"Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, namun tampaknya lebih mungkin bahwa dia adalah seorang nabi, sebagaimana yang tampak dari ayat yang kita baca dari surat al-Kahfi: 'Aku tidak melakukannya atas perintahku', karena ini adalah bukti bahwa dia melakukannya atas perintah Allah dan wahyu-Nya, bukan dari dirinya sendiri. Hal ini lebih menunjukkan bahwa beliau adalah seorang nabi dan bukan hanya seorang wali."
Berbeda dengan Qaradhawi, Muh Fiqih Shofiyul Am dalam tulisannya Kitab Inayatul Muftaqir, Membedah Pro Kontra Keabadian Hidup Nabi Khidir, menulis:
"Menurut KH Maimoen dalam pengantar kitab, Syekh Mahfudz cenderung berbeda pendapat dengan (Ibnu Hajar) Al-'Asqalani terkait eternalitas Nabi Khidir. Al-'Asqalani memang tidak menyinggung secara tekstual dalam Al-Ishabah, akan tetapi Al-'Asqalani membahas tema ini khusus dalam kitab lain berjudul Az-Zahrun Nadhr fi Naba'i Khidr. Â Syekh Mahfudz lebih condong kepada pendapat tentang keabadian Khidir dengan argumentasi dan dalil yang menurutnya kuat yang mendukung pendapatnya tersebut. Syekh Mahfudz menyebutkan argumentasinya setelah menguraikan argumentasi al-Asqalani yang bersebrangan dengan pendapatnya. Kiai Maimoen secara pribadi mendukung pendapat Syekh Mahfudz tentang eksistensi Nabi Khidir hingga saat ini. Kiai Maimoen juga menyebutkan sanad tarekat Idrisiyah, terkenal juga dengan tarekat Khidiriyah dalam pengantarnya. Â Bahkan Kiai Maimoen mengungkapkan pengalaman pribadi bertemu dengan guru-gurunya yang pernah berjumpa dengan Nabi Khidir dalam keadaan sadar dan mendapatkan ilmu serta siraman ruhani yang sangat banyak (ilmu laduni) darinya."
Sepintas kita dapat mengetahui bahwa Qaradhawi cenderung sependapat dengan Ibnu Hajar al-'Asqalani. Kedua pandangan ini nampaknya bukan merupakan arus utama di negeri kita sebagaimana yang dikutip Shofiyul Am tentang keyakinan Syekh Mahfudz akan kemasihhidupan Nabi Khidir. Senada dengan Syekh Mahfudz dan Mbah Maimoen, Marsono misalnya, sebagaimana dikutip dalam Teologi Aliran Kebatian dari koleksi repositori UIN Rade Fatah Palembang, menyebutkan bahwa kisah Nabi Khidir terdapat dalam Suluk Lokajaya yang menceritakan Nabi Khidir memberi wejangan ilmu sangkan paraning dumadi atau tujuan hidup manusia pada Seh Malaya. Lokajaya dan Seh Malaya adalah nama lain dari Raden Said yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Pada saat masih muda Raden Said pernah berjuluk sebagai Brandal Lokajaya. Menurut beberapa ahli Suluk Lokajaya sendiri merupakan sastra mistik yang mendapat pengaruh tasawuf Islam. Kata 'Seh' adalah penyederahaan sebutan untuk 'syekh'.
Bambang Khusen Al Marie dalam blognya Kajian Sastra Klasik berbagi kajian bait-bait pupuh berisi pertmuan Lokajaya alias Seh Malaya bertemu dengan Nabi Khidir. Dalam litertur Jawa dulu Khidir ditulis 'Kilir'. Sementara Al Marie sendiri menulisnya sebagai 'Kidlir' dengan logat Jawa yang biasa kita jumpai sekarang. Sementara guru Sekolah Agama saya dulu menulisnya, 'Hidir'. Berikut saya kutipkan sebagian dari bait pupuh tersebut:
Pangandikane Jeng Nabi Kilir, aywa nembah lamun durung awas, pan tuwas kangelan bae, saweneh sasar susur, amangeran marang ing eblis. Sembahe tawang tuwang, ingkang tanpa wujud, kapaung amenek wreksa, panyanane kinira ana ing nginggil, tan wruh yen kangsrah temah.
"Perkataan dari Nabi Kidlir, jangan menyembah kalau belum awas, artinya mengenal betul apa yang disembah dan untuk apa menyembah. Jika tidak maka penyembahannya akan sia-sia. Salah-salah jika sesat malah akan menuhankan Iblis."
Dalam konteks seperti pengalaman Seh Malaya inilah barangkali yang dialami oleh Kiai Maimoen.
Berkenaan dengan Nabi Khidir dalam konteks Nusantara ada yang lebih 'heboh' lagi. Salah satunya adalah pendapat Gugun Sopian melalui bukunya Rahasia yang Terungkap. Sopian mengajukan tesis bahwa Nabi Khidir adalah maharaja Sunda, pendiri peradaban Sundalandia.
Selalu menarik saat berhadapan dengan perbedaan perspektif. Kita dilatih untuk belajar menerima perbedaan. Senaif apapun itu. Sebagaimana diajarkan oleh Stephen Hawking berkenaan dengan seorang nenek begitu yakin kalau bumi tidak mengambang dalam ruang dan waktu disebabkan gravitasi melainkan berada di atas menara kura-kura. Kita boleh tersenyum atas kenaifannya. Namun, bagaimana bila kita pun suatu saat terbukti sama naifnya? Â
Pespektif Ahmadiyah tentang Nabi Khidir