Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi atas Pagi Berpuasa di Hari Raya Idul Adha

17 Juni 2024   06:49 Diperbarui: 17 Juni 2024   08:57 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdapat perbedaan kecil tetapi distingtif antara pagi jelang salat Idulfitri dan Iduladha. Ya, kaum muslimin disunahkan berbuka dengan seteguk air atau secuil makanan sebelum keluar rumah untuk menunaikan shalat sunah Id pada hari raya Idulfitri. Kebalikannya, kaum muslimin disunahkan berpuasa sebelum menunaikan salat Iduladha untuk kemudian berbuka setelahnya. Sebelum pergi ke masjid, dan ditemani lantunan takbir, saya coba untuk membincang sedikit tentang perbedaan tersebut. 

Hari Raya Idulfitri dilaksanakan setelah kaum muslimin sebulan penuh berpuasa di bulan Ramadan. Dengan kata lain, Idulfitri merupakan simbol berakhirnya masa satu bulan berpuasa yang ditetapkan bagi kaum muslimin. Jadi, secara bahasa Idulfitri bisa diartikan sebagai Hari Raya Berbuka Puasa. Untuk itu, kaum muslimin diwajibkan (dalam arti sunah yang dikuatkan) untuk tidak lagi dalam keadaan berpuasa di pagi hari hingga sore harinya. 

Sementara Hari Raya Iduladha merupakan hari raya yang bertepatan dengan puncak pelaksanaan Ibadah Haji, 10 Zulhijah yang ditandai dengan ritual jumrah (lempar batu) dan pemotongan hewan kurban di Mina. Untuk itu pula mengapa  di Nusantara Iduladha lazim disebut dengan Lebaran Haji. 

Sunah berpuasa sepanjang pagi hingga berakhirnya salat Id memiliki filosofi reflektif atas imsak (berhentinya) Nabi Ibrahim as rasa memiliki Ismail - putra terkasih dan dinanti-nantikannya sekian lama - untuk dipersembahkan sebagai kurban demi Kekasih Tertingginya, Allah. Jauh sebelum peristiwa bersejarah tersebut, tanpa disadari oleh Nabi Ibrahim as, beliau sebenarnya telah menggenapi mimpi yang diterimanya berupa pengasingan bayi Ismail bersama ibundanya, Hajar di padang gersang Mekah. 

Dua wujud yang secara kasatmata rapuh ditinggalkan di sebuah lembah yang tak berkehidupan tak ayal lagi serupa menyerahkan keduanya kepada maut. Refleksi atas peristiwa inilah, kaum muslimin disunahkan berpuasa dan - bagi mereka yang mampu - menyempurnakannya dengan melakukan pemotongan hewan kurban. 

Salah satu karakter agama Islam adalah tidak pernah memerintahkan pemeluknya untuk melaksanakan satu bentuk ibadah yang hanya sebatas ritual tanpa makna. Selalu ada hikmah dalam setiap bentuk ibadah yang dilaksanakannya. Sekecil apapun itu. Termasuk berpuasa atau berbuka sebelum pelaksanaan salat sunah Id. 

Gema takbir yang berkumandang sejak tadi malam laksana iringan orkestrasi atas drama agung yang diperankan tiga wujud agung: Ibrahim, Ismail dan Hajar:

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, laa ilaaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil-hamdu     

Sungguh Dia, Allah Yang Mahabesar, tidak ada tuhan selain Allah, Dialah Allah Yang Mahabesar yang hanya bagi-Nya semata segala puji terpanjat. 

Kebesaran Tuhan terbukti dengan kemegahan Mekah kini, yang lebih dari 5000 tahun setelah peristiwa pengasingan Ismail dan Hajar, telah menjadi kota yang tidak pernah berhenti dikunjungi tamu - bahkan sedetikpun. Berbanding terbalik dengan padang tandus Mekah lima melinea sebelumnya - yang saking begitu jarangnya dikunjungi manusia hingga hanya mautlah yang menyambanginya. Kebesaran Tuhanlah yang telah membesarkan kota Mekah yang tahun Haji ini menurut satu sumber menjadi tuan rumah bagi tidak kurang empat juta peziarah.    

Tanpa terasa, lima belas menit lagi salat Id akan dimulai. Saya hentikan dulu di sini untuk saya sambung selepas salat Id, ya.

Alhamdulillah, salat dan khutbah Id sudah diikuti dengan khidmat. Tentu saja ritual salaman untuk saling mengucapkan selamat Hari Raya Iduladha pun telah diikuti. Kita lanjut sedikit lagi refleksi pagi Iduladha ini.

Ketiadaan Tuhan kecuali Allah satu-satunya mengimplikasikan bahwa Dia dengan segala skema-Nya yang dirancang untuk Nabi Ibrahim akan menjaga setiap detail manifestasinya. Bayangkan, dari dua wujud yang diasingkan - yang darinya nama Paran, kawasan yang kemudian kita kenal sebagai Mekah berasal, yakni farrani, yang artinya dua orang yang melarikan diri - lahir sosok nabi yang paling agung, Nabi Muhammad saw. Nabi yang berasal dari keturunan Nabi Ismail ini kemudian melalui syari'at yang dibawanya mengabadikan peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim as berupa ibadah Haji dan pengorbanan hewan. Bukan hanya itu, Nabi dari keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim (alaihimas-salam) ini bahkan memuliakan reputasi keturunan Nabi Ibrahim as dari jalur putra beliau Ishak as. 

Bila Tuhan lebih dari satu, dan na'udzibillah berbagi kedaulatan dengan dengan tuhan selain-Nya, maka skema-Nya bukan hanya tidak akan seagung itu bahkan dipastikan penuh kerancuan dan kekacauan. Inilah kandungan yang tersirat dalam gema  Laa ilaaha illallahu Allahu Akbar. 

Kini kita tiba pada bagian akhir dari kalimah takbir: Allahu Akbar walillahil-hamdu. Melalui renungan kontemplatif dan reflektif berkenaan dengan makna Iduladha, kita sampai pada moment epifanik yang memaksa kalbu dan pikiran untuk secara esoterik bergumam walillahil-hamdu - maka hanya bagi Engkaulah segala puji, ya Allah.          

Inilah refleksi atas pagi berpuasa di Hari Raya Idul Adha tahun ini.

Eid Mubarak untuk kita semua!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun