Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meniru Sistem Pendidikan Finlandia, Bisakah (Atau Tepatnya, Berniat-Sungguhkah) Kita?

16 Juni 2024   13:32 Diperbarui: 16 Juni 2024   14:20 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Indonesian kids don’t know how stupid they are," tulis Elizabeth Pisani nyaris 11 tahun lalu di laman Indonesia etc. Epidemiolog Inggris-Amerika sekaligus penulis buku Exploring the Improbable Nation ini memberikan ilustrasi berikut:

Empat mobil memiliki kapasitas mesin yang berbeda:

Alpha: 1.79
Bolte: 1,796
Castel: 1,82
Dezal: 1,783

Mobil manakah yang memiliki kapasitas mesin terkecil?

Ini bukan pertanyaan yang pelik. Tapi lebih dari 75 persen anak sekolah berusia 15 tahun di Indonesia tidak memiliki kemampuan matematika untuk menjawabnya dengan benar.

Setiap tiga tahun sekali, menurut Pisani, sistem pendidikan Indonesia menjalani ritual penghinaan diri berupa tes PISA, yang membandingkan kinerja anak usia 15 tahun di 65 negara dalam hal membaca, matematika, dan sains. Indonesia memiliki lebih banyak guru per siswa dibandingkan dengan kebanyakan negara yang lebih kaya, dan amandemen konstitusi menjamin bahwa 20 persen dari anggaran nasional digunakan untuk pendidikan. Namun, hasil PISA 2012, yang dirilis minggu ini, menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat terbawah dalam bidang matematika dan sains, dan hanya sedikit lebih baik dalam bidang membaca.

Pedih rasanya judul tulisan Pisani di atas. Kalimat yang membuat sesak dada para guru kita ini seringkali dikutip dalam nada nyinyir. Beberapa waktu kemudian, setelah artikelnya yang membuat panas kuping kita tersebut, Pisani sudah mengungkapkan penyesalannya:

"Setelah bersikap sangat kasar tentang sistem pendidikan Indonesia dalam tulisan sebelumnya, saya menawarkan contoh kejeniusan dari seorang guru sekolah menengah pertama di kota kecil Singkil, provinsi Aceh. Ini adalah solusi hemat tenaga kerja untuk mengatasi fakta bahwa bayinya tidak akan menangis kecuali jika diayun-ayun terus-menerus." 

Pisani memberikan contoh kreativitas anak SMP yang membuat ayunan dari kain yang diikat dengan tali sehingga dapat digerakan oleh ibunya saat mengerjakan tugasnya yang lain. Si adik yang merasa dalam timangan sang ibu bisa tidur nyenyak, sementara sang ibu bisa tetap mengerjakan pekerjaan lainnya. 

Delapan tahun setelah menulis artikel tersebut, Pisani mengoreksi dengan masih nada penyesalan melalui tulisannya Indonesian schoolkids: in praise of creativity: 

"Beberapa tahun yang lalu, saya menulis sebuah artikel blog dengan judul yang sangat bernada click-bait sekaligus kasar, sehingga saya tidak menyertakan tautannya, yang menarik perhatian pada betapa buruknya performa anak-anak Indonesia yang berusia 15 tahun dalam tes logika, matematika, sains, dan bahasa yang telah distandarisasi secara internasional. [Di sisi lain,] saya selalu menemukan bahwa performa tersebut sedikit bertentangan dengan kreativitas luar biasa yang dapat kita lihat di setiap sudut negara ini, (terutama dalam hal upaya penyelamatan)."

Kali ini, contoh yang dikemukakan Pisani adalah kreativitas seorang siswa SMA dalam menyosialisasikan cara mengenali obat asli dari obat palsu berupa video singkat yang ia buat dalam rangka lomba video  yang diselenggarakan STARmeds dan Universitas Pancasila. 

Dalam dokumen Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020–2035, seperti dikutip laman Kompas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan contoh sekolah masa depan, yang mengatakan bahwa sekolah tersebut akan ”menonjolkan atau mengoptimalkan infrastruktur, sumber daya manusia, pedagogi pembelajaran, dan kesejahteraan siswa”. Persoalan utamanya adalah seberapa serius dan sungguh-sungguhkah kita dalam upaya memperbaiki sistem pendidikan kita.

Berkiblat ke Finlandia?

Kita teramat sering mendengar atau membaca tulisan tentang sistem pendidikan di Finlandia yang digadang-gadang sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia. Salahkah bila kita berkiblat ke negara produsen Nokia yang pernah berjaya pada awal tahun 2000 lalu?

Tentu saja tidak. Hanya beberapa fakta kecil ini sangat perlu untuk kita cermati. Populasi Finlandia saat ini adalah 5.549.690 jiwa atau 0,069% dari populasi dunia. Sementara Indonesia, menempati posisi keempat negara dengan penduduk terbanyak di dunia dengan total 279.390.258 jiwa  atau 3,72% populasi dunia. Tingkat pertumbuhan penduduk di Indonesia tercatat sebesar 0,82 % sedangkan Finlandia hanya sebesar 0,078%. Belum lagi ditambah perbedaan luas wilayah yang sangat signifikan. Angka-angka ini perlu sangat perlu untuk dicermati.

Selanjutnya, kita juga perlu menilik 10 alasan mengapa sistem pendidikan Finlandia adalah yang terbaik di dunia sebagaimana dilansir laman World Economic Forum berikut ini:

Pertama, tidak ada pengujian standar. Finlandia tidak memiliki ujian standar. Satu-satunya pengecualian mereka adalah test yang disebut Ujian Matrikulasi Nasional, yang merupakan ujian sukarela untuk siswa di akhir sekolah menengah atas (setara dengan sekolah menengah atas di Amerika). Semua anak di seluruh Finlandia dinilai secara individual dan sistem penilaian yang ditetapkan oleh guru mereka. Pelacakan kemajuan secara keseluruhan dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, yang mengambil sampel dari berbagai sekolah.

Kedua, akuntabilitas untuk guru (tidak wajib). Banyak yang menyalahkan para guru dan memang seharusnya begitu. Namun di Finlandia, standar yang ditetapkan sangat tinggi bagi para guru, sehingga sering kali tidak ada alasan untuk memiliki sistem "penilaian" yang ketat bagi para guru. Pasi Sahlberg, direktur Kementerian Pendidikan Finlandia dan penulis buku Finnish Lessons: Apa yang Dapat Dipelajari Dunia dari Perubahan Pendidikan di Finlandia? mengatakan hal berikut tentang akuntabilitas guru: "Tidak ada kata akuntabilitas dalam bahasa Finlandia... Akuntabilitas adalah sesuatu yang tersisa ketika tanggung jawab telah dikurangi."

Ketiga, kerja sama, bukan kompetisi. Sementara kebanyakan orang Amerika dan negara-negara lain melihat sistem pendidikan sebagai satu kompetisi Darwinian yang besar, orang Finlandia melihatnya secara berbeda. Sahlberg mengutip sebuah kalimat dari seorang penulis bernama Samuli Paronen yang mengatakan hal tersebut: "Pemenang sejati tidak berkompetisi."

Ironisnya, sikap ini telah menempatkan mereka di posisi terdepan di dunia internasional. Sistem pendidikan Finlandia tidak mengkhawatirkan sistem berbasis prestasi yang dibuat-buat atau sewenang-wenang. Tidak ada daftar sekolah atau guru dengan kinerja terbaik. Ini bukan lingkungan kompetisi - sebaliknya, kerja sama adalah norma.

Keempat, jadikan hal-hal mendasar sebagai prioritas. Banyak sistem sekolah yang sangat peduli dengan peningkatan nilai ujian dan pemahaman dalam matematika dan sains, mereka cenderung melupakan apa yang membentuk lingkungan belajar dan siswa yang bahagia, harmonis dan sehat. Beberapa tahun yang lalu, sistem sekolah di Finlandia membutuhkan beberapa reformasi yang serius.

Program yang disusun Finlandia berfokus untuk kembali ke dasar. Ini bukan tentang mendominasi dengan nilai yang sangat baik atau meningkatkan taruhan. Sebaliknya, mereka ingin membuat lingkungan sekolah menjadi tempat yang lebih adil.

Sejak tahun 1980-an, para pendidik Finlandia telah berfokus untuk menjadikan dasar-dasar ini sebagai prioritas:

- Pendidikan harus menjadi instrumen untuk menyeimbangkan ketidaksetaraan sosial.

- Semua siswa mendapatkan makan (siang) gratis di sekolah.

- Kemudahan akses ke layanan kesehatan.

- Konseling psikologis

- Bimbingan individual

Berangkat dari individu dalam sebuah lingkungan kolektif yang setara adalah cara Finlandia.

Kelima, Memulai sekolah pada usia yang lebih tua. Di sini, Finlandia kembali memulai dengan mengubah detail-detail yang sangat kecil. Siswa mulai bersekolah ketika mereka berusia tujuh tahun. Mereka diberi kebebasan dalam masa pertumbuhan agar tidak terbelenggu oleh wajib belajar. Ini hanyalah sebuah cara untuk membiarkan anak-anak menjadi anak-anak.

Hanya ada 9 tahun sekolah wajib yang harus dijalani oleh anak-anak Finlandia. Semua yang melewati kelas sembilan atau pada usia 16 tahun adalah opsional.

Keenam, memberikan pilihan profesi mengesampingkan tradisi gelar sarjana. Banyak siswa di Finlandia yang tidak perlu kuliah dan mendapatkan gelar yang tidak berguna atau bingung mencari tujuan lalu menanggung utang yang besar. Finlandia memecahkan dilema ini dengan menawarkan pilihan yang sama-sama menguntungkan bagi siswa yang melanjutkan pendidikan. Terdapat dikotomi yang tidak terlalu terfokus antara pendidikan perguruan tinggi versus sekolah berbasis pelatihan atau kelas pekerja. Keduanya bisa sama-sama profesional dan memuaskan untuk berkarir. 

Di Finlandia, terdapat Sekolah Menengah Atas yang merupakan program tiga tahun yang mempersiapkan siswa untuk mengikuti Ujian Matrikulasi yang menentukan penerimaan mereka ke Universitas. Hal ini biasanya didasarkan pada spesialisasi yang telah mereka peroleh selama di "Sekolah Menengah Atas". 

Selanjutnya, ada pendidikan kejuruan, yang merupakan program tiga tahun yang melatih siswa untuk berbagai karir. Mereka memiliki pilihan untuk mengikuti tes Matrikulasi jika mereka ingin mendaftar ke Universitas.

Ketujuh, orang Finlandia pergi lebih siang ke sekolah agar tidak terlalu berat dalam belajar. Bangun pagi, naik bus atau kendaraan, berpartisipasi dalam ekstrakurikuler pagi dan sepulang sekolah adalah hal yang sangat menyita waktu bagi seorang siswa. Ditambah dengan fakta bahwa beberapa kelas dimulai dari pukul 6 pagi hingga 8 pagi, kita akan berhadapan dengan para remaja yang mengantuk dan tidak bersemangat.

Siswa di Finlandia biasanya mulai masuk sekolah antara pukul 9:00 - 9:45 pagi. Penelitian telah menunjukkan bahwa waktu masuk sekolah yang terlalu pagi dapat mengganggu kesehatan dan kedewasaan siswa. Sekolah di Finlandia memulai hari lebih lambat dan biasanya berakhir pada pukul 2:00 - 2:45 siang. Mereka memiliki jam pelajaran yang lebih panjang dan waktu istirahat yang lebih lama. Keseluruhan sistem ini tidak bertujuan untuk menjejalkan informasi kepada para siswa, namun untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang holistik.

Kedelapan, instruksi yang konsisten dari guru yang sama. Jumlah guru dan murid di sekolah-sekolah Finlandia lebih sedikit. Anda tidak dapat berharap untuk mengajar di sebuah auditorium dengan wajah-wajah yang tidak terlihat dan melakukan sentuhan kepada mereka pada tingkat individu. Murid-murid di Finlandia sering kali memiliki guru yang sama hingga enam tahun masa pendidikan mereka. Selama masa ini, guru dapat berperan sebagai mentor atau bahkan anggota keluarga. Selama tahun-tahun tersebut, rasa saling percaya dan ikatan dibangun sehingga kedua belah pihak saling mengenal dan menghormati satu sama lain.

Kebutuhan dan gaya belajar setiap siswa berbeda-beda. Guru-guru Finlandia dapat menjelaskan hal ini karena mereka telah mengetahui kebutuhan khusus siswa. Mereka dapat secara akurat memetakan dan memperhatikan kemajuan siswa dan membantu mereka mencapai tujuan mereka. Tidak ada proses alih tangan ke guru berikutnya karena memang tidak ada.

Kesembilan, suasana yang lebih santai. Ada kecenderungan umum dalam apa yang dilakukan Finlandia dengan sekolah-sekolahnya. Lebih sedikit stres, lebih sedikit peraturan yang tidak diperlukan dan lebih peduli. Para siswa biasanya hanya mengikuti beberapa kelas dalam sehari. Mereka memiliki beberapa kali waktu untuk makan, menikmati kegiatan rekreasi dan umumnya bersantai. Sepanjang hari ada interval 15 hingga 20 menit di mana anak-anak dapat bangun dan melakukan peregangan, menghirup udara segar, dan mengurangi tekanan.

Lingkungan seperti ini juga dibutuhkan oleh para guru. Ruang guru disediakan di seluruh sekolah di Finlandia, di mana mereka dapat bersantai dan bersantai, mempersiapkan diri untuk hari itu atau sekadar bersosialisasi. Guru juga manusia dan harus berfungsi dengan baik agar mereka dapat bekerja dengan baik.

Kesepuluh, lebih sedikit pekerjaan rumah dan mengurangi pekerjaan di luar yang diperlukan. Menurut OECD, siswa di Finlandia memiliki jumlah pekerjaan di luar sekolah dan pekerjaan rumah yang paling sedikit dibandingkan dengan siswa lain di dunia. Mereka hanya menghabiskan waktu setengah jam per malam untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa Finlandia juga tidak memiliki guru les. Namun, mereka mengungguli budaya yang memiliki keseimbangan antara sekolah dan kehidupan yang tidak seimbang tanpa stres yang tidak diperlukan atau tidak perlu.

Siswa Finlandia mendapatkan semua yang mereka butuhkan di sekolah tanpa tekanan tambahan yang datang dengan unggul dalam suatu mata pelajaran. Tanpa harus mengkhawatirkan nilai dan kesibukan, mereka dapat fokus pada tugas yang sebenarnya, yaitu belajar dan bertumbuh sebagai manusia.

Setidaknya kesepuluh poin inilah yang perlu kita cermati bila ingin meniru Finlandia yang selain negara dengan sistem pendidikan terbaik juga negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi di dunia. "Selama tujuh tahun berturut-turut, Finlandia menempati posisi teratas dalam peringkat tahunan negara paling bahagia di dunia versi World Happiness Report," tulis Celia Fernandez di Consumer News and Business Channel (CNBC).

Bisakah Kita?

Bisakah kita meniru sistem pendidikan Finlandia? Tentu bisa - dalam satu atau dua bagiannya. Hanya saja, syarat utamanya adalah komitmen kuat untuk terciptanya good government dan good governance di negeri kita. Bila tidak, maka wacana perbaikan sistem pendidikan akan menjadi sebatas isu politik. Hanya pemanis janji-janji kampanye yang utopis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun