Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Reva

12 Juli 2024   15:13 Diperbarui: 13 Juli 2024   06:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reva Nur Humaira, keponakan saya yang September nanti genap berusia tiga tahun, selalu menjadi pusat perhatian dan keceriaan. Dalam lingkaran kecil keluarga saya dari pihak istri tepatnya. 

Saya sendiri memiliki kedekatan emosional yang relatif khusus. Boleh jadi karena ada fase di mana Reva tidak jarang terlelap dalam pangkuan selepas dininabobokan saya sebagai uaknya. Maaf, KBBI memberikan penyebutan standar untuk  "uwak" alias kakak dari ayah atau ibu. Reva dengan mudahnya terlelap saat dininaboboi dengan  Thaalamaa Asykuu Gharami, sebuah kasidah berbahasa Arab yang berisi ungkapan kerinduan kepada Nabi Muhammad saw.   

Memperhatikan perkembangannya dari waktu ke waktu tak ubahnya seperti menyaksikan sebuah keajaiban hidup. Kepingan-kepingan pengetahuan yang awalnya terserak baik dari bacaan, simakan ataupun renungan selama saya bertambah dalam hitungan angka usia - sekaligus ironisnya berkurang dalam hitungan jatah umur - terkonfirmasi dalam fase-fase pertumbuhannya. Persis saat kedua anak-anak saya tumbuh. 

Bagaimana saraf sensorik dan motorik kita beraksi, bagaimana kita belajar berbahasa, bagaimana kita berekspresi bahkan bagaimana kita menjadi kita yang unik saya amati dalam pertumbuhan keponakan saya yang satu ini. Sebagai uak yang suka mengategorikan diri sebagai life oberserver tentu terlalu menarik untuk membiarkan begitu saja rangkaian keajaiban hidup terpanggungkan di depan mata.

Saya punya pengalaman menarik saat menempuh perjalanan ke sebuah kota. Dalam bis yang terhitung sesak penumpang, seorang ibu begitu panik karena anaknya terus menangis dan sulit untuk ditenangkan. Sebagai salah satu upaya, si ibu berdiri menimang anaknya sambil berkata, "Tuh, Nak ada kuda," mencoba mengalihkan perhatian anaknya. 

Malangnya bis berjalan lumayan cepat sehingga saat si anak mengkonfirmasi keberadaan kuda, kuda pun keburu terlewat bis. Ada banyak hal yang bisa dilihat si anak tentunya. Tapi jelas kuda tidak termasuk yang dilihanya. Didera rasa kecewa yang baru, tangisan pun kembali pecah. Saya - dan saya yakin sebagian penumpang lainnya - pun terjebak dalam awkward moment. Terhimpit rasa iba dan sensasi geli. Tentu tidak ada yang memilih tertawa. Menunduk atau pura-pura menerawang ke luar jendela merupakan alternatif terbaiknya.

Saat Reva rewel atau merajuk, sebelum ayah dan ibunya ambil kendali, saya menghindari pengalaman saat di bis sebagaimana diceritakan di atas. Saya memilih untuk berkomunikasi secara faktual dan terukur. Saya tidak ingin mengamplifikasi tangisannya. Meskipun bila kita berurusan dengan anak seusia Reva, kita perlu punya lebih dari satu skema untuk situasi apapun. Sebab, bahkan sekelas orang 'alim 'allamah pun kegagalan skema komunikasi saat berhubungan dengan anak kecil ternyata lumrah terjadi.

Konon, saat Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad masih kecil, beliau merajuk. Ayahanda beliau, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, mencoba menghiburnya dengan menunjuk ke salah satu bintang di langit yang cerah. "Lihat, Mahmud, bintang itu begitu indah!"

Berhenti dari tangisnya Mahmud kecil mengikuti arah telunjuk sang ayah lalu berujar, "Aku ingin pergi ke sana, Ayah." Sontak sang ayah pun kebingungan menjawabnya. Teori astronomi dan perangkat keilmuan sains apapun belum memadai untuk dijadikan penjelasan kepada Mahmud kecil. Memang, seringkali terjadi penjelasan ilmiah kalah telak oleh sekeping permen cokelat. Alhasil kegagalan sang ayah pun membuat Mahmud kecil kembali menangis. Hehehe

Kedua sosok yang saya sadur secara bebas kisah asuhannya di atas adalah dua sosok istimewa dalam silsilah dan sejarah Jemaah Muslim Ahmadiyah.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun