Saya tidak termasuk peminum kopi ideologis. Bahkan, sebagai peminum kopi pragmatis pun agak sulit untuk masuk barisan. Saya sejatinya peminum kopi yang payah. Namun, meski begitu, kisah tentang kopi selalu terasa memikat. Nampaknya hubungan saya dengan kopi bisa dianggap bersifat 'Platonis'.
Menurut legenda, seperti dikutip dari The history of coffee, kambinglah yang pertama kali menjadikan tanaman kopi populer. Kisah ini terjadi di provinsi Kaffa di barat daya Ethiopia, di mana kambing-kambing tersebut memakan sejumlah pohon yang tumbuh rendah dan memiliki daun-daun halus dan buah beri merah. Namun, hal ini membuat mereka begitu bersemangat hingga sang penggembala membutuhkan waktu lama untuk menenangkan mereka. Dia kagum dengan efek tanaman tersebut dan memutuskan untuk mencoba buah beri itu sendiri -- ternyata buah tersebut tidak berasa. Meskipun demikian, penggembala kambing memperhatikan bahwa memakan buah beri dari tanaman yang tidak diketahui membuatnya segar selama beberapa waktu. Para biksu dari biara terdekat mendengar tentang fenomena ini dan, setelah beberapa kali mencoba, menemukan bahwa jika dipanggang, digiling, dan diseduh, biji kopi tersebut akan menghasilkan minuman yang membantu mereka tetap terjaga selama berjam-jam berdoa. Kemungkinan besar kemampuan inilah yang membuat minuman ini populer di biara-biara lain.
Semua ini tentu saja hanya legenda, meskipun sebagian besar peneliti modern berpendapat bahwa tanaman kopi berasal dari Etiopia -- di mana tanaman ini masih dapat ditemukan tumbuh liar hingga saat ini. Dari Etiopia, kopi dibawa ke Yaman, tempat penyebaran geografis dan agroindustri kopi dimulai. Pemanggangan biji kopi dimulai secara kebetulan. Ketika ranting-ranting kopi dibakar di api unggun, biji kopi panggang ditemukan di dalam abu; ini kemudian dikunyah atau digunakan untuk membuat minuman tonik. Dengan ditemukannya cara pemanggangan dan pengembangan metode penyeduhan, kopi berhasil merebut hati masyarakat Yaman dan menjadi sumber kebanggaan nasional, sedangkan proses penyeduhan menjadi ritual nasional.
Selama dua abad, Yaman menjadi satu-satunya negara pemasok kopi ke pasar dunia. Dari situlah kopi mulai menyebar ke seluruh benua di dunia. Hal ini sebagian besar dimungkinkan oleh keadaan sejarah yang menguntungkan pada saat itu. Yaman terletak di jalur perdagangan penting dari Afrika Timur dan Asia Tenggara hingga Timur Tengah dan Eropa. Pemanfaatan kopi menyebar hingga ke kota suci Mekah dan Madinah, yang awalnya juga digunakan untuk mencegah jamaah tertidur saat salat. Namun, penduduk kota-kota tersebut sangat menyukai minuman baru tersebut sehingga mereka mulai mengkonsumsinya karena alasan selain alasan agama. Penting untuk diingat bahwa bagi umat Islam, alkohol terlarang, sehingga pengenalan kopi ke wilayah tersebut sangat sukses dan sejak itu menjadi bagian dari tradisi nasional.
Kopi sendiri berasal dari kata Arab qahwah. Leksikograf Arab Abad Pertengahan, menurut Wikipedia, secara tradisional berpendapat bahwa secara etimologis qahwah berarti 'anggur', mengingat warnanya yang sangat gelap, dan berasal dari kata kerja qahiya, 'tidak memiliki nafsu makan'. Kata qahwah kemungkinan besar berarti 'yang gelap', mengacu pada minuman atau kacang. yang berarti , dari bahasa Arab. Kata kopi kita dapatkan gara-gara orang Turki yang kesulitan mengucapkan 'qahwah' lalu memodifikasinya menjadi qahve, yang kemudian menjadi caff, caf dan coffee di belahan Eropa -- dan kemudian menjadi kopi dalam pengucapan kita.
Eropa, menurut artikel The history of coffee, pertama kali mengetahui tentang kopi pada tahun 1548 dari sebuah risalah tentang minuman Turki yang ditulis oleh orang Italia Giovanni Antonio Menavino.
Konon, secangkir kopi pertama di Eropa diseduh di Roma pada tahun 1626 oleh Pietro della Valle, yang sudah terbiasa minum kopi setiap hari saat menjabat sebagai duta besar Paus di Iran (Persia) dan sudah mahir menyeduhnya sendiri. Kedai kopi secara bertahap dibuka di pelabuhan Mediterania. Venesia memperolehnya pada tahun 1615, Roma pada tahun 1626. Para penentang kopi mendekati Paus, berharap akan adanya pelarangan. Namun, Paus menyukai minuman tersebut dan memberkatinya. Kedai kopi pertama dibuka di Venesia dan kemudian menyebar ke seluruh Italia.
Kopi begitu lekat dengan Islam, terutama dengan kalangan sufi. Dalam Melayani Tamu: Buku Masak Sufi, disebutkan bahwa kopi merupakan warisan tradisi dalam tarekat Sufi di Arab Selatan. Anggota tarekat Syadziliyah dikatakan telah menyebarkan minuman kopi ke seluruh dunia Islam antara abad ke-13 dan ke-15 Masehi. Seorang Syaikh Syadzili diperkenalkan dengan minuman kopi di Etiopia, di mana semak asli dataran tinggi, buahnya, dan minuman yang dibuat darinya dikenal sebagai roti . Ada kemungkinan, meskipun tidak pasti, bahwa sufi ini adalah Abul Hasan 'Ali ibn Umar, yang pernah tinggal di istana Sadaddin II, seorang sultan di Etiopia Selatan . 'Ali ibn Umar kemudian kembali ke Yaman dengan pengetahuan bahwa buah beri tidak hanya dapat dimakan, tetapi juga meningkatkan kesadaran. Sampai hari ini syekh dianggap sebagai santo pelindung para petani kopi, pemilik kedai kopi, dan peminum kopi, dan di Aljazair, kopi terkadang disebut shadhiliyye untuk menghormatinya .
Minuman tersebut kemudian dikenal sebagai qahwa -- istilah yang sebelumnya digunakan untuk anggur -- dan akhirnya, di kalangan orang Eropa, disebut sebagai "Anggur Islam" atau Wine of Islam yang maksudnya adalah mampu menggairahkan tanpa menjadi alkoholik. Sampai di sini legenda kambing yang menemukan kopi sedikit terkoreksi. Hehe...
Dialektika Panas Secangkir Kopi
Namun, kopi pun hadir bukan tanpa penentangan. Lazimnya sesuatu yang baru. Ia dihujat dan dicerca. Dr. Abdul Ghani Hindi di laman Al-Wathan berkenaan dengan kisah pengharaman minum kopi, misalnya, mengutipkan sebuah kalimat yang bernada garang:
Artinya: "Barangsiapa minum kopi maka kelak pada Hari Kiamat akan dihimpun dengan muka yang lebih hitam daripada jelaga di bagian bawah alat pembakarannya."
Di abad kesepuluh, menurut Umar Abdulloh dalam Wali Penemu Kopi dan Hikayat Diharamkannya selama 400 Tahun, sebagian ulama menyatakan minum kopi haram karena berbahaya. Ulama yang berpendapat demikian antara lain Syekh Syihabuddin al-Aitsawi dari Syam; dari kalangan Hanafi ada al-Quthb bin Sulthan; ada juga Syekh Ahmad bin Ahmad bin Abdul Haqq As-Sinbathi mengikuti jejak ayahnya.
"Selama hampir 400 tahun alias empat abad lamanya, umat Islam tidak minum kopi sama sekali. Minum kopi haram, demikian fatwa yang masyhur saat itu," tulisnya.
Saat itu, bila kita berani minum kopi secara terbuka, bisa-bisa kita berakhir di penjara atau setidaknya mendapat hukuman cambuk. Sulit membayangkan secangkir kopi bisa berkonsekuensi sepahit itu. Belum lagi, bully-an ala warganet sekarang marak dikumandangkan dengan tagar Laa yadkhulul jannata man syaribal-qahwah (peminum kopi tidak akan masuk ke dalam sorga). Padahal, kutip Abdulloh, sang wali penemu kopi sendiri memiliki dalih minum kopi yang tidak kalah kerennya. “Aku melakukan ini agar terus mengingat Allah,” begitu ucapnya.
Kondisi ini menciptakan tekanan yang luar biasa. Dan sebuah titik terang menyala di kegelapan.
Syahdan, Sayyid Nahlawi Ibnu Sayyid Khalil, menurut Muhammad Idris dalam Doa Nabi untuk para Peminum Kopi, mendengar cerita yang dituturkan oleh gurunya yang bernama Syaikh Salim Samarah (w. 1330 H) tentang seorang sufi dari tanah Maghribi.
Dikisahkan bahwa suatu waktu sang sufi berjumpa dengan Nabi dalam keadaan sadar (dalam literatur tasawuf, para sufi bukan saja bisa berjumpa Nabi dalam keadaan tidur/mimpi, melainkan dalam keadaan terjaga sekalipun), ia berkata kepada Nabi:
“Wahai Rasulullah saw, saya suka meminum kopi.” Lalu Nabi memerintakan sang sufi untuk membaca doa “khusus” saat menyeruput kopi yang biasa diminumnya, doa tersebut adalah sebagai berikut:
Artinya:
Ya Allah, jadikanlah kopi yang saya teguk sebagai cahaya bagi penglihatanku, kesehatan bagi badanku, penawar hatiku, obat bagi segala penyakit, duhai Dzat yang Maha Kuat dan Maha Teguh… kemudian membaca bismillahirrahmanirrahim!
Nabi, menurut shahibul hikayat, kemudian melanjutkan sabdanya:
"Malaikat akan terus memintakan ampunan untukmu selama rasa kopi masih menempel di mulutmu."
Momentum kebangkitan para peminum kopi tiba. Euforia pecinta kopi tidak kalah sangarnya dibanding para pembully mereka sebelumnya.
Artinya, kurang lebih, barangsiapa meninggal dan di dalam perutnya terdapat sedikit saja kopi, maka tidaklah ia akan dimasukkan ke dalam neraka. Tentu saja sebuah epic comeback yang kebablasan.
Saya sendiri lebih suka pendapat seorang alim asal Nusantara, Syeikh Nawawi al-Bantani (1813-1897):
"Minumlah kopi, olehnya akan tercegah rasa kantuk, dan dapat mencerdaskan pikiran," ungkapnya moderat.
Jauh sebelum itu, sebagaimana dikutip Idris dalam Doa Nabi untuk para Peminum Kopi, Ibnu Hajar al-Haytami (909-974 H) sebenarnya sudah menengahi: “Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa kopi ini telah dijadikan oleh Ahli shofwah (orang orang yang bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, penghapus kesusahan. Para ulama berbeda pendapat akan kehalalannya, namun alhasil yang diunggulkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Syarhul Ubab setelah penjelasan bahwa asal usul kopi di awal abad kesepuluh hijriyah memandang dari Qoidah ‘bagi perantara menjadi hukum tujuannya’ maka selama kopi ini dimasak untuk kebaikan maka mendapat kebaikannya begitu juga sebaliknya, maka fahami asalnya.”
Dan untuk memupus euforia para pecinta kopi, al-Haytami seperti dinukil Dr. Abdul Hakim bin Abdurrahman al-'Awwad dalam Bidayatu Ma'rifatin Najdiyyin bil-Qahwah menasihatkan jalan tengahnya:
"Sebelum abad kesepuluh ini, minuman dibuat dari serbuk kopi, tanaman yang dibawa dari daerah Zaila' di Yaman. Inilah yang disebut kopi, dan perselisihan mengenai hal itu sudah berlangsung lama. Kebolehannya, kemurniannya, dan kebalikannya. Orang yang berlebihan (dalam menolaknya) memberi fatwa (bahwa kopi menimbulkan) kemabukan dan najis, karena menimbulkan tenaga dan bahaya yang berdampak pada tubuh jika ditinggalkan. Sementara orang yang berlebihan (dalam membolehkannya) memberikan fatwa bahwa meminumnya akan mendekatkan kepada Allah, di samping kebolehan dan kesuciannya, mengingat (kopi) dapat menghilangkan kelesuan dan kemalasan dalam jiwa, serta membantu seseorang untuk tetap terjaga dalam beribadah. Sesungguhnya dalam semua itu, tidak ada yang memabukkan atau bius di dalamnya, namun adalah benar juga di dalamnya ada potensi menyebabkan kerusakan atau penyimpangan pada perilaku bagi peminumnya bila melampaui batas kewajaran, menurut hukum dan adat istiadat. Dan bahkan, mungkin merugikan kesehatan mereka karena sifatnya yang dingin dan kering."
Demikianlah kisah secangkir kopi. Dan persis seperti hal yang lainnya, akan nikmat bila dinikmati secara moderat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H