukannya dan hanya ada dua cara yang mungkin. Salah satunya adalah yang Anda gunakan; yang lain seperti itu... ' Dan dia mendemonstrasikan cara lain, dengan menggunakan jari-jarinya yang panjang. "Cara lain" yang baru ditemukannya, Anya memberitahukan kepadanya, sangat dikenal oleh para wanita dan tidak lain adalah purling."

Jahitan purl, menurut Anastasia dalam For the Knit of It, pada dasarnya adalah jahitan rajut terbalik. Jika Anda melihat gambar di atas, setiap jahitan rajut tampak seperti huruf "V" kecil. Di sisi lain, terdapat jahitan purl. Setiap jahitan purl tampak seperti tonjolan kecil horizontal. 

Secara keseluruhan, kelucuan berasal dari situasi di mana seorang Dirac dengan kejeniusan yang luar biasa menerapkan pemikiran ilmiah yang rumit pada sesuatu yang sudah dikenal secara luas dalam kehidupan sehari-hari, serta dari ketidakmampuan untuk melihat bahwa "penemuan" ini bukanlah hal baru. Akan tetapi keriangan ilmiah seorang Diraclah yang luar biasa. Ia rela kembali hanya untuk berteori meski istri koleganya kemudian menyadarkannya bahwa teori tersebut sudah populer di kalangan ibu-ibu. Hehehe     

Satu lagi tentang Dirac. "Sebagai seorang fisikawan teoretis yang hebat, Paul Dirac lebih suka berteori tentang semua masalah dalam kehidupan sehari-hari daripada mencari solusi melalui eksperimen langsung," kenang George Gamow dalam Thirty Years that Shook Physics. 

Dalam sebuah pesta di Kopenhagen, dia mengajukan sebuah teori yang menyatakan bahwa harus ada jarak tertentu di mana wajah seorang wanita terlihat paling baik. 

Dia berpendapat bahwa pada d = tak terhingga, seseorang tidak dapat melihat apa pun, sedangkan pada d = 0, bentuk oval wajah si wanita berubah bentuk karena jarak pandang mata manusia yang kecil, dan banyak ketidaksempurnaan lainnya (seperti kerutan kecil) yang menjadi berlebihan. Dengan demikian, ada jarak optimum tertentu di mana wajah seorang wanita terlihat paling baik. 

"Katakan padaku, Paul, seberapa dekat kamu pernah melihat wajah seorang wanita?" tanya Gamow. "Oh," jawab Dirac, sambil merentangkan kedua telapak tangannya sejauh dua kaki (0,6 meter), "kira-kira sedekat itu."

Dirac, yang dikenal sangat irit dalam berbicara hanya 'ya', 'tidak', dan 'tidak tahu', memiliki keriangan ilmiah yang luar biasa ternyata. Padahal ia cukup mengatakan bahwa seorang wanita terlihat optimal kecantikannya pada jarak kurang dari 1 meter. 

Ceng-cengan ilmiah juga tidak kalah mengundang senyum. Salah satunya saya ambil dari kisah pertemuan Abdus Salam dan Albert Einstein. Pada bulan Oktober 1951, menurut Gordon Fraser dalam The men who knew infinities, jurnal Reviews of Modern Physics memuat artikel 'The Renormalization of Meson Theories' oleh Paul Matthews dan Abdus Salam. Sketsa kasar yang digambar tangan yang mewakili perilaku partikel kuantum menunjukkan kepentingan ilmiahnya. 

Suhail Yusuf dalam Salam – The forgotten genius menyebutkan bahwa Abdus Salam diangkat sebagai fellow di Institute of Advanced Study, Princeton University, Amerika Serikat pada tahun 1951, di mana ia menghadiri kuliah dari Albert Einstein.

Suatu hari, ketika Prof Salam sedang belajar di Princeton, New Jersey, ia bertemu dengan Prof Einstein secara kebetulan di kampus Institute for Advanced Study. 

Einstein bertanya kepadanya, "penelitian apa yang sedang Anda lakukan?" Salam menjawab, "saya sedang mengerjakan teori renormalisasi," dan Einstein menjawab, "saya tidak tertarik dengan hal itu. 

Setelah beberapa saat hening, Einstein bertanya kepada orang Pakistan itu, "apakah Anda telah mempelajari Teori Relativitas saya?" Salam menjawab, "Saya tidak tertarik dengan hal itu."

Meskipun beberapa pihak meragukan 'ceng-cengan' ini benar-benar terjadi, namun tentu akan mengundang senyum saat dua fisikawan besar ini barter 'ledekan'.

Kebahagiaan layak untuk kita miliki. Carpe felicitatem!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun