Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Reva

12 Juli 2024   15:13 Diperbarui: 13 Juli 2024   06:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal lainnya yang seringkali orang tua lakukan, dan itu salah, lalu kemudian orang tua sendiri yang kelimpungan. Contoh kecilnya begini. "Awas ada hantu," kata seorang ibu dengan maksud agar anak kecilnya tidak masuk ke kamar. Atau, "Nanti Ayah bawa ke dokter untuk disuntik," ancam seorang ayah saat si anak hujan-hujanan, dan lebih banyak lagi varian ancaman lainnya. Akhirnya anak jadi takut sama hantu. Anak jadi takut kalau dibawa ke dokter.  Buah dari ancaman yang kemudian berbalik menjadi keribetan sendiri bagi para pengancamnya.

Saya sangat senang saat Reva membully hantu dengan kata-katanya, "Hantu, hantu ayo makan aku!" atau sebaliknya saat melihat ada gunting di meja kecil yang mana ia akan lewat di depannya, ia berkata kepada ibunya, "Ibu pindahin guntingnya, Reva mau lewat!" Tentu saja semua ungkapan di atas diucapkan dengan segala kekentalan aksen bocilnya. Dibesarkan dengan penuh ketakutan dan ancaman tidak bagus bagi siapapun. Terlebih lagi anak kecil. Penjelasan sedikit ilmiah dan logis dari orang tua akan melatih nalar kritis dan kreativitas anak. Dan itu sangat bagus bagi anak.

Parenting sangat strategis dalam menumbuhkembangkan potensi anak. Seseorang sangat ditentukan oleh suasana nurturalnya. Meskipun, selalu ada pengecualian, penumbuhkembangan anak yang salah akan berakibat tidak baik, bahkan fatal. Setidaknya penyesalan di ujung sana menanti.

"Kesalahanmu sebagai anak adalah kegagalanku sebagai ayah," ratap Marcus Aurelius sambil bersimbah air mata di hadapan Commodus - putranya yang kemudian membunuh Marcus Aurelius dengan berpura-pura mendekapnya begitu erat hingga sang ayah kehabisan nafas. Kata-kata sekaligus adegan ini ditampilkan secara dramatis dalam film Gladiator (2000).  Sebuah ungkapan getir dari kisah tragis di "ujung sana" yang saya maksudkan tadi. 

Amatan saya lainnya yang menggelikan adalah saat mendengar Reva menyanyikan lagu anak-anak berbahasa Inggris, The Family Finger.  "Bade fengge...bade fengge...weyayu...yiyayem yiyayem...bade fengge...," dendangnya sepenuh hati. Sepupunya, sekaligus anak saya yang paling besar, mengkonfirmasi potongan lirik tadi sebagai brother finger, brother finger, where are you, here I am, here I am, brother finger. "Seharusnya bagian akhirnya adalah How do you do," tambah si sulung. 

Di antara tawa dan gemas karena lucunya pelafalan tadi, saya pikir boleh jadi sebenarnya dalam benak bocil ini lirik-lirik lagu tersebut sama persis dengan pelafalan yang seharusnya. Hanya saja, kemampuan artikulatifnya belum memungkinkan untuk mengungkapkannya secara fasih. Satu lagi yang saya pelajari dari Reva, ia tidak mengenal rasa takut dianggap tidak cakap, tidak fasih, dan sejumlah tidak lainnya. Dengan tanpa beban ia belajar. Reva adalah pembelajar sejati yang tidak peduli dengan segala rekognisi. Ia belajar karena ia merasa bahagia dengan pembelajarannya.  

Benarlah kata-kata bahwa anak adalah pembelajar yang sukses. Mereka tidak mengenal takut gagal. Mereka tidak pernah malu untuk mencoba. Mereka adalah makhluk yang merdeka. Namun, saat membesar kemerdekaan semakin berkurang. Takut gagal dan takut salah menjadikan mereka makhluk yang mudah tertekan keadaan. 

Sejak kita terlahir di atas sebuah fitrah, dan fitrah itu adalah kemerdekaan, maka seharusnya fitrah itu tetap ada hingga kita kembali menghadap kepada Sang Pemberi Kehidupan, Tuhan Pencipta kita. Untuk itu, dalam bahasa Arab, merdeka disebut juga  istaqalla yang berarti menjadi sedikit atau menyedikit. Filosofinya, kemerdekaan hanya akan diraih oleh mereka yang semakin sedikit dalam ketergantungannya. 

Bukankah bagi seorang anak - terutama seusia Reva dan di bawahnya - tidak ada yang lebih penting dan dibutuhkan lebih dari pada sesosok ibu? Inilah ekspresi alami dari konsep ketauhidan dalam bentuk yang paling primitif. Bila saat bayi kita 'hanya' bergantung kepada umm (ibu) maka ketika nanti waktu berpulang  pun tiba hanya kepada Rabb (Tuhan)-lah kita bergantung . Kehidupan ini ternyata ada di antara dua singularitas yang meniscayakan kita sebagai makhluk bertauhid. 

Reva - dengan wajah yang penuh gagasan usilnya - mengajarkan banyak hal, ternyata.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun