Pekerja yang puas saat terlibat dengan pekerjaan, menurut Barry Schwartz, mereka larut di dalamnya. Terdapat beberapa alasan mereka begitu larut dalam profesi mereka. Pertama, mereka merasa tertantang oleh pekerjaan mereka. Kedua, mereka merasa bahwa mereka bertanggung jawab. Ketiga, mereka menganggap pekerjaan sebagai kesempatan untuk berinteraksi secara sosial. Dan, keempat, mereka merasa apa yang mereka lakukan bermakna.
"Tentu saja," tulis Quito, "hanya sedikit pekerjaan yang memiliki semua fitur ini, dan saya menduga tidak ada yang memiliki semua fitur ini sepanjang waktu. Namun, fitur-fitur pekerjaan seperti inilah yang membuat kita keluar rumah, membuat kita membawa pulang pekerjaan ke rumah, mendorong kita untuk membicarakan pekerjaan kita dengan orang lain, dan membuat kita enggan untuk pensiun. Kita tidak akan bekerja jika kita tidak dibayar, tetapi itu bukanlah inti dari alasan kita melakukan pekerjaan kita. Dan secara umum, kita berpikir bahwa imbalan materi adalah alasan yang sangat buruk untuk bekerja. Memang, ketika kita mengatakan tentang seseorang bahwa 'dia bekerja demi uang,' kita tidak hanya sekadar mendeskripsikan; kita juga tengah menghakiminya."
Pertanyaan besar muncul, "Mengapa bagi sebagian besar orang di dunia, pekerjaan hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki atribut-atribut ini? Mengapa bagi sebagian besar dari kita, pekerjaan itu monoton, tidak berarti, dan mematikan jiwa?"
"Mengapa ketika kapitalisme berkembang, ia menciptakan sebuah model pekerjaan di mana kesempatan untuk mendapatkan kepuasan non-materiil yang mungkin datang darinya-dan menginspirasi pekerjaan yang lebih baik-dikurangi atau dihilangkan?"
Para pekerja yang melakukan pekerjaan semacam ini-baik di pabrik, restoran cepat saji, gudang pemenuhan pesanan, atau bahkan di firma hukum, ruang kelas, klinik, dan kantor-melakukannya demi mendapatkan bayaran. "Meski mereka berusaha keras untuk menemukan makna, tantangan, dan ruang untuk otonomi, situasi kerja mereka mengalahkannya. Cara kerja mereka terstruktur sehingga hanya ada sedikit alasan untuk melakukan pekerjaan ini kecuali untuk mendapatkan bayaran," Quito memparafrasakan pandangan Schwartz.Â
Buktinya, menurut laporan besar-besaran yang diterbitkan pada tahun 2013 oleh Gallup, sebuah organisasi jajak pendapat yang berbasis di Washington, D.C., terdapat dua kali lebih banyak pekerja yang "tidak terlibat secara aktif" di dunia dibandingkan dengan pekerja yang "terlibat" yang menyukai pekerjaan mereka. "Data Gallup ini berdasarkan survei kepada 25 juta karyawan di 189 negara. Versi terbaru dari survei menyebutkan bahwa hanya 13% pekerja yang merasa terlibat dengan pekerjaan mereka. Sementara lebih dari 63%, tidak terlibat. Pekerjaan, menurut Schwartz, Â lebih sering menjadi sumber frustrasi alih-alih sumber kepuasan bagi hampir 90% pekerja di dunia. Dan itu artinya bahwa sembilan puluh persen orang dewasa menghabiskan separuh hidupnya untuk melakukan hal-hal yang tidak mereka inginkan di tempat yang tidak mereka inginkan. Mengapa? Jawabannya, mengutip Schwartz, adalah kapitalisme.
Nakht, sebagaimana tuturannya, termasuk kelompok orang yang menganggap pekerjaan sebagai anugerah. Ia tidak bekerja demi imbalan. Atau, dalam kadar tertentu, boleh jadi ia menganggap perannya yang berpeluh dan berdebu tersebut sebagai state of art.Â
Akan tetapi semua berubah saat seseorang yang bekerja kemudian disebut buruh. KBBI memberikan keterangan arti buruh sebagai 'orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja'. Sementara untuk pekerja KBBI mengartikan sebagai 'orang yang bekerja; orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan'. Jadi pada dasarnya kedua kata memiliki arti yang sama. Secara bahasa, 'pekerja' adalah orang yang bekerja seperti halnya 'karyawan' untuk orang yang berkarya. Bila kita sedikit telisik, kata 'kerja', 'karya' dan 'kriya' tidak terlalu sulit untuk menemukan kesamaan asalnya dari bahasa Sanskerta. Lalu mengapa pekerja dan buruh menjadi terasa berbeda? Istilah buruh berkonotasi sebagai pekerja kasar dan lebih menggunakan otot daripada otak dalam bekerja. Nakht, meskipun tugasnya hanya menyeret bongkahan batu, tentu tidak akan menampik keras bias konotatif ini. Sebutan buruh jelas derogatif.
Dua PerspektifÂ
Michael Holbi dalam Philosophical Approaches to Work and Labor, menulis:
"Kerja adalah subjek dengan silsilah filosofis yang panjang. Beberapa sistem filosofis yang paling berpengaruh mencurahkan perhatian yang cukup besar pada pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang harus bekerja, bagaimana mereka harus bekerja, dan mengapa. Sebagai contoh, dalam kota yang ideal dan adil yang diuraikan dalam Republik, Plato mengusulkan sebuah sistem spesialisasi tenaga kerja, di mana individu-individu ditugaskan ke salah satu dari tiga strata ekonomi, berdasarkan kemampuan bawaan mereka: kelas pekerja atau pedagang, kelas pembantu yang bertugas menjaga perdamaian dan mempertahankan kota, atau kelas 'filsuf-raja' yang berkuasa. Pembagian kerja seperti itu, menurut Plato, akan memastikan bahwa tugas-tugas yang penting bagi perkembangan kota akan dilakukan oleh mereka yang paling mampu melakukannya. Â Â