Ibnu Sina menganalogikan jiwa yang ada dalam tubuh manusia seperti seorang yang memiliki rumah. Jiwa merupakan pemilik rumah, sementara rumah adalah badannya. Sebuah rumah yang sudah rusak tentu sang pemilik rumah tak betah menempatinya, ia akan segera meninggalkan rumah yang sudah rusak tersebut. Sama halnya dengan jiwa, ketika melihat badan sudah tua renta, tak mampu lagi, maka jiwa yang bersifat alamiah tersebut akan segara meninggalkan badan.
Bagi Ibn Sina jiwa dan badan memiliki keterkaitan hubungan yang sangat erat dan saling bekerjasama secara terus-menerus selama badan masih ada. Jiwa tak akan pernah sampai pada kulminasi spiritual, tanpa adanya fasilitas dari badan. Oleh karenanya, jiwa bisa menjadi sumber hidup, potensi pengatur bagi badan. Layaknya seperti seorang supir bus, mobil, motor, dan pilot pesawat begitu memasuki kemudi ia akan menjadi pengerak, potensi dan pengatur bagi bus, mobil, motor, dan pilot pesawat, tulis Syahuri.
Lebih lanjut, tulis Syahuri, dalam pandangan Ibnu Sina, jiwa merupakan sumber penghidupan bagi tubuh, yang bisa mengatur dan mengelola segala potensi yang ada dalam tubuh. Dengan demikian, ketiadaan jiwa, berarti juga ketiadaan tubuh pula. Demikian hal sebaliknya, jika tubuh tak ada maka jiwa pun tak ada, oleh karenanya, keberadaan jiwa dan badan tak bisa dilepas sama lainnya. Pada konteks ini Ibnu Sina sangat jelas sependapat dengan Aristoteles (384-322 SM) tentang jiwa, di mana jiwa dipandang sebagai substansi dan bentuk yang erat kaitannya dengan badan.
Membaca paragraf demi paragraf di atas, hadits populer tentang akhlak yang seringkali kita jumpai di bawah menjadi terasa sangat relevan:
"Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599)
Hati di sini tidak lagi bisa dipandang secara fisik hati atau jantung yang terbuat dari daging. Al-Qalb merujuk kepada hati sebagai tempat bersemayamnya ruh atau jiwa yang dalam ungkapan sufistiknya Qalbul mu'mini baitullah - hati seorang yang beriman adalah 'rumah' Allah.
Sementara, dalam pandangan Mulla Sadra, lanjut Syahuri, pemikirannya sangat kontras dengan pemikiran Ibnu Sina. Menurut Sadra, terkait kematian, bukan tubuh yang membuat jiwa tak betah berada berlama-lama dalam badan, melainkan karena jiwa sendiri mengalami penyempurnaan dan kepincut sama alam lain. Jiwa meronta-ronta rindu dengan suatu yang lebih suci dan secara alamiah, jiwa meninggalkan tubuh dengan sendirinya.
"Konsep kematian Sadra ini, erat kaitannya dengan konsep jiwa, di mana jiwa termasuk bagian dari katagori anatomi rohani tubuh manusia, selama masih hidup jiwa akan melekat dan manjadi pengerak dan pusat kekuatan badan manusia berada pada jiwa. Oleh karena itu, Sadra memiliki istilah kulluhu al-quwwaa bahwa jiwa kekuatan terpenting dalam membangun tubuh, akal dan hati. Dari sini, sudah jelas kedudukan dan posisi jiwa sebagai bagian dari anatomi tubuh manusia.
Bagi Sadra, segala bentuk kegiatan jiwa, erat kaitannya dengan kondisi fisik tubuh dan sebaliknya gerakan tubuh dipengaruhi keadaan jiwa. Pada tingkat kearifan spiritualitas manusia, mulai dari kesehatan, kebersihan hingga kesucian sekalipun sangat berpengaruh besar bagi jiwa. Dalam karyanya, Al-Hikmah al-Muta’aliyah fii al-Asfar al-Arba’ah (1981) Mulla Sadra menarasikan jiwa dengan berbagai kategori yaitu: jiwa rendah (al-nafs al-nabatiyah), jiwa menengah (al-nafs al-hayawaniyah) dan jiwa tertinggi (al-nafs al-nathiqiyah).
Perbedaan sudut pandang dari kedua pemikiran antara Ibnu Sina dan Sadra di atas, bahwa fondasi dasar yang di bangun dari filsafatnya juga berbada. Avieccena membangun pemikirannya dari seorang ahli saintis (dokter) yang lebih banyak memusatkan perhatiannya pada fisiologi. Sementara Sadra membangun filsafatnya dari disiplin ilmu ‘irfani (Gnosis, Sufisme atau Tasawuf), atau eksistensialisme di mana lebih mengutamakan jiwa dibandingkan badan. Pada akhirnya, memang yang sangat pasti dan harus diakui bahwa kematian itu tetap di tangan Tuhan," papar Syahuri.
Kali ini saya kurang sependapat dengan Syahuri. Saya tidak melihat adanya perbedaan kontras antara Ibnu Sina dan Mulla Sadra berkenaan dengan kematian, jiwa (ruh) dengan badan. Kedua ilmuwan besar Islam ini sama-sama berkeyakinan bahwa ruh dan tubuh memiliki ikatan yang tak terpisahkan. Apa yang dilakukan tubuh akan berpengaruh kepada ruh dan sebaliknya. Saat ruh sudah mencapai titik kulminasi evolusinya, dan itu berarti tubuh sudah tidak bisa lagi menjadi kompatibel untuk membersamainya, maka ruh akan berganti 'tubuh' yang untuk itu tubuh lamanya harus mengalami kematian.