Memanfaatkan momentum Ramadan sebagai syahrul Qur'an, dengan kesempatan membaca Al-Qur'an yang relatif besar dibadingkan pada bulan lainnya, saya secara sederhana mencoba merekontruksi logika penciptaan manusia dari tanah dan materi lainnya sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Manusia mengalami setidaknya dua fase perkembangan di dunia ini. Pertama, pada awal penciptaan, manusia berkembang biak (atau tepatnya tercipta) secara abiogenesis. Tanpa melalui peran sperma atau mani. Jadi pada tahap awal ini keberadaan manusia bersifat aspermatogenesis. Pada fase ini, secara umum kita diciptakan dari air, tanah, debu atau campuran ketiganya yang membentuk lumpur. Secara ilustratif saya membayangkan generasi manusia yang pertama 'tumbuh' dari rahim bumi dengan komposisi air, tanah dan debu. Sulit menahan debar jantung saat membaca ayat berikut:
Â
Terjemahan versi Kementerian Agama: "Allah benar-benar menciptakanmu dari tanah." (QS Nuh: 17)
Saya harus dimaafkan atas kelancangan menerjamahkan ayat ke-17 (atau 18 bila basmalah dihitung sebagai ayat pertama) dari Surah Nuh secara letterlijk ini sebagai berikut: Dan Allah telah menumbuhkan kalian dari bumi seperti halnya tumbuhan.
Sulit rasanya kita menerima bila manusia pernah mengalami fase seperti ini pada masa awal sekali keberadaannya di muka bumi. Kecambah manusia. Apakah ke arah ini siratan dari permulaan ayat dari Surah Al-Insan berikut?
Terjemahan versi Kementrian Agama adalah: "Bukankah telah datang kepada manusia suatu waktu dari masa yang ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (QS Al-Insan: 1)
Ungkapan lam yakun sya'an madzkuran (ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut) terasa 'sesuatu' sekali. Bila sekarang ini saja kita jengah saat manusian secara taksonomi masuk kelompok hewan, maka tidak sulit untuk membayangkan ganjilnya kenyataan bahwa kita pernah sebegitu mirip dengan tumbuhan. Sebagai bahan pertimbangan, sebenarnya bukan hanya para ilmuwan yang mengelompokkan manusia ke dalam satu kelompok dengan hewan. Para filosuf juga sama. Ungkapan legendaris al-insanu hayawanun nathiq (manusia adalah hewan yang berbicara/berpikir) sangat menggusarkan sebagian dari kita. Beberapa penerjemah menghaluskan kata hayawan sebagai makhluk.Â