"Indonesian kids don’t know how stupid they are," tulis Elizabeth Pisani nyaris 11 tahun lalu di laman Indonesia etc. Epidemiolog Inggris-Amerika sekaligus penulis buku Exploring the Improbable Nation ini memberikan ilustrasi berikut:
Empat mobil memiliki kapasitas mesin yang berbeda:
Alpha: 1.79
Bolte: 1,796
Castel: 1,82
Dezal: 1,783Mobil manakah yang memiliki kapasitas mesin terkecil?
Ini bukan pertanyaan yang pelik. Tapi lebih dari 75 persen anak sekolah berusia 15 tahun di Indonesia tidak memiliki kemampuan matematika untuk menjawabnya dengan benar.
Setiap tiga tahun sekali, menurut Pisani, sistem pendidikan Indonesia menjalani ritual penghinaan diri berupa tes PISA, yang membandingkan kinerja anak usia 15 tahun di 65 negara dalam hal membaca, matematika, dan sains. Indonesia memiliki lebih banyak guru per siswa dibandingkan dengan kebanyakan negara yang lebih kaya, dan amandemen konstitusi menjamin bahwa 20 persen dari anggaran nasional digunakan untuk pendidikan. Namun, hasil PISA 2012, yang dirilis minggu ini, menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat terbawah dalam bidang matematika dan sains, dan hanya sedikit lebih baik dalam bidang membaca.
Pedih rasanya judul tulisan Pisani di atas. Kalimat yang membuat sesak dada para guru kita ini seringkali dikutip dalam nada nyinyir. Beberapa waktu kemudian, setelah artikelnya yang membuat panas kuping kita tersebut, Pisani sudah mengungkapkan penyesalannya:
"Setelah bersikap sangat kasar tentang sistem pendidikan Indonesia dalam tulisan sebelumnya, saya menawarkan contoh kejeniusan dari seorang guru sekolah menengah pertama di kota kecil Singkil, provinsi Aceh. Ini adalah solusi hemat tenaga kerja untuk mengatasi fakta bahwa bayinya tidak akan menangis kecuali jika diayun-ayun terus-menerus."Â
Pisani memberikan contoh kreativitas anak SMP yang membuat ayunan dari kain yang diikat dengan tali sehingga dapat digerakan oleh ibunya saat mengerjakan tugasnya yang lain. Si adik yang merasa dalam timangan sang ibu bisa tidur nyenyak, sementara sang ibu bisa tetap mengerjakan pekerjaan lainnya.Â
Delapan tahun setelah menulis artikel tersebut, Pisani mengoreksi dengan masih nada penyesalan melalui tulisannya Indonesian schoolkids: in praise of creativity:Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!