Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rekayasa Sosial dan Parasosial, Sebuah Rendezvouz

10 Juli 2024   19:47 Diperbarui: 10 Juli 2024   20:05 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara sederhana rekayasa sosial adalah upaya meretas kesadaran manusia. Layaknya sebuah sistem yang bisa diretas oleh para hacker, manusia pun tidak kebal dari upaya pembobolan ini. Perbuatan sederhana memancing pembicaraan dengan seseorang adalah bentuk peretasan paling primitif sekaligus paling tua dalam sejarah manusia. Dalam konteks positifnya retas-meretas ini kemudian kita sederhana kita sebuat sebagai basa-basi yang menjadikan manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial).

 Sementara dalam konteks negatifnya kita mengenalnya dengan istilah social engineering (rekayasa sosial).

Salah satu film paling mudah dipahami berkenaan dengan praktik rekayasa sosial adalah Who Am I. Sebuah film berbahasa Jerman dengan genre techno-thriller yang disutradarai Baran bo Odar pada tahun 2024.  Judul lain dari film ini adalah Kein System ist sicher (Tidak ada sistem yang aman). 

Benjamin Engel (Tom Schilling), saya kutip dari sinopsis yang diturunkan Internet Movie Database (IMDb), terbiasa untuk 'tidak terlihat', bukan siapa-siapa. Hal ini berubah secara tiba-tiba saat ia bertemu dengan Max (Elyas M'Barek) yang karismatik. Meskipun dari luar mereka terlihat sangat berbeda, namun mereka memiliki ketertarikan yang sama: peretasan. Bersama teman-teman Max, Stephan yang impulsif (Wotan Wilke Mohring) dan Paul yang paranoid (Antoine Monot), mereka membentuk kelompok peretas subyektif CLAY (Clowns Laughing @ You). CLAY memprovokasi dengan kampanye yang menyenangkan dan berbicara untuk seluruh generasi. 

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Benjamin menjadi bagian dari sesuatu dan bahkan Marie (Hannah Herzsprung) wanita yang ia cintai secara diam-diam saat sekolah dulu pun memperhatikannya. Namun, kesenangan berubah menjadi bahaya yang mematikan ketika CLAY muncul dalam daftar BKA (Bundeskriminalamt, Kantor Polisi Kriminal Federal) dan juga daftar orang yang paling dicari oleh Europol. Diburu oleh penyelidik Cybercrime Hanne Lindberg (Trine Dyrholm), Benjamin bukan lagi bukan siapa-siapa, melainkan salah satu peretas yang paling dicari di dunia.

Benjamin Engel, turun Goethe Institute dalam Who Am I – Kein System ist sicher, bersikukuh menceritakan kisah hidupnya kepada Lindberg. Dia menceritakan dengan sangat rinci: masa kecilnya yang sulit, ibunya, yang menderita gangguan kepribadian ganda dan bunuh diri saat dia berusia delapan tahun. Neneknya yang merawatnya, namun kini demensia yang dideritanya semakin parah sehingga ia harus masuk panti jompo. Demensia yang dideritanya berkembang sedemikian rupa sehingga ia harus masuk ke panti jompo. Lindberg tidak sabar. 

Dia tidak tertarik dengan trauma masa kecilnya. Tanpa disadari oleh sang penyidik, ternyata Engel tengah meretas pikiran penyidiknya, Lindberg. Engel meretas Lindberg untuk yakin bila Benjamin Engel adalah pengidap skizofrenia akut yang semua ceritanya adalah ilusi. Bahwa teman-teman Engel tidak pernah dibunuh oleh gangster asal Rusia, bahkan mereka tidak pernah ada. 

Faktanya kesemua dari disebutkan oleh Engel adalah sisi lain dari dirinya. Semuanya tidak pernah ada, Benjamin Engel seoranglah pelakunya. Dan itupun dilakukan oleh seorang dengan gangguan kejiwaan yang tidak bisa dijerat hukum. Kabar buruknya, tersangka dengan gangguan jiwa tidak bisa mendapatkan jaminan perlindungan. Engel harus melindungi dirinya sendiri. Ia harus menghilang sepenuhnya.     

Di akhir film kepada kita diperlihatkan Benjamin sedang melakukan perjalanan dengan kapal menuju masa depan yang baru - lalu Max, Stephan, Paul, dan bahkan Marie muncul di sisinya. Sekali lagi, bagian dari cerita ini diceritakan kembali, sekarang oleh Benjamin: Max, Paul dan Stephan tidak dibunuh di kamar hotel, mereka masih hidup dan menunggu Benjamin yang melakukan pekerjaan di Europol sendirian. Karena identitas Benjamin diketahui oleh mafia siber, mereka semua dalam bahaya dan membutuhkan rencana untuk menjadi anonim lagi. lagi. Dan rencana mereka adalah kudeta rekayasa sosial besar-besaran terhadap Hanne Lindberg, yang karir dan perkembangannya telah mereka ikuti. Tidak ada sistem yang tidak dapat diretas, bahkan termasuk Hanne Lindberg. Engel harus meyakinkan Lindberg bahwa CLAY tidak pernah ada. Hal ini secara otomatis menghapus Max, Paul dan Stephan dari dari daftar buronan. Dan pad akhirnya Benjamin Engel pun harus melarikan diri dengan identitas baru. Ia menghapus sama sekali identitas dirinya dari sistem. "Cerita mana yang benar - apakah Benjamin Engel memiliki kepribadian ganda atau seorang perekayasa sosial yang sangat handal? Film ini menyerahkannya pada penonton di akhir cerita," ulas Goethe Institute. 

Sejak menonton film Who Am I, selama beberapa waktu terma rekayasa sosial terus menggoda. Simpulan awam saya membawa kepada persepsi bahwa ternyata manusia sama saja dengan sistem lainnya dapat diretas. Kine System is sicher, tidak ada sistem yang aman, bila meminjam tagline film tersebut.

Parasosial

Tidak kurang dari satu tahun belakangan, algoritma YouTube mengenalkan saya pada seniman jalanan, khususnya kereta bawah tanah New York, Devon Rodriguez. Setelah coba-coba mencari Kompasianer yang membincang pesohor TikTok ini, ternyata ada Kompasianer Efa Butar Butar yang menulis 5 Alasan Menyukai Devon Rodriguez, Kreator Konten yang Berkarya di Atas Subway. Dengan manis Efa mendeskripsikan aksi Rodriguez dengan kata-kata: 

Tangan laki-laki itu terus bergerak. Di jemarinya, ia menggenggam pensil, sedang telapak tangannya sibuk menekan kertas canvas agar tak berpindah tempat. Sesekali matanya melirik ke depan, memperhatikan target yang sudah dikunci dari awal. Sampai akhirnya nanti, coretan di kertas canvas akhirnya diberikan pada target. Katanya, I love your shirt, I love your tattoos, I love your hair, I love your dog. Macam-macam. Yang jelas, ia selalu melihat sesuatu untuk dicintai dari sang target.

Saya sendiri dengan mudah bisa menyukai apa yang Rodriguez lakukan. Sangat hangat untuk ukuran atmosfer stasiun bawah tanah New York yang dingin dan individualis.

Yang menarik adalah, konten Devon diracik dengan sangat manis dalam durasi yang singkat. Namun meski singkat, kita bisa menangkap sejuta bahagia di sana. Ada yang tak bisa berkata-kata, ada yang ternganga memandangi lukisan dirinya, ada yang menahan diri untuk tak histeris, ada yang merangkulnya bahagia, ada pula yang tak kuasa menahan derai air mata, tambah Efa pada bagian akhir tulisannya.

Akan tetapi tidak semua orang sesederhana Efa dan saya dalam mempersepsi konten seniman TikTok dengan jumlah pengikut yang fantastis ini. Ben Davis salah satunya. Dalam kritiknya, ia menulis review dengan judul TikTok Star Devon Rodriguez Is Now the Most Famous Artist in the World. But What About His Work? Davis membuka dengan sebuah paragraf yang bernada kecut:

Devon Rodriguez hampir pasti merupakan artis paling terkenal di dunia, setidaknya pada satu tingkat. Hampir tidak ada seorang pun yang saya kenal yang pernah mendengar tentang dia. Kecuali jika Anda mengatakan: "Dia adalah pelukis yang menggambar orang-orang di kereta bawah tanah, dari TikTok." Lalu baru terkadang mereka akan menyadarinya.

Padahal menurut Davis sendiri, tidak kurang dari bos UTA Artist Space, Arthur Lewis, dalam sebuah pernyataan untuk pertunjukan yang berjudul "Deeper Underground,"mengungkapkan kata-kata bernada puitis tentang visi Rodriguez: "Di tangannya, satu sapuan kuas menjadi sebuah orkestra, tarian, percakapan pedih yang dibekukan dalam pigmen. Kreasi Devon membawa kita ke dunia di mana warna-warna saling bercakap-cakap, bayangan berbisik, dan emosi melampaui batas-batas dua dimensi. Karya seninya mewujudkan esensi dari apa yang dimaksud dengan menjadi manusia-mengamati, menafsirkan, dan berbagi." 

"Ya, dia adalah seorang pelukis teknis yang luar biasa-ada alasan mengapa karya seninya akan menonjol bagi seseorang seperti John Ahearn. Tetapi bahkan menurut standar hype siaran pers, Lewis menjualnya secara berlebihan. Sapuan kuasnya sangat tidak ekspresif, bukan 'percakapan pedih yang dibekukan dalam pigmen.' Mengenai warna, lukisan-lukisan ini terutama terlihat seakan-akan Rodriguez berusaha sedekat mungkin dengan referensi fotografis.

Subjek Rodriguez memiliki kesedihan: para penumpang kereta bawah tanah yang tersesat di dunianya sendiri. Tapi ini juga agak konvensional. Rodriguez terinspirasi oleh, antara lain, gurunya di Sekolah Tinggi Seni dan Desain, pelukis James Harrington, yang menambang subjek yang sangat mirip dengan cara yang sedikit lebih mirip pelukis," komentar Davis.

Pada akhir ulasannya, Ben Davis membuat simpulan yang kritis menohok:

"Sebenarnya, sebagai panutan, Rodriguez lebih mudah diterima oleh para pelukis muda yang berada di bawah apa yang disebut Karen Patel sebagai 'dorongan untuk eksis,' yaitu untuk terhubung dengan audiens sebagai selebritas mikro yang dapat dihubungkan, di samping mempertahankan praktik seni. Kasus Devon Rodriguez adalah bukti lebih lanjut dari pergeseran penekanan dari mengonsumsi seni sebagai konten, menjadi mengonsumsi seniman sebagai konten.

Dan kita harus memahami kata 'mengkonsumsi' di sini dalam kedua pengertiannya. Seni yang muncul pertama kali melalui konteks media sosial, dengan trennya yang sangat tinggi, akan mengalami penurunan minat dengan cepat jika tidak memperdalam pemirsanya secara bermakna di luar tipu muslihat apa pun yang memicu algoritme. Pada tahun 2023, Rodriguez pada dasarnya berlomba untuk mengembangkan audiens dengan minat yang lebih dari sekadar ketertarikan dangkal terhadap lukisannya yang sebenarnya lebih cepat daripada kehadirannya di media sosial yang terkuras habis karena eksploitasi yang berlebihan.

Saya tidak sepenuhnya yakin, berdasarkan 'Underground,' bahwa ini adalah masalah yang sepenuhnya terselesaikan-tetapi ini adalah masalah yang lebih besar daripada dirinya, dan saya mendukung siapa pun yang mencoba menyelesaikannya."

Sontak pernyataan Davis pun menuai badai serangan dari fans fanatik Rodriguez sebagaimana ia ungkapkan dalam The World's Most Popular Painter Sent His Followers After Me Because He Didn't Like a Review of His Work. Here's What I Learned.

"Pada hari Sabtu pagi, saya terbangun dengan gelombang kemarahan dari Rodriguez di Instagram, yang menandai saya di sejumlah postingan. Ratusan pengikutnya ikut menyerang, menyerbu Instagram saya: pecundang, pembenci, menyedihkan, iri, kamu brengsek, dan seterusnya dan seterusnya. Ada banyak variasi kreatif dari kata 'bunuh diri'. Yang lainnya mengatakan bahwa mereka akan membuat saya dipecat, atau mengatakan hal-hal seperti, 'kami akan memulai kampanye pemboikotan terhadap kamu.' Sebagian besar orang mengira bahwa yang membela Rodriguez bermaksud menyebut saya botak, jelek, gendut, atau apa pun yang mereka pikir bisa membuat saya tersinggung. 

Sebagian besar tampaknya tidak membaca artikel saya. Satu kelompok lainnya menyerang istri saya. 'Beberapa wanita akan melakukan apa saja demi uang,' komentar salah satu peserta. Komentar yang satu itu lucu, sebenarnya," tulis Davis.

Sementara itu, Davis juga menerima email yang mendesak dari UTA Artist Space: "Devon (yang kami wakili) maupun UTA tidak diberi kesempatan untuk menanggapi artikel yang sangat negatif dan berat sebelah ini." 

"Saya membalas bahwa saya belum pernah mendengar ada artis yang meminta untuk mengomentari ulasan sebelumnya, tetapi jika Rodriguez atau UTA ingin menulis tanggapan, kami akan mempublikasikannya. Ini bukan pertama kalinya seorang artis marah kepada saya-hanya saja ini adalah pertama kalinya seorang artis dengan jenis ketenaran seperti ini berusaha keras untuk membuat para penggemarnya marah dengan cara seperti ini. Tentu saja, hal ini bukan hal terburuk atau terpenting yang terjadi di dunia. Namun demikian, saya rasa hal ini menimbulkan beberapa masalah yang lebih besar yang perlu dipikirkan," lanjutnya.

Ini sebuah respon lazim diperlihatkan oleh para penggemar apabila idoalnya 'diserang'. Sebagian besar penggemar Rodriguez, menurut Davis, lebih tertarik pada persona media sosialnya yang memikat, dan bukan pada karya seninya yang sesungguhnya. Jika memang demikian, maka masuk akal untuk berpikir bahwa hal ini mengubah cara pandang terhadap kritik. Para pengikutnya merasa bahwa ia menyerang orang yang mereka sukai, bukan menilai karya seni atau menganalisis fenomena media. Hematnya hal itu menjelaskan karakter reaksinya, yang memiliki tingkat kemarahan pribadi yang sama sekali tidak sesuai dengan apa yang ia tulis dalam artikelnya.

Fenomena inilah yang akhir-akhir ini ramai dibincang sebagai parasocial relationship (hubungan parasosial) di media, yaitu persahabatan imajiner dan sepihak yang dibangun oleh orang-orang dengan para selebriti dan influencer di kepala mereka. Menurut Davis, gelar Devon Rodriguez sebagai "pelukis paling populer di dunia" menunjukkan betapa kuatnya kekuatan budaya dari "estetika parasosial" - mungkin lebih kuat (atau setidaknya lebih mudah diakses) dibandingkan dengan ketertarikan pada cat di atas kanvas. Dan untuk itu, dari sekian hujatan dan cacian yang terungkap bahwa reaksi dari para pengikut Devon Rodriguez menunjukkan mengapa mengembangkan analisis kritis tentang "estetika parasosial" itu penting.

Media Sosial: Rendezvouz Rekayasa Sosial dan Parasosial

Dari dua bincangan di atas, kita dapat mengambil simpulan bahwa rekayasa sosial adalah proses yang dilakukan untuk memengaruhi perilaku sosial individu atau kelompok dengan menggunakan teknik manipulasi psikologis atau sosial. Ini sering dilakukan melalui media massa, kebijakan publik, dan kampanye sosial untuk mencapai tujuan tertentu, seperti perubahan perilaku atau persepsi masyarakat.

Sementara fenomena parasosial adalah hubungan satu arah yang berkembang antara individu (biasanya penonton atau penggemar) dengan tokoh media (seperti selebriti, influencer, atau karakter fiktif). Dalam hubungan parasosial, individu merasa seolah-olah memiliki hubungan pribadi dengan tokoh tersebut meskipun tidak ada interaksi langsung.

Keduanya dapat dihubungkan dengan cara penggunaan media, khususnya media sosial. Media sosial atau barangkali dulu umumnya media massa sering memfasilitasi fenomena parasosial dengan menampilkan tokoh-tokoh yang menarik dan dapat diidolakan. Melalui hubungan parasosial ini, rekayasa sosial dapat terjadi karena individu lebih mudah terpengaruh oleh tokoh-tokoh yang mereka kagumi atau percayai, sehingga memungkinkan penyebaran pesan dan nilai-nilai tertentu secara efektif.

Saya tidak sepenuhnya bisa mengamini kritik dari Ben Davis sebagaimana saya juga tidak bisa mengingkari sepenuhnya kebaikan Devon Rodriguez. Atau, bila kembali kepada Benjamin Engel, apakah dia sepenuhnya genius dalam rekayasa sosial ataukah murni seorang skizofrenik yang sekaligus genius? Kata-kata yang konon diucapkan Marcus Aurelius terlintas dalam benak: "Everything we hear is an opinion, not a fact. Everything we see is a perspective, not the truth."  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun