Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kaprah

13 Juni 2023   01:13 Diperbarui: 13 Juni 2023   07:42 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://twitter.com/sonukg4india/status/1667473898735288320?t=Ic-T5DxtAe4PefY-H3JtOA&s=08

Sebuah tebakan muncul di linimasa Twitter kemarin sore. Pemilik akun @sonukg4india menampilkan gambar berisi tebakan matematis sebagaimana saya unggah di kepala tulisan ini. 

Tentu saja operasi matematika yang ditampilkan berbeda dengan apa yang kaprah kita temukan sehari-hari. Dengan sedikit kesepakatan bahwa untuk a+b=c, dimana a dipangkatkan dan b diakarkan, maka perhitungan pun kembali bisa diterima. "Matematika adakalanya bukan tentang kepastian melainkan tentang kesepakatan seperti halnya bahasa," tulis saya di status WhatsApp

Sepulang dari masjid saya coba periksa lagi status tersebut ternyata dilihat oleh tidak kurang dari 170 orang. Muncul kekhawatiran bila apa yang saya tuliskan secara spontan itu 'ngaco' atau bagaimana. Meski sudah diberi keterangan bahwa ini hanyalah tebak-tebakan, ada juga yang sampai 'japri' bahwa operasi matematika seperti ini terlalu dibuat-buat dan absurd. Salahkah saya?

Untungnya saya menemukan tulisan Paul Ernest dari Universitas Exeter Inggris, Certainty In Mathematics: Is There A Problem?   

Ada dua pertanyaan independen tentang kepastian dalam matematika, tulis Ernest, apakah pengetahuan matematika diketahui dengan pasti? Dan mengapa kepercayaan akan kepastian pengetahuan matematika begitu meluas dan dari mana asalnya? 

"Klaim absolutis tentang kepastian pengetahuan matematika diartikulasikan dan dikritik. Pandangan yang kontras bahwa pengetahuan matematika diketahui dengan kepastian yang dibatasi oleh batas-batas pengetahuan manusia diusulkan, diuraikan, dan dipertahankan. Dalam menjelaskan alasan keyakinan akan kepastian matematika, baik faktor sejarah budaya dan faktor psikologis individu diidentifikasi. Perkembangan sejarah budaya matematika menyumbangkan empat faktor: 1. invariansi dan konservasi angka dan keandalan perhitungan;

 2. munculnya angka sebagai entitas abstrak dengan eksistensi yang tampaknya independen; 3. munculnya pembuktian dengan tujuan untuk meyakinkan pembaca tentang kepastian proposisi matematika; 4. menelan dan menetralkan kontradiksi dan ketidakpastian yang muncul secara historis dan penggabungannya ke dalam narasi matematika tentang kepastian. Sumber kedua dari keyakinan akan kepastian matematika adalah perkembangan individu siswa yang menginternalisasi ide-ide invarian, keandalan, dan kepastian melalui pengalaman di kelas dan paparan terhadap faktor-faktor budaya termasuk keempat hal tersebut," ungkapnya. Membaca paragraf ini terasa agak melegakan. 

Sekarang tentang bahasa. Bahasa adalah kekaprahan. Kekaprahan yang lahir dari kesepakatan penggunanya. Misalnya, dalam bahasa Indonesia untuk menanyakan nama, maka kita menggunakan kata tanya 'siapa'. Sementara dalam bahasa Inggris atau lainnya, kata tanya yang digunakan 'apa'. Dalam keseharian kita bertanya kepada seseorang "siapa namamu" bukan "apa namamu"

Kita, pengguna bahasa Indonesia bersepakat untuk menggukan kata tanya siapa untuk menanyakan nama dan buka apa. Sebuah pendekatan apologetis bernada cocokologi saya coba tawarkan, boleh jadi siapa dalam kalimat tanya untuk nama adalah 'si apa'. "Si apa nama kamu" begitu maksudnya. Dan itu yang membedakan dengan siapa pada kalimat "siapa kamu".

Sementara untuk jawaban garis lurusnya, saya kutipkan jawaban Ivan Lanin bahwa mengapa kita bertanya "siapa namamu", bukan "apa namamu" seperti bahasa Inggris "what is your name"? adalah karena budaya memengaruhi bahasa, termasuk pilihan kata.Lalu Ivan Lanin pun mencantumkan rujukan sebuah tulisan Yanwardi, Apa Namamu? sebagai bacaan lebih lanjutnya.

"Sejak puluhan tahun yang lalu terjadi perbedaan pandangan di antara aliran-aliran linguistik dunia terutama ihwal relativitas bahasa dan universalitas bahasa. Yang pertama memandang bahasa berkaitan dengan pola pikir dan budaya. Kelompok ini berkembang dalam pragmatik, sosiolinguistik, dan etnolingustik. Yang kedua mendekati bahasa lepas dari masyarakat dan budayanya. Sesuai dengan kasusnya, tulisan ini hanya membincangkan bahasa dalam konteks pertama," papar Yanwardi.

Budaya bisa memengaruhi bahasa, menurut Yanwardi, tampak dalam sistem kata ganti orang (pronomina persona) bahasa Indonesia dan tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa dan Sunda. 

"Bahasa Indonesia bisa menggunakan nomina kekerabatan dan nama diri untuk menggantikan orang kedua, bahkan orang pertama, sementara bahasa Inggris tidak. Umpamanya, nomina kekerabatan seperti adik, kakak, dan bapak dipakai untuk orang kedua: ”Alamat Adik di mana?” atau ”Bapak berasal dari mana?” Bahkan, nama diri sering digunakan sebagai kata ganti orang pertama. Biasanya ini dilakukan ketika seseorang berkomunikasi dengan orang yang lebih tua (dihormati). Ketika seorang anak bernama Budi berbicara kepada ibunya, dia memanfaatkan namanya menjadi orang pertama: 

”Budi sudah makan, Bu.” Gejala itu jelas dipengaruhi budaya kita yang lebih mementingkan kolektivitas, penghormatan, kedekatan persona, alih-alih individualitas dan aspek egaliter sebagaimana dalam masyarakat berbahasa Inggris," lanjut editor Yayasan Obor ini. "Dasar inilah yang juga memunculkan "Siapa namamu?" pada masyarakat penutur bahasa Indonesia. Kita lebih mengutamakan persona, yaitu pemilik nama, untuk menjaga kedekatan hubungan atau keakraban di antara peserta komunikasi."

Kekaprahan yang lahir dari kesepakatan yang maksudkan di awal tulisan adalah budaya yang dimaksudkan oleh Yanwardi. Hanya saja, di lain pihak, bahasa pun pada gilirannya memengaruhi budaya. Adalah Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf yang pada awal abad ke-20 melakukan penelitian dan pengamatan. Mereka tertarik untuk memahami hubungan antara bahasa dan pemikiran manusia serta bagaimana bahasa mempengaruhi cara manusia berinteraksi dengan dunia.

Edward Sapir, seorang ahli bahasa Amerika, percaya bahwa bahasa mencerminkan pemikiran dan budaya seseorang. Ia menekankan pentingnya studi bahasa dalam memahami kehidupan manusia dan kompleksitas budaya mereka. Benjamin Lee Whorf, seorang insinyur dan ahli bahasa yang belajar di bawah bimbingan Sapir, mengembangkan dan menguraikan lebih lanjut gagasan-gagasan yang diajukan oleh Sapir.

Whorf mengamati perbedaan antara struktur bahasa asli Hopi dengan bahasa Inggris yang dia pelajari. Ia percaya bahwa perbedaan struktur bahasa ini mempengaruhi cara berpikir dan persepsi masyarakat Hopi terhadap waktu, ruang, dan realitas. Whorf mengemukakan bahwa bahasa Hopi memiliki konsep waktu yang berbeda dengan bahasa Inggris, yang memengaruhi cara pandang dan interpretasi dunia oleh masyarakat Hopi.

Penelitian dan pengamatan ini membawa Sapir dan Whorf untuk mengembangkan hipotesis Sapir-Whorf. Mereka berpendapat bahwa bahasa yang kita gunakan tidak hanya sebagai alat untuk mengungkapkan pemikiran, tetapi juga membentuk cara kita berpikir. Melalui bahasa, kita mempelajari kategori pemikiran, pola pikir, dan cara memahami dunia di sekitar kita. 

Sederhananya dengan mengubah pertanyaan "siapa namamu" menjadi "apa namamu" implikasinya akan mengubah pola pikir, cara pandang dan pemahaman kita tentang dunia sekitar kita---yang dengan kata lain, budaya kita. Terasa sekali benarnya perkataan bahwa bahasa adalah jati diri bangsa. 

Kesalahkaprahan

Kekaprahan dalam satu bahasa merupakan hasil dari kesepakatan penutur aslinya lahir dari budaya yang melingkupinya. Hal ini merupakan karakter kebahasaan dan tidak untuk dibandingkan antara yang satu dengan lainnya. Bahasa-bahasa itu laksana kembang di taman ditumbuhi aneka ragam bebungaan. Kesemuanya indah sesuai kodratnya. Bila kita memaksakan indahnya mawar kepada melati atau kepada yang lainnya, maka baru timbul kejanggalan. Pun demikian dengan bahasa. Saat kita menyerap satu kata, ungkapan atau kalimat dari bahasa lain secara serampangan, kesalahkaprahan pun timbul. 

Kesalahkaprahan yang legendaris adalah saat menyerap istilah amal jariyah. Secara kaidah bahasa Arab, kata sifat jariyah berlaku untuk kata benda yang bergender perempuan (mu'annats). Sementara itu, kata 'amal bergender laki-laki (mudzakkar). Misalnya, 'amal shalih (bukan 'amal shalihah) jadi seharusnya 'amal jariy. Terasa ganjil di telinga kita saat harus mendengarkannya. Kesalahkaprahan amal jariyah yang membuat kita 'nyaman'.

Kesalahkaprahan berikutnya adalah saat mendengar bacaan di akhir tilawah Al-Qur'an, shadaqallahul 'azhim. Arti harfiahnya adalah maha benar Allah yang Maha Agung. Akan tetapi bukankah kita kaprahnya menerjemahkan sebagai maha benar Allah dengan segala firman-Nya? 

Untuk yang ketiga ini seringkali dituduh sebagai kesalahkaprahan. Namun justru kesalahannya terletak pada memaksakan pola kebahasaan Arab ke dalam bahasa Indonesia. Barangkali persoalannya tidak selegendaris kedua contoh yang disebutkan sebelumnya. Hanya saja bisa dipastikan ungkapan ini tidaklah asing di telinga kita. "Unzhur maa qaala wa laa tanzhur man qaala," ujar seorang pemberi tausiah menasihati jamaahnya. Ungkapan yang banyak dikeliruanggapkan sebagai hadits Nabi saw ini umumnya diartikan 'perhatikanlah apa yang dikatakan, dan jangan memperhatikan siapa yang mengatakan'.

Secara kaidah bahasa Arab unzhur maa qaala akan lebih tepat bila diterjemahkan ke dalam bahasa di Indonesianya 'perhatikanlah apa yang ia katakan'. Sebab redaksi untuk 'perhatikanlah apa yang dikatakan' dalam bahasa Arabnya akan lebih aman menggunakan bentuk pasif: unzhur maa qiila. Atau, bila ingin menggunakan bentuk aktif-pasif (bentuknya aktif namun maknanya pasif), maka redaksi arabnya unzhur maa qaalahu

Menurut Ibnu Asakir, ungkapan ini bersumber dari Ali bin Abi Thalib ra. unzhur ilaa maa qaala wa laa tanzhur ilaa man qaala. Sejak tidak ada yang bisa meragukan kefasihan sepupu Sang Nabi saw ini, maka ungkapan unzhur maa qaala wa laa tanzhur man qaala terverifikasi kebenarannya. Tidak perlu dipasifkan menjadi unzhur maa qiilaCukup mencari terjemah yang sesuai dengan kaidah kebahasan kita.  

Waduh, nampaknya saya terlalu serius dalam bercanda. Hehehe 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun